Senin, 30 November 2009

Kenangan Astrofisika Sebelas Tahun yang Lalu

Kemarin malam ada berita mengejutkan. SMS dari Vivi yang bilang Pak Djoni N. Dawanas, dosen astronomi, meninggal jam 19.30 di RS Tubagus Ismail.

Padahal, baru temu alumni astronomi di Bosscha kemarin, kami bertemu Pak Djoni, kelihatan segar-bugar (Entah juga ya, mungkin beliau sedang sakit tapi nggak terlihat dari luar saja).

Pak Djoni ini adalah dosen mata kuliah Astrofisika, mata kuliah dasar di astronomi. Beliau ini salah seorang dosen yang jagoan mengajar, kami para mahasiswanya bisa benar-benar mengerti konsep dasarnya, tidak sekadar hafal rumus. Dosen pintar memang banyak, tapi dosen yang benar-benar ahli mengajar bisa dihitung dengan jari.

Kepergian beliau membawa kami kembali mengenang masa-masa kuliah Astrofisika dulu, terutama saya dan—yah, dia lagi-dia lagi, memang—si Nata Pehul. Jadi, sebelas tahun yang lalu itu, kami adalah dua orang yang tersisa dari seluruh peserta mata kuliah itu, yang tidak mendapatkan kelompok untuk presentasi. Terpaksa kami berpasangan. Yang satu pemalas, yang satu lebih pemalas lagi (tebak mana yang lebih pemalas, yang jelas tulisan tangan saya lebih bagus daripada tulisan si Nata, hahahahaaaa).

Kelompok-kelompok lain hebat-hebat euy ... mereka mempersiapkan presentasi dan topiknya dengan baik. Pilihan topiknya sederhana, tapi pembahasannya lumayan mendalam. Perangkat presentasinya (dulu masih musim OHP) dibikin serius. Sementara kami, si kelompok pemalas, sampai H-1 masih kebingungan memilih topik apa.

Akhirnya, kami putuskan memilih topik tentang interferometer. Pilihan yang nekad, sebenarnya, karena kami sama-sama nggak menguasai instrumen ini, ditambah lagi konsep-konsep fisikanya. Tapi mau gimana lagi, kepepet gitu bok.

Jadi, H-1 sebelum presentasi dimulai, saya dan si Nata Pehul membagi tugas—saya membuat transparansi (karena tulisan saya lebih bagus, sialan), dan dia ... sholat tahajud. Berdoa dengan khusuk agar kami nggak kebagian presentasi pertama. Nata gitu lhuwokh, sholat tahajud. Tapi yah, dulu memang dia masih salihah, seperti Bu Dedeh guru ngaji di dekat rumah saya, hihihiii ....

Dan ternyata, mungkin karena si Nata masih salihah, doanya makbul. Saat pengundian giliran presentasi dengan cara mengambil batang korek api, kami nggak dapat giliran presentasi pertama. Kedua pun nggak. Eh ... mungkin si Nata benar-benar khusuk berdoa. Atau mungkin dia teraniaya, entah. Jadilah kami mendapat giliran terakhir. Itu pun Pak Djoni senyum-senyum terus mendengar presentasi kami, mungkin beliau maklum kalau kami sama-sama dodol.

Tapi, meskipun begitu, saya lulus kuliah Astrofisika 1 dengan nilai cukup memuaskan, B (Astrofisika 2 dapet apa ya ... lupa. Tapi karena peserta kuliah hanya sedikit dan dosennya ahli mengajar, jadi nggak sesulit kuliah-kuliah di jurusan Fisika).

Saya lupa si Nata dapat nilai apa. Tapi, ada suatu prestasinya yang gemilang, yang masih dikenang oleh para peserta kuliah Astrofisika saat itu (Mungkin Pak Djoni pun masih ingat). Karena kami ini angkatan yang lumayan pasif dalam bidang akademis (tapi tidak di bidang non-akademis haha), waktu disuruh bertanya, nggak ada yang mau bertanya. Karena sepi, si Nata memberanikan diri mengacungkan tangan.

Pertanyaannya, “Pak, kalau massa bumi itu dihitung dengan isi-isinya? Dengan manusia, binatang, bangunan, dan lain-lain ....”

Bahkan Pak Djoni pun tersenyum geli, tapi mungkin beliau nggak tega tertawa, karena sudah bagus ada yang mau bertanya, meskipun pertanyaannya naif seperti itu. Hihihihiii ....



Dan tadi siang, meskipun nggak sampai ke makam, saya dan Sakya mengantar Pak Djoni ke peristirahatan terakhirnya. Selamat jalan Pak, terima kasih banyak karena telah “membetulkan” otak kami, dan semoga mendapatkan tempat yang lapang di sana.

Rabu, 04 November 2009

Si Lumba-Lumba, si Jalu, atau Sakya?

Harusnya sih tulisan ini diposting dulu-dulu, tapi baru sempat dan ingat lagi sekarang, meskipun sejak dulu memang niat ditulis hehe ….

