Selasa, 10 April 2007

All That You Can't Left Behind

Kadang-kadang, barang-barang lama lebih melekat di hati daripada barang-barang baru. Apa pun alasannya, apakah karena ada sejarahnya, kenyamanannya, atau macam-macam lagi. Mungkin kalau dilihat dari usianya, barang-barang itu sudah patut dibuang. Tapi, apa daya, hati sudah telanjur cinta dan setia (halah … naon sih ieu hahaha).

Nah, kalau Louie di sini mendaftar barang-barang impiannya, saya sekarang akan mencoba kebalikannya—mendaftar barang-barang lama yang begitu melekat di hati. Okay, saya mulai dari benda ini.

P1093000

P1093001

Ini adalah kaus angkatan saya, angkatan dua belas, waktu diklatsar GPA. Kaus ini sudah ada kira-kira sejak bulan Juni 1995, saat saya dan teman-teman akan berangkat ke Cicenang untuk digojlok selama sepuluh hari (Tenaaaang, penggojlokannya nggak kaya’ IPDN. Biasa-biasa kok. Cuma penggojlokan setelah diklatsar yang berat, karena lagu penyambutan GPA tiap penutupan diklatsar selalu begini, “Selamat dataaang, nu gelo anyaaaar …” hahaha). Saya masih ingat, salah seorang teman seangkatan saya, Yudi—sekarang sudah jadi letnan satu (atau letnan ya? Hehe) infanteri—yang membelikan secara kolektif (kalau nggak salah di Cihampelas). Warnanya biru, disablon karet warna kuning yang desainnya tahun ’90-an banget, saat Corel Draw, Adobe Photoshop, dan desain a la distro belum mewabah di kalangan anak muda (tapi ya, sampai sekarang kaus-kaus anak PA teteeeep aja nggak a la distro, hahaha …. Heran duech. Padahal apa salahnya ya? Mungkin harus tanya Omen chayank—anak GPA berpenampilan agak militer, berbadan kekar hasil fitness, berwajah mirip Tata Dado tapi sering ngaku mirip Ari Wibowo—yang jadi desainer di salah satu pabrik kaus oblong.).

Setelah melekat di badan selama hampir sepuluh hari dan tanpa pernah dicuci, waktu pulang diklatsar si Emak langsung menyeduhnya (betulan diseduh, karena si Emak mendidihkan air dan merendam semua baju-baju saya ke dalam air mendidih itu, saking bau lumpurnya—dan bau pesing, hahaha). Saya juga nggak pernah memakainya keluar rumah, karena desainnya “nggak banget”, hahaha …. Paling-paling ada perkecualian, dipakai saat sedang di lapangan (kan nggak ketemu banyak orang, cuma anak-anak doang hehe). Jadi lebih sering saya pakai di rumah, jadi baju tidur. Tapi aneh, meskipun harganya murah dan biasa saja, kaus biru ini sangat nyaman. Sampai sekarang, kaus ini sudah berusia hampir 12 tahun dan masih menjadi baju tidur favorit saya. Mungkin gara-gara “diseduh” si Emak juga kali ya, hahaha …. Dan mungkin karena sejarahnya juga, karena dengan kaus biru ini saya sempat jadi “nu gelo anyar”, hahaha! Gara-gara baju biru ini juga, Achiel, teman seangkatan saya, menyebut angkatan dua belas adalah laskar biru—yang diprotes habis-habisan oleh angkatan-angkatan di atas kami, yang bilang kami ini adalah angkatan leho-hangseur (ingus-pesing!) rimba, hahaha!

P1092997

Benda kedua adalah sweter yang mungkin usianya sudah hampir dua puluh tahun. Sweternya biasa saja, tipis, berwarna abu-abu, bertuliskan “University of Amsterdam” warna biru dan sablonannya sudah luntur. Kaus ini oleh-oleh Totok Bung dari Belanda, dan saya juga sudah nggak ingat, sebetulnya untuk siapa oleh-oleh ini (entah untuk si Abang, entah untuk si Papap. Yang pasti si Abang mah nggak akan muat lagi pake sweter ini, hahaha!) Di bagian punggung bawah belakang, sebelah kiri, ada koyakan sedikit—gara-gara kena paku. Ternyata, si Ujang Dandi Birdy pun memiliki sweter bertuliskan sama, “University of Amsterdam” (Cuma kaya’nya punya dia lebih baru, dan sablonannya dua warna, biru-merah). Jadi, seperti layaknya anak-anak SMA yang suka kembar-kembaran, saya sering janjian memakai sweter ini dengan si Ujang Dandi itu. Sampai sekarang, sweter itu masih ada dan masih nyaman sekali. Hanya saja karena tipis, saya jarang memakainya keluar rumah. Paling-paling jadi baju tidur lagi, hehehe …. (Dan, sweter maneh aya keneh nteu? Mun aya keneh, iraha-iraha urang kembaran deui, hahaha!)