Katanya, nama adalah doa. Saya juga percaya begitu, meskipun nama saya sendiri, apa ya doanya? (Siapa ya yang pernah bilang, kalau Masniari itu Emas-nya si Hari—Hari itu si Papap—tapi saya kok lebih suka pendapat satu lagi, kalau Masniari itu “hari-hari keemasan”, hahahaaa)

Waktu hamil dan sudah tahu lewat USG kalau si janin laki-laki, sudah terpikir juga untuk nyari nama. Tapi karena masih malas (mandi aja malas), nyarinya belum serius. Nah, ceritanya, sebagai fans lagu anak-anak sepanjang masa, saya pernah nulis di plurk “Si Lumba-Lumba! Bermain bola! Si Lumba-Lumba! Makan dulu!” (Ehem, saya masih ingat gaya Bondan Prakoso pas nyanyi lagu itu sih, hihiii) Eh, sama si eM teman SMA saya, si janin akhirnya dipanggil si Lumba-Lumba. Kebetulan pulak, sampai hamil bulan kedelapan saya masih rajin berenang. Kalau diajak berenang, si janin suka gerak-gerak pelan, seperti yang senang. Jadilah julukan si Lumba-Lumba. Dan saya jadi Maklum alias Emak Lumba-Lumba, dan Bapak Dindin jadi Paklum alias Bapak Lumba-Lumba.

Sejak dulu, saya berniat nggak ngasih nama berbahasa Arab. Bukan apa-apa, cuma bosan, banyak sekali anak-anak zaman sekarang yang namanya berbahasa Arab. Bagus-bagus sih, tapi coba kita hitung berapa anak yang namanya Daffa, Raihan, Salsabila, dan lain-lain. Legian, menurut saya, meskipun nama adalah doa, tapi doa itu kan universal toh? Saya juga nggak berniat ngasih nama bule, soalnya kasihan, nanti wajahnya eksotis khas Indonesia tapi namanya bule, terus kalau sekolah di kampung, nanti nama keren itu akan berubah, ef jadi ep, ve jadi pe, ex jadi ek, dan seterusnya, hahaha ….  Syarat lainnya adalah namanya nggak dari huruf A. Nanti absennya selalu di awal-awal, seperti teman saya si Agustine Suparman yang ganti akte kelahiran pas SMP jadi Tine Agustine Suparman, supaya nggak absen nomor satu lagi (Dasar euweuh gawe).

Nah, sebelum si Lumba-Lumba lahir, saya sebetulnya sudah punya usulan nama. Namanya Indonesia banget. Tapi sayang Paklum nggak setuju, karena terlalu lugas, hehe ….  Lalu, Paklum usul, kalau pakai nama kakeknya bagaimana? Saya sih setuju, tapi pas dicek di buku arti nama anak, ternyata artinya “landak”, hihiii …. (Lalu kata Paklum, “Pantes si Aki rancung,” hahahaaaa) Ya sudah, akhirnya usulan nama tenggelam lagi dan kami kembali bingung, mau dikasih nama siapa ya si Lumba-Lumba ini.

Karena diperkirakan lahir pertengahan Mei, jadi saya dan Paklum santai-santai saja. Eh, ternyata pas tanggal 1 Mei lahir, kami belum punya nama juga. Si Emak sempat ngomel-ngomel, mau dipanggil siapa si bayi? Akhirnya, si Emak ngasih panggilan sementara: si Jalu. Kata Emak, bukan Jalu yang artinya jantan lawan kata betina, tapi Jalu dari bahasa Banten yang artinya “jagoan”.

Hampir seminggu berlalu, nama belum juga ketemu. Akhirnya, malah Decky Ow-Ow temannya Paklum yang nyuruh buru-buru ngasih nama. Memang betul juga, kasihan si Jalu belum punya nama dan akte kelahiran harus cepat-cepat dibuat. Jadilah dua hari semalam saya dan Paklum mencari, berembuk, dan berdebat, siapa namanyaaaa?

Akhirnya, dari buku nama-nama bayi, saya dapat satu nama Sanksekerta, “Sakya”, yang artinya “kebahagiaan”. Mirip-mirip juga dengan usulan nama kakeknya Paklum, Salya (yang artinya landak tea hehe). Tapi, tolong diingat, pelafalan Sakya-nya bukan “Sakiya”, tapi dari huruf “k”, langsung disambung huruf “y”, soalnya kalau dibaca “Sakiya”, nanti dikira nama anak perempuan, Zakia, yang suka dinyanyiin Ahmad Albar.

Paklum tadinya usul “Afhlah”, yang artinya “yang beruntung”. Tapi akhirnya kami sepakat nama depannya Sakya. Lalu nama belakangnya siapa? Paklum usul “Lail” yang artinya malam, soalnya si bayi lahir tengah malam. Bahasa Arab sih, tapi nggak masalah, karena jarang dipakai (paling yang sering Laila atau Laily). Meskipun beberapa waktu lalu, Paklum agak menyesal juga, karena baru sadar, kenapa nggak pake nama “Wengi” ya? Jadi Sakya Wengi, lebih unik lagi.

Tadinya, Paklum agak enggan merelakan nama belakangnya dipakai si bayi, soalnya kata doi, itu bukan marga. Tapi saya yakinkan, supaya gampang bikin paspor, hehe. Akhirnya, jadilah nama si bayi “Sakya Lail Wahidin”. Yang kira-kira, kalau dirangkai artinya, jadi “Kebahagiaan yang datang pada malam hari, anak Pak Wahidin” hihihihiiii ….

Saya kira nama Sakya jarang dipakai, dan saya juga berharap semoga cuma dia di sekolahnya yang bernama Sakya nanti, karena teman-temannya kebanyakan bernama Arab. Eh, ternyata sekitar sebulan kemudian, si Achy teman SMP saya ngirim SMS, katanya keponakannya yang baru lahir juga dikasih nama Sakya, tapi lengkapnya Sakya Al-Ayyubi, lalu dia nuduh saya dan sepupunya beli buku yang sama, hahaha …. Tapi sepertinya bukunya beda, karena menurut si Achy, Sakya yang di buku sepupunya itu dari bahasa Kawi yang artinya terang. Tapi nggak apa-apa. Artinya juga bagus kan, terang. (Yah, nanti janjian aja mau masukin ke sekolah mana, biar nanti di sekolah tetap cuma ada satu Sakya, hihihii)

Eh, ternyata doa kami terkabul dengan cepat. Karena, kami terpaksa seringkali harus “berbahagia pada malam hari”, karena Sakya hobi begadang, hahaha …. Biasanya, kalau Sakya nggak mau tidur, Paklum suka negur, “Heh, Lail! Tidur!” Yah, salah sendiri ngasih nama Lail, hahahaaaa ….

Minggu, 01 November 2009

Satu Semester di Sekolah Baru, Sekolah Ibuk-Ibuk

Hari ini Sakya enam bulan (sebetulnya nanti sih, jam 23.55 hehehe). Jadi enam bulan lalu, jam segini saya masih terkapar dengan infus di tangan dan oksigen, mulesnya baru berasa dikit.

Sebetulnya pengen juga tiap bulan update perkembangan Sakya, seperti ibuk-ibuk lain, tapi ya gimana yaaaa ... pekerja freelance kan nggak dapet cuti kaya' pegawai kantoran, dan kebetulan kerjaan nggak pernah berhenti (alhamdulillah, pohon uang goyang terus, hahaha).

Jadi, agak-agak lupa juga perkembangan bulan per bulannya gimana. Yang jelas, sejak umur satu hari, Sakya sudah sadar kamera (hahaha ... seperti itu yang paling penting sajaaa). Umur beberapa minggu bisa teriak "engkiiiing!" kalau mau nenen, sampai sekarang (kami berasumsi kalau engking itu = drinking, anak penerjemah gitu lhuwokh, hahaha)

Selama tiga bulan pertama, seperti ibuk-ibuk pada umumnya, saya sempat baby blues juga, meskipun taraf ringan. Ya gitu deeeeh ... suka nangis-nangis bombay. Apalagi kalau Sakya lagi ngadat. Mana kerjaan masih numpuk. Nggak ada yang bantuin ngurus, PRT di rumah kan cuma setrika & ngepel, cuma ada Emak dan ibu mertua (dan si Emak juga ngajar, ibu mertua di rumahnya sendiri). Paklum masih grogi, meskipun dia berusia matang tapi ini pengalaman pertama (deuh ... usia mataaang!). Terus, saya yang biasa nggak betah di rumah, terpaksa 24 jam di rumah. Betek laaah.

Keuntungannya masih numpang di rumah orangtua/mertua, memang ada yang bantu-bantu jagain bayi. Tapi, kerugiannya, kalau metode asuh kita dianggap salah sama orangtua/mertua, bisa perang tiap hari tuh. Saya sih masih lebih beruntung karena tinggal sama orangtua sendiri, karena kalau si Emak masih bisa dibantah, hahaha ... (kalo ngebantah mertua, rasanya sungkaaaaaan banget)

Baru pas Sakya umur empat bulan, saya mulai agak relaks dan nemu ritme yang pas sama dia. Ritme segala macam ya, mulai dari kegiatan dia sehari-hari, kegiatan saya sehari-hari, dan kerjaan. Umur segitu juga mulai ngerti kalau diajak jalan-jalan, hehehe ....

Soal ASI eksklusif, saya usahakan sekuat tenaga sih, tapi sayang pas puasa kemarin, saya demam tinggi plus merah-merah di kulit. Kata dokter sih infeksi virus, tapi nggak jelas penyakitnya apa. Baru pas browsing-browsing, ciri-cirinya mirip flu Singapura. Eh, ternyata ASI juga berkurang banget. Sampai dibela-belain mahal-mahal ke klinik laktasi, yah, yang penting Sakya bisa dapet ASI lagi. Satu setengah bulan Sakya kepaksa didopping sufor meskipun cuma dikit, awalnya 3 x 60 ml sehari, sampai akhirnya nggak dikasih lagi (padahal si dokter nyuruh 8 x 60 ml sehari, tapi saya juga konsultasi sama CCRNC, sesama ex-tapol Cinambo, yang nyaranin "Susuin tiap jam". Ternyata lebih manjur si CCRNC, hahaha).

Perjuangan ASI ini memang berat, apalagi kalau nggak didukung kanan-kiri. Saya suka betek karena si Emak dan ibu mertua sering nanya, "Memang ada ASI-nya?" karena Sakya kurus melulu dan dia sering marah-marah kalau lagi nenen, dulu. Apalagi para nenek itu suka nggak tegaan kalau dengar cucu pertama mereka nangis keras-keras, langsung pengennya buru-buru bikin sufor. Yah, terpaksa ada pertumpahan air mata dalam hal ini (untung nggak pertumpahan darah hehe).

Soalnya, tetangga kiri-kanan nggak pada ASI-Eksklusif, dan bayi-bayi mereka sudah dikasih makan sejak empat bulan. Si Emak sampai beranggapan saya ini percaya textbook banget, tapi saya kan ibuk-ibuk keras kepala, hahaha .... Awalnya Paklum juga bukan breastfeeding father sejati, apalagi teman-teman sepergaulannya sesama bapak-bapak bayi, suka nyaranin "Kasih sufor ini aja, sufor ini aja." Tapi setelah diskusi dan disuruh baca-baca majalah, buku, browsing, dan lain-lain, akhirnya dia mendukung penuh (meskipun kadang-kadang, kalau lihat saya capek banget, suka bilang "Kasih minum aja, gimana?" hehe).