P1092993

Benda ketiga adalah sepatu bot suede berwarna cokelat yang tingginya semata kaki. Saya ingat, membelinya awal kelas 3 SMA, tahun 1995. Jadi, usianya hampir sama dengan kaus biru saya, hampir dua belas tahun. Dulu harganya lima puluh ribu perak. Dibandingkan dengan Converse All Stars semata kaki yang sudah berharga sekitar tujuh puluh ribu, sepatu ini masih lebih murah. Merknya Dr. Mocc, yang sering membuat saya geli sendiri—apakah ini ikut-ikutan Doctor Martens? Hahaha …. Tapi biarpun begitu, sepatu ini asyik banget. Solnya tebal dan antibocor. Sebetulnya tali sepatunya sudah koyak sejak dulu, tapi saya ganti dengan yang lebih kuat. Banyak teman saya yang bilang sepatu ini keren (tapi kebanyakan cowok-cowok, hehehe), tapi sayang, sepertinya saat ini merk Dr. Mocc sudah entah ke mana. Solnya pernah copot sekitar setahun yang lalu, saat saya turun angkot di Desa menuju kantor Cinambo, hahaha …. Tapi segera saya jahit lagi, dan ternyata sepatu ini masih antibocor. Hebat!

P1092991

Benda keempat adalah sepatu trekking merk Adidas berwarna biru-kelabu yang saya beli sekitar tahun 2000. Saya lupa nama serinya apa, pokoknya nama-nama eksotis mirip nama Indian atau Afrika gitu deh. Sepatu ini untuk trekking biasa sih, bukan untuk naik gunung yang serius seperti ekspedisi. Tapi terbukti, sepatu ini sangat nyaman untuk dipakai ke mana-mana—mau naik gunung, mau sekadar leuleuweungan, atau bahkan sekadar jalan-jalan di atas aspal (dan di lantai mal, hahaha). Kelemahannya sama dengan suede cokelat Dr. Mocc saya, solnya pernah lepas. Tapi segera saya jahitkan di tukang sol yang agak bagusan, yang suka ada di mal—hasilnya memang jadi agak aneh sih, karena jahitannya tampak di samping sol. Tapi ternyata kekuatannya jadi lebih dahsyat. Entah kenapa, sepatu ini begitu nyaman di kaki saya. Mungkin karena ukurannya yang aneh—nomor 38 2/3. Beneran lho! Saya menemukannya di sebuah toko sepatu sport di Jalan Trunojoyo Bandung, di bagian anak-anak. Sepatu ini adalah nomor paling besar untuk anak-anak (ukuran bule kali ye). Dan harganya lebih murah dibandingkan sepatu trekking untuk dewasa.

P1092988

Benda kelima adalah sepatu lari Reebok model klasik, berwarna biru muda. Sebetulnya ini adalah sepatu Reebok klasik ketiga yang pernah saya miliki. Sepatu pertama saya berwarna biru tua, kalau nggak salah saya berikan kepada orang lain karena agak sempit, kira-kira tahun ’98. Yang kedua berwarna cokelat—kembar tiga dengan si Abang dan si Bona! Hahaha …. Saya membelinya sekitar tahun 2002 atau 2003. Cuma, sebetulnya saya nggak terlalu suka warna cokelatnya, karena membuat penampilan saya yang sudah dekil menjadi lebih dekil lagi, hehe. Jadi, waktu saya menemukan sepatu berseri sama dengan warna biru muda, saya langsung menjual si cokelat ke si Antjheu. Harganya lumayan jatuh sih, tapi nggak apa-apa, saya telanjur jatuh cinta sama si biru muda ini. Sepatu ini ringan sekali untuk dipakai lari. Tapi, kalau melihat penampilan sepatu saya yang masih bagus ini, sudah jelas terbukti … bahwa saya jarang lari, hahaha! Meskipun baru berusia sekitar 4 tahun, tapi karena sejak tahun ’98 saya sudah jatuh cinta dengan Reebok seri klasik ini, jadi rasanya sepatu ini sudah saya miliki lama sekali.

Benda keenam adalah pensil mekanik Rottring warna kuning, yang saya miliki sejak sekitar tahun 2000. Dulu saya sering sekali kehilangan alat tulis. Bahkan pernah satu kotak pensil seharga hampir dua ratus ribu hilang sekaligus (soalnya ada beberapa rapido berbagai ukuran di dalamnya, hiks!) Tapi, lama-lama saya jadi jarang kehilangan alat tulis. Dan sudah sekitar tujuh tahun pensil Rottring kuning itu sudah menemani saya. Sekarang, merk Rottring di tubuh pensilnya sudah hilang, mungkin sudah terkikis jari saya sendiri. (Si Antjheu juga sempat kagum karena pensil ini awet sekali. Dia sih sudah berapa kali ganti pensil, dan sempat membeli pensil bersamaan dengan saya membeli si kuning ini)

P1093003

Sebetulnya, kalau bongkar-bongkar kamar sih pasti banyak lagi barang-barang yang usianya sudah lama dan amat saya sayangi. Misalnya sehelai bandana “madusa” (Made in USA, maksudnya, hehe) warna merah tua (Memang beda, kualitas madusa dengan bandana lokal. Bandana madusa bersablon bolak-balik dan jenis kainnya lembut, enak dipakai sebagai penutup muka saat naik motor, nggak bikin sesak. Kalau bandana lokal bikin sesak napas). Atau sehelai kemeja kotak-kotak cokelat yang dibeli di Otista Shopping Heaven (yang sekarang sudah pindah tiga kali, ke Cibadak dulu, baru ke Tegalega, kemudian ke Gedebage). Atau jaket Killy biru-kuning yang saya beli dari si Aru (dia juga hasil berburu ke Cibadak, haha). Atau selimut merah saya yang hangat. Tapi sepertinya cukup enam barang dulu deh, nanti tulisan ini panjang sekali!


Catatan
Judul "All That You Can't Left Behind" saya ambil dari tempelan gambar di meja si Abang, karena komputer saya ada di kamar si Abang hehehe ...