Kalau perkembangan fisik, meskipun kuyus, Sakya tuh lincah banget. Belum empat bulan bisa tengkurep sendiri, empat bulan bisa ngangkat kepala, lima bulan bisa "gulipak-gulinong" (bolak-balik), dan lima setengah bulan bisa ngesot. Jadi, seprai tempat tidur kami dan tempat tidur si Emak nggak pernah beres ... karena ada bayi ngesot, yang gerakannya cepet banget. Syukurlah sampai saat ini belum pernah jatuh (oh, kalau bisa jangan pernah!).

Dan kalau dulu agak-agak waterproof seperti si Paklum, sekarang nggak doooong, horeeee! Sekarang kalau mandi, pas disabunin suka tendang-tendang sambil teriak-teriak kegirangan, dan kalau sudah masuk jolang pink andalan, mandi sambil ciprat-ciprat air dan nonton tivi. Gaya banget dah.

Sakya juga senang diajak nyanyi. Dan harus live show. Nggak bisa pakai MP3 player atau semacam itu lah. Jadi, kami serumah sering serak gara-gara nggak boleh diem (kalo diem dia nangis). Lagu favoritnya Kukuruyuk dan Matahari Terbenam, dan sekarang senang sekali Dua Mata Saya sambil ditunjuk-tunjuk bagian yang dinyanyiin.

Sekarang, selain ngesot, dia sudah bisa bilang "Bapa! Bapa! Bapapapapa ..." Bikin iri, karena belum bisa bilang "Ibuk" (dan Paklum bangga banget dooong ... sebal). Juga senang sekali main ludah, sembur-sembur terus dengan tampang jail.

Yah, begitulah catatan enam bulan Sakya. Semoga bulan-bulan ke depan sih bisa tiap bulan laporannya, dan saya terus melanjutkan semester berikutnya di sekolah ibuk-ibuk yang berlangsung seumur hidup ini.

Dan mengutip kata-kata si Nata Pehul, teman astro saya, yang dipakai sebagai kalimat mutiara si Bona, teman astro juga, "Semester Baru Jangan Sendu". Tapi saya mau sendu yang senang duit ah. Hihii ....

Minggu, 10 Mei 2009

SAKYA LAIL WAHIDIN, Si Botak (yang dulu) Berambut Gondrong




Pas hari ketujuh, si Lumba-Lumba dikasih nama dan digunduli. Yang ngegundulin sih Kang Deni, tukang cukur langganan si Papap yang buka lapak di pengkolan, karena doski udah biasa nyukur bayi.

Dan akhirnya setelah perdebatan cukup panjang, muncul juga deh namanya: Sakya Lail Wahidin.
Sakya itu dari bahasa Sanksekerta, artinya kebahagiaan, ini sumbangan emaknya.
Lail itu dari bahasa Arab, artinya malam, pemberian bapaknya.
Wahidin itu berarti dia anak Pak Dindin, bukan anak Pak Soleh (Karena selalu didoain semoga menjadi anak Soleh ... hihihiiiii).

Tampangnya jadi berubah garang gitu setelah dibotakin, hiks hiks .... Nggak seimut dulu, huhuuuuuuu :(

Rabu, 06 Mei 2009

Malam Pertama Itu Nggak Ada Apa-Apanya ....

Akhirnya, si Lumba-Lumba yang ditunggu datang juga. Terlalu cepat dua minggu dari perkiraan sih, meskipun kata dokter, sejak usia kandungan 36 minggu juga dia sudah cukup umur buat lahir.

Kamis malam, tanggal 30 April, bagian atas perut saya kok sakit ya. Sempat berkeluh kesah sama si Aq, tapi kami sama-sama berpikir, itu sih masuk angin biasa. Dan besernya semakin heboh, sampai akhirnya terakhir mau tidur, saya nggak kuat nahan pipis sedikit, dan memutuskan untuk memakai pembalut.

Ternyata eh ternyata, besok paginya, saya bangun dengan perasaan aneh, karena pembalutnya kok basah. Waktu diperiksa, ternyata sudah keluar lendir dengan sedikit darah. Si Aq langsung nyuruh saya siap-siap berangkat. Tanpa mandi (yah, namanya juga bapak-bapak waterproof, hihiii). Tapi, waktu laporan sama si Emak, saya disuruh mandi, BAB, dan segala macam dulu, karena si Emak lebih pengalaman, pasti nggak akan brojol cepat-cepat (Tapi si Aq tetap nggak mandi. Sialan).

Jam tujuh pagi sudah sampai di Hermina (karena cuma 10 menit dari rumah), lalu saya disuruh naik kursi roda. Padahal perasaan masih bisa jalan deh, tapi ternyata enak juga nggak perlu jalan kaki, hehehe ....

Sampai di Ruang Bersalin, perut saya langsung dipasangi monitor untuk menghitung detak jantung bayi dan memeriksa kadar mulas. Waktu itu sih belum mulas-mulas. Tapi, detak jantung janinnya kok sempat turun sampai 60-an. Padahal normalnya di atas 100. Jadi saya disuruh makan dulu.

Agak siang, akhirnya Dr. Anita datang, dan sekali lagi perut saya dipasangi alat itu. Kali ini juga, detak jantung si Lumba-Lumba sempat turun sampai 60-an, dan gerakannya jarang. Kata Dr. Anita, kalau begini terus, kemungkinan besar harus caesar. Aduuuh ... saya ogah, karena mahal, hihihiiiii .... Akhirnya diputuskan kalau saya harus diinfus cairan (bukan obat) dan dikasih oksigen murni, supaya detak jantung si Lumba-Lumba bagus lagi.

Saat itu juga, saya mengalami kejutan pertama. Periksa dalam, booook .... Selama jadi pasien Dr. Anita, saya belum pernah diperiksa dalam. Pernah sekali sih, waktu periksa kista, itu pun nggak dalem-dalem dicoloknya, oleh dokter pengganti Dr. Anita. Karena saya tegang, Dr. Anita sempat betek juga, karena tangannya kejepit dengan kuat, hihiii .... Dan kembali keluar ancaman, kalau saya nggak bisa kooperatif juga, ya memang sebaiknya dicaesar saja. Tapi waktu itu sempat ketahuan kalau sudah bukaan satu. Dan saya disuruh puasa, untuk siap-siap operasi caesar (Untung tadi sarapan bihunnya licin tandas, hihiii).

Sekitar jam tiga, saya kembali diperiksa. Syukurlah kali ini, yang kebagian jaga bidan yang baik sekali, dan setelah berbekal pengalaman dicolok-colok, saat itu saya sudah siap mental, meskipun si Aq yang jadi korban dijambak-jambak. Ternyata sudah bukaan tiga. Detak jantung si Lumba-Lumba juga bagus, tapi dia kok malas bergerak ya. Saat itu, sudah mulai kerasa mulas sedikit.

Sekitar jam setengah enam, kembali perut saya dipasangi alat, dan kembali (doh) dicolok-colok. Meskipun sudah berpengalaman, tapi kali ini kembali menyebalkan, karena ternyata sudah bukaan enam menuju tujuh. Tapi kok belum mulas-mulas amat ya, masih bisa ditahan dengan mempraktikkan latihan pernapasan (yoga-nya ternyata bermanfaat kok, hihihiiii). Dr. Anita kembali datang, dan saya disuruh buka puasa, karena nggak perlu caesar. Cuma, melihat mulas-mulas saya masih ringan di bukaan yang sebegitu, akhirnya diputuskan kalau saya diinduksi.

Gerakan si Lumba-Lumba juga nggak heboh, padahal biasanya dia heboh megal-megol ke sana kemari. Mungkin dia demam panggung, hihihiii .... Atau mungkin pada saat-saat menegangkan, dia memutuskan untuk kebluk (seperti emak dan bapaknya). Sampai dirangsang dengan bel berbunyi "TOOOOOT" keras, dia cuma megol sedikit, lalu diam lagi, hihihiiii ....

Jam demi jam berlalu, si Aq bolak-balik keluar untuk merokok, jadi yang jaga gantian, kadang-kadang si Emak atau ibu mertua. Sekitar jam delapan, mulailah mulas yang nyaris nggak nahaaaaan. Saat itu si Emak pulang, karena si Papap nggak ada yang jaga. Jadi, yang menunggu hanya si Aq dan ibu mertua.

Sekitar sebelas malam, si Emak datang lagi, karena nelepon si Aq dan dilapori kalau saya
sudah bukaan sembilan menuju sepuluh. Waw ... saat itu mulasnya uedaaan! Karena si Emak dan ibu mertua saya bilang "Kalau sakit jangan ngeluh, istighfar atau dzikir aja!", saya menurut. Tapi pas mulasnya heboh sekali, tanpa sadar saya teriak keras banget "ASTAGHFIRULLAH!" (dan si Aq langsung bisik-bisik, ya ampun Dek, keras amat teriaknya, sambil ngetawain. Sialan!)

Karena memang kurang tidur dan lelah, jadi di antara mulas itu saya sempat ngalenyap---tertidur sejenak tanpa sadar. Dan mengigau segala, hihiii .... Dalam bayangan, saya sedang berkata, "Meskipun air ketubannya ...." lalu tanpa sadar, saya bilang begitu, dan si Aq langsung heboh nyari air minum. Dan kalau episode mulasnya menghilang, saya seringkali tertidur. Yah, namanya juga Geng Kebluk hehe ....

Saat itu juga saya diajari mengedan oleh bidan (lho kok berima?), tapi karena sudah mulas sekali, nggak sempat minta gaya macam-macam. Setelah beberapa kali mengedan, yang keluar kok malah anak tiri, hihihiiii (Lewat belakang gitu lhuwokh ... tapi kata ibu-ibu sepergaulan, sekarang memang gayanya begitu, jadi nggak dikasi obat pencahar sebelumnya, biar lebih alamiah).

Sekali lagi, yoga prenatal memang bermanfaat (eh, pada beli dong bukunya ... ya nggak, T' Ujie? Hihihiii). Meskipun nggak menghilangkan rasa sakit (itu mah obat bius atuh), tapi ternyata otot-otot saya jadi lebih kuat, dan napas lebih panjang. Jadi bisa terus mengedan dengan penuh semangat.

Dan akhirnya, jam 23.50, Jumat malam tanggal 1 Mei, lahirlah si Lumba-Lumba (yang sampai
sekarang belum bernama, soalnya dikira masih ada kesempatan nentuin nama semingguan
lagi, hihiiii). Kelahirannya diiringi ribut-ribut suara demonstrasi karyawan Hotel Grand Aquila
yang ada tepat di seberang RS. Hermina, sekalian May Day.

Saya juga mau mengulang nasihat Ibutio kepada para pengantin baru yang akan menghadapi
malam pertama tapi dalam kondisi berbeda, bawalah handuk kecil saat melahirkan normal, hehe .... Soalnya, keringat mengucur derassss!

Dan yang terakhir, nyeri pada malam pertama tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
pengalaman melahirkan. Hahahahahaaaaaaaaaaaaaa ....

Selasa, 05 Mei 2009

Hari Kelahiran si Bayi Lumba-Lumba


oh, anggota marching band toh

Kenapa sih harus disebut si Lumba-Lumba? Soalnya, emaknya hobi berenang waktu hamil, dan hobi menyanyikan lagu "Si Lumba-Lumba! Makan dulu!"-nya Bondan Prakoso jaman dia masih unyil, lengkap dengan koreografinya (dan ditirukan dengan sukses oleh si Bapak Lumba-Lumba, heheehee)

Lahir tanggal 1 Mei 2009, jam 23.50 WIB, proses persalinan normal, BB 3.320 kg, panjang 49 cm, hobi memberi tatapan meremehkan, ngenyot, dan nangis keras-keras, hihiiii ....

Sayang sekali dia belum bernama, karena ortunya mikir, ah, brojolnya juga 2 minggu lagi, masih ada waktu untuk nyari nama yang pasti, hahahaaaa ....

Jumat, 03 April 2009

[Geng Beser] Peta Per-WC-an di Bandung dan Sekitarnya

Sejak kecil sampai kuliah, saya jarang beser. Sepertinya pembuangan kotorannya tersalur lewat produksi keringat berlebih. Tapi yah, kalau sedang sekolah atau kuliah tetap saja izin ke WC, penyegaran sedikit hihihiii ....

Saya mulai sering beser sejak pengalaman pertama (dan mudah-mudahan terakhir kali) diinfus. Cairan infus rasanya membuat sekujur tubuh jadi dingin dan werrrr ... kadang-kadang nggak ketahan lagi dah, sampai-sampai bisa ngompol.

Seperti yang sudah diperingatkan oleh banyak ibu-ibu yang lebih berpengalaman dan di buku-buku, keadaan Hamdan ATT bisa membuat beser lebih sering. Apalagi kalau si orok semakin besar, karena kandung kemihnya tertekan. Kalau di rumah sih tenang saja, tapi kalau sedang di luar rumah? Makanya, saya jadi terpaksa menguasai peta per-WC-an di Bandung.

Menurut saya, WC umum yang lumayan bersih dan aman ya di mal atau pusat perbelanjaan atau restoran. Mahanagari juga sedang bikin polling di websitenya tentang WC-WC umum di mal ini hehe .... WC umum di mal ini terbagi dua, ada yang gretongan, ada yang harus bayar 1000 perak.

Yang gretongan itu di antaranya adalah WC umum di PVJ, Ciwalk, Istana Plaza, Braga Citiwalk, dan BEC, sementara di BSM, BIP (baru-baru ini), BTC, dan beberapa tempat lain adalah WC umum berbayar. Ada yang nyaman dan tidak nyaman. Menurut standar saya, WC umum yang nyaman adalah yang selalu menyediakan tisyu, sabun, wastafel, dan tempat sampah yang bersih, terus kalau WC duduk, keadaannya harus kering.

Di antara WC umum gretongan, yang paling nyaman menurut saya adalah di PVJ dan Ciwalk. Hanya, saya baru menemukan dua WC di Ciwalk (belum sempat menjelajah dengan teliti), kalau di PVJ, sekarang di tiap lantai ada, di Sogo pun ada, atau kalau mau iseng main ke Blitz, ada juga di sana (meskipun seringnya penuh kalau bubaran nonton hehe). Di PVJ, hampir selalu tersedia tisyu. Istana Plaza lumayan nyaman, tapi antrenya panjang dan nggak ada tisyu. Sementara di BEC, ya gitu deh ....

Nah, yang berbayar pun anehnya, ada yang nyaman ada yang tidak. Padahal kalau dipungut biaya, harusnya perawatannya lebih oke ya. WC mal berbayar yang paling nyaman menurut saya ada di BSM, dan kita selalu diberi tiket undian setiap kali masuk WC (dan saya selalu bertanya-tanya, betulkah ada yang benar-benar menang undiannya? Mungkin saja saya pernah menang, tapi kan jarang ke BSM karena jauh, hihihiiii). Kalau di BSM mau nyaman, masuk ke Metro saja, gretongan pula! Sekarang, BIP pun memberi tiket undian. Tapi di BIP antreannya panjang ... dan jarang ada tisyu tersedia.

Kalau di BTC, ada dua pengalaman yang berkaitan dengan WC. Pernah, sepulang yoga, di bis Antapani - KPAD, saya kebelet pipis. Aduuuuh ... tempat apa yang kelewat oleh rute bis ini, yang menyediakan WC lumayan nyaman ya? Sebelum sempat terpikir, bisnya sudah naik ke jalan layang Paspati, dan keluar-keluar di Pasteur. Ada beberapa pilihan, RSIA Hermina (WC-nya bersih), Griya, Giant, atau BTC. Tapi saya belum tahu letak WC di Griya, sementara kalau ke Giant harus nyeberang dulu, dan di Hermina nggak bisa sekalian jajan hihihiii .... Ya sudah, saya putuskan ke BTC. Eh, setelah lega, hujan turun derassssssss sekali, jadi saya terjebak di sana sampai dua jam, karena jalan banjir (tapi jadinya jalan-jalan dan jajan, hahaha).

Kali kedua, saya sengaja ke BTC, nyari baju kondangan yang cucok untuk ibu-ibu Hamdan ATT. Eh, begitu sampai ke sana, kok kebelet ya. Saya langsung ke WC di lantai dasar. Setelah jalan-jalan dan lapar, saya jajan dulu di foodcourt, lantai 3. Eh, pengen pipis lagi. Pipislah di sana. Jalan-jalannya masih berlanjut, sekarang ke toko perlengkapan bayi di lantai 2. Eh, beser lagi, sialan. Jadi saya ke WC dulu. Sudah tiga lantai yang saya pipisi, hahaha .... Karena masih belum puas, jalan-jalannya dilanjutkan dan ... sebelum pulang, karena beser lagi, saya mampir di WC lantai 1.

Meskipun nggak nemu baju kondangan (malah beli baju dan sepatu bayi lucu), saya harus mengeluarkan 4 x 1000 perak untuk beser dalam waktu hanya sekitar dua jam saja. Coba kalau jalan-jalannya lebih lama, mungkin uang yang dikeluarkan lebih besar lagi, hihihiiiii ....

Di Braga Citiwalk, pengalamannya lain lagi. Saya sempat ngompol di sana (hihiii ...), karena WC yang biasanya sepi, tumben-tumbennya antre. Untung ngompolnya sudah di dalam bilik WC, dan hanya kena CD, nggak kena celana luar. Masalahnya, kali itu saya benar-benar lupa bawa CD cadangan (biasanya selalu bawa), jadi terpaksa ... gitu deh, hihihiiii .... Lalu, pas keluar, saya bisik-bisik sama si Aq, cerita pengalaman tadi, dan kami langsung ke Carrefour untuk membeli yang baru (sambil diketawain lagi, menyebalkannn).

Selain tempat-tempat itu, saya juga langganan ke WC di Supermarket Setiabudi (bersih, kering, sepi lagi, tapi jarang ada tisyu), Giant Flamboyan, dan akhir-akhir ini berhasil menemukan letak WC di Griya Setrasari Mal (duh, leganya, hahaha). WC di Indomaret dekat rumah juga pernah dikunjungi, karena betulan kebelet pipis waktu turun angkot, untung mbak-mbak Indomaret mah baek-baek, hehehe ....

WC-WC di rumah sakit pun beragam kenyamanannya. WC umum di paviliun VIP RSHS lumayan bersih lah, meskipun nggak begitu nyaman (saya nggak berani ke WC umum di RSHS yang biasa, kebayang soalnya, hihiii). WC umum di RSIA Hermina menurut saya adalah yang paling nyaman. Di RS Advent lumayan bersih, tapi nggak ada tisyu. Di RS Kebonjati, ya gitu deh ... tapi yang paling parah adalah WC umum di RS Muhammadiyah. Waktu itu saya nengok almarhum uwak saya di sana, dan tiba-tiba pengen muntah karena migrain. Karena nggak enak kalau muntah di WC dalam (banyak sodara gitu bok), jadi saya cari WC umum di luar. Pas sampe sana, wowww ... malah jadi nggak pengen muntah, hihihiiii ... (aneh, saking joroknya, malah mendingan nggak muntah di sana, mending di plastik aja, haha).

Beda lagi ya, dengan WC di dalam kamar rumah sakit, apalagi yang kelasnya utama atau VIP. WC kelas VIP di RS Al Islam nyaman, begitu pun dengan WC di kelas VIP RS Advent. Bahkan, waktu si Papap sedang dirawat di RS Advent, saya sempat mandi di sana, dan ... serasa mandi di Bali, hahaha .... Soalnya, jendelanya menghadap Jalan CIhampelas (tapi karena di lantai 4, jadi yang tampak hanya rimbunnya pepohonan), kaca jendelanya blur, dan kalau dibuka bagian atasnya, nggak bakal ada yang bisa ngintip hihihiiiii .... Airnya panas lagi.

Bagaimana dengan WC-WC di kampus? Kalau di Unpar (terakhir kali saya ke Unpar pertengahan '97, sebelum kabur tanpa izin dari situ), WC-nya sejak dulu lumayan. Tapi kalo di WC Fisip, kacanya nyaris selalu penuh oleh cewek-cewek yang ngaca, hihihiiii .... Saya pernah ke WC UPI, di bangunan lama, ya gitu deh. Khas WC sekolah. Di Itenas juga gitu (waktu sering jemput si Aq awal-awal pacaran hehe), lagian di Geodesi banyakan cowok, jadi WC-nya seadanya.

Sementara, kalau di ITB, menurut saya WC paling enak adalah WC Astronomi doooong, meskipun klosetnya jongkok. Bisa mandi air anget kalau pagi-pagi (pake teko heater Himastron, haha).WC Astronomi relatif bersih karena hampir selalu dikunci, kalau mau masuk ya ambil kunci dulu di palang pintu. Tapi yang repot kalau kebelet dan kuncinya masih di Pak Amas. Kalau berkasus begitu, pasti lari ke WC TI di seberang.

WC-WC lain di ITB ya begitu deh, standar WC kampus. Sebetulnya ada WC yang nyaman dan bersih, yaitu WC dosen TI. Yah, maaf saja, sedikit nepotisme membuat saya pernah bisa masuk WC dosen TI yang selalu terkunci juga, hihihiiii ....

Begitulah peta per-WC-an di Bandung, meskipun pasti belum lengkap. Sebetulnya, penjelajahan WC ini juga merambah Jakarta lho. Sudah berapa kali saya ke Jakarta bersama Suze Antie naik travel CT Trans yang turun di Fatmawati, dan kami selalu mengunjungi WC raksasa kami di dekat situ---CITOS! Hahaha ....

Minggu, 08 Maret 2009

Insiden di WC sewaktu Beritunya si Babah

Peristiwa ini terjadi di acara pernikahan seorang oknum Babah yang berinisial Q dengan sang mamah yang berinisial M.
 
Sebagai anggota geng beser, seorang tante yang berinisial M (tapi kalo yang beritu dengan si Babah, kita panggil saja Mamah M, yang ini Tante M) bolak-balik ke WC yang untunglah dekat dengan pelaminan (lho kok? Hihii).
 
Nah, saat beser untuk terakhir kalinya, dari balik bilik WC-nya, Tante M mendengar percakapan seseorang via telepon … kok perasaan kenal suaranya ya. Mendesah-desah becek gitu. Tanpa sengaja, Tante M menguping.
 
“Halo? Iya Yang … bentar lagi udahan kok … iya, lima belas menit lagi mau cari taksi. Ini di WC, lagi ganti baju … tadi kan pake kebaya. Iya Yang … Yang … Yang ….” Lalu desahan becek itu diikuti dengan nyanyian mengikuti vokalis band kawinan.
 
Tante M terkesiap, antara ingin batuk dan ingin tertawa (soalnya Tante M memang radang tenggorokan). Tapi rasa terkejut membuatnya tersedak, dan jadilah si Tante M itu batuk-batuk heboh. Sampai muntah segala, hihihiiii ….
 
Setelah beres bersih-bersih, meskipun masih ingin batuk, Tante M keluar dari bilik WC-nya. Sambil masih terbatuk-batuk tapi ingin sekali menghina.
 
Kali ini giliran si oknum yang sejak tadi mendesah-desah becek yang terkesiap. Dia tidak menyangka TANTE M yang ada di bilik WC.
 
Jadilah Tante M keluar dari WC sambil digelendoti si oknum yang memohon-mohon “Kaaa … jangan cerita ya pliiiis … abatatsa!” Karena Tante M nggak menjawab dengan “jimhakho”, jadi ya tetap saja Tante M berniat cerita.
 
Si Tante M sendiri sampai heran, kenapa sih, selaluuuuuuuuu aja dia yang memergoki kekonyolan si oknum. Sejak dulu waktu bekerja di perusahaan yang sama. Dan anehnya si oknum nggak kapok-kapok bertindak konyol, hahahahahaaaa ….
 
Jadi Sit, siapa si Yangyang itu? Apakah kamu berubah nama jadi Icuk? Hahahahaaaa ….


(aku nggak pasang foto ah ... kejadian itu sudah cukup nista, jadi nggak usah ditambah nista hahahaha)

 

Selasa, 27 Januari 2009

Pisang Aromaaaaa


Description:
Dulu, kalo pulang sekolah, biasanya ganti angkot di pertigaan Setiabudi - Gegerkalong. Di pertigaan itu, selalu ada gerobak yang harumnya mewangi hingga membuat air liur bercucuran ... gerobak pisang aroma.

Mungkin itu asal namanya, karena aroma karamel bercampur pisangnya mmm ... membuat kantung si anak sekolah keren menjadi jebol karena pulang sekolah nyaris selalu jajan pisang aroma.

Eh, pas kemaren jalan-jalan di sekitar situ, ternyata tukang pisang aromanya masih ada. Tapi, dari harganya 150 perak, sekarang sudah 700 perak!

Karena sebetulnya bikin pisang aroma ini POC banget, jadi si anak sekolah (waktu itu sudah jadi anak kuliah keren) sering membuat sendiri dan menjualnya di Himastron. Makanya kuliahnya lama, karena dagang melulu. Hihihiii ....

Dan baru-baru ini, si Emak membelikan bahan-bahannya di pasar. Jadilah si tante keren yang dulu anak sekolah keren membuatnya lagi.

Ingredients:
- Kulit lumpia
- Pisang raja cere, tapi bisa juga pake pisang kepok atau pisang nangka. Cuma, pisang nangka itu lebih asem meskipun bentuknya lebih bagus.
- Gula pasir
- Minyak goreng
- Lem terigu (jangan aibon, memangnya Sitorus ...)

Directions:
1. Iris pisang memanjang, jadi dua (kalo pisangnya kecil) atau empat (kalo gede)
2. Simpan irisan pisang di kulit lumpia, taburkan gula sepanjang pisang
3. Gulung kulit lumpianya, lem dengan lem terigu
4. Setelah minyak panas, goreng dengan api sedang
5. Tiriskan minyaknya

POC kaaaaan?
Piece of Cake! *salah ding, piece of banana ini mah, hihihihiiiii*

Minggu, 25 Januari 2009

Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009 | langitselatan.com


http://langitselatan.com/2009/01/12/gerhana-matahari-cincin-26-januari-2009/
Besok gerhanaaaaaaaaaaaaaaa ....

Tapi baca aja tulisannya si Pinah teman saya ini di langitselatan ya .... Hahahaaaaaaaaaaaa ....

*semoga besok cerah sehingga teman-teman yang ngamat gerhana puas*
**karena nggak ada foto gerhana, jadi pake fotonya si Pinah yang nulis hahaa**