Selasa, 27 Maret 2007

Petasan Sumbu Pendek

Entah kenapa, mungkin karena capek atau memang sifat ini sebetulnya sudah ada di dalam diri, beberapa waktu ini saya jadi petasan sumbu pendek. Disulut bentar, langsung meledak. (Padahal, saya ini perempuan penyabar lhuwokh, hahahahaha)

Yang pertama adalah ketika saya akan menendang (betulan lho!) salah seorang oknum (nggak perlu disebut namanya di sini lah, hahaha). Kebetulan, hubungan pertemanan saya dengan dia memang aneh, seringnya berantem, dan berantemnya mirip anak SD, hahaha .... Soalnya, saya sering sekali meledek dia dan dia selalu berusaha membalas. Tapi apa daya, sepertinya dia tidak pernah berhasil mengalahkan lidah yang sudah dilatih silat sejak kecil ini, jadi dia membalas dengan main fisik. Ini yang membuat saya bete. Soalnya dia menonjok-nonjok saya dengan keras. Padahal kan saya gampang memar. Akhirnya saya tonjok lagi dengan lebih keras. Lalu, pada satu kesempatan serius, dia tiba-tiba menyuntrukkan kepala saya (padahal saya sedang berbicara serius lho. Bukan dengan teman-teman, lagi. Makanya saya makin sebal).

Sialnya, saya dan dia sama-sama terikat jadwal acara selama dua hari penuh. Sewaktu akhir acara, akhirnya kesabaran saya habis juga. Waktu dia menonjok saya, saya tonjok lagi dengan keras. Lalu saya berseru, "Lama-lama aku tendang juga!" Seorang saksi mata yang melihat sampai berkomentar begini, "Maneh enyaan rek najong si eta nya Mar?" (Kamu betulan mau nendang dia ya Mar? Bener, Ud, ku urang rek ditajong basa eta teh, ngan teu wasa, bisi ceurik, hahaha). Garing ya? Anak SD-an banget hahahaha ....

Kasus kedua adalah ketika saya pulang dari Sulanjana. Kebetulan si Aq nggak menjemput, jadi saya pulang naik angkot. Turun di Karang Setra, saya ganti angkot dengan Ciroyom - Sarijadi. Eh ... malam-malam begitu, di Gegerkalong Hilir supirnya ngebut banget, susul-susulan dengan angkot Ciroyom - Sarijadi lainnya! Dengan geram saya berteriak, "KIRI!" Padahal masih jauh. Orang-orang seangkot langsung menoleh ke arah saya. Saya turun dari angkot sambil mengentakkan kaki. Lalu ketika membayar, saya bentak sopirnya, "NYAWA, PAK!" Dia tidak berkomentar apa-apa, langsung menginjak gas lagi. Gara-gara itu, saya terpaksa menunggu angkot berikutnya cukup lama, hiks ....

Kali ketiga petasannya meledak adalah ketika saya sedang menuju ke Sulanjana. Karena bus Antapani - KPAD (haha ... naik bus itu lagi deh) nggak lewat-lewat, saya naik Stasiun Hall - Sarijadi, lalu turun di Pasirkaliki dan ganti angkot Caringin - Sadangserang sampai Balubur. Ada empat penumpang di angkot Caringin - Sadangserang itu: saya (duduk di posisi kenek), seorang mahasiswi yang duduk di kanan saya, lalu dua mahasiswi yang duduk di seberang saya. Di awal Jalan Wastukencana, ada seorang Aa-Aa naik. Lalu seorang Aa lagi naik di mulut Jalan Linggawastu. Setelah itu, di depan Prodia ada dua orang cowok lagi naik. Salah satu cowok ini membuang-buang ludah, katanya mual. Tapi dia membuang ludah di jendela pas di belakang saya. Mahasiswi di sebelah saya sepertinya sudah mencium gelagat, dia langsung turun dari angkot. Malah dia sudah berjalan sebelum angkotnya berhenti. Saya bergeser ke kanan. Eh, si Aa itu meludah-ludah lagi ke jendela di belakang saya. Si Aa yang di depan berkata begini, "Teh, itu bajunya kena ludah, dilap pake tisyu aja." Tapi saya sudah mulai curiga, jadi saya membentak si Aa-Aa yang meludah tadi. "KENAPA NGGAK NGELUDAH KE PINTU! LEBIH DEKET DARIPADA KE JENDELA!" Saat itu, dua mahasiswi di depan saya langsung minta berhenti dan turun. Tadinya saya masih ingin membentak si Aa tadi, tapi tiba-tiba ada sesuatu terlintas di benak ... saya harus pindah dari angkot itu!

Saya langsung ikut turun, tetapi karena amarah masih menggelegak di kepala, saya hanya pindah ke kursi depan yang kosong. Di depan Pasar Kembang Wastukencana, salah seorang dari mereka memberikan sesuatu, "Teh, Teh, ini jatuh," ternyata dompet recehan saya yang sudah dekil, isinya juga hanya sekitar empat ribuan. Dengan sebal saya terima saja tanpa bilang terima kasih. Di depan Unisba mereka semua turun. Bapak sopirnya langsung menghela napas lega. "Neng, kirain teh bukan copet. Kalo tau copet mah nggak akan diangkut," kata si Bapak. HAH, KOMPLOTAN COPET? Saya baru sadar! Saya langsung berkomentar, "Iya Pak, kalau receh mah mereka nggak mau." Buktinya, dompet receh saya utuh, tak berkurang uangnya! Dan baru setelah itu hati saya berdebar. Ternyata saya tadi membentak copet. Untung, entah kenapa, saya bagaikan digerakkan untuk turun. Coba kalau masih duduk di belakang. Mungkin saya sudah kehilangan banyak.

Beberapa hari kemudian, saya baca di Kompas Bandung: Komplotan Copet dengan Modus Pura-Pura Muntah Tertangkap. Saya langsung tertawa puas sambil mengangkang ... hehehe, nggak ding. Jahat juga ya, menertawakan penderitaan orang. Tapi hati ini lega, karena saya sebal mereka berusaha mencopet, meludahi kaus saya lagi. Dan ada kepuasan karena sempat membentak mereka, hahaha ....

Kasus keempat adalah ketika saya akan belanja ke Gelael dari Sulanjana. Hari itu panas sekali. Waktu sedang menunggu jalan sepi sebelum menyeberang, saya menguap. Padahal cukup sopan lho, saya menutup mulut dengan tangan dan tidak bersuara. Eh, tahu-tahu ada dua orang Aa-Aa di belakang mobil Blazer yang terbuka meledek (dalam bahasa Sunda: ngalelewe), "Huaaaahhhhhhhh ...." Rasanya darah langsung naik ke kepala. Saya datangi mereka dan langsung bertanya. "Ada apa?" Mereka pura-pura bego, "Apa? Nggak tahu." Saya desak lagi. "TADI APA-APAAN?" "Nggak kok ... nggak." Lalu saya tinggalkan mereka sambil mengumpat-umpat.

Hahaha ... gila ya. Saya sampai takjub sendiri, dari mana datangnya kenekadan itu (bukan keberanian lho, itu mah kenekadan. Apalagi yang membentak copet hahaha). Tapi, meskipun ingin mencegah ledakan ini sering-sering terjadi, saya punya satu keinginan: belajar umpatan bahasa Batak. Kenapa? Supaya bisa mengumpat sopir-sopir angkot Batak yang seenaknya mempertaruhkan jiwa penumpang!
(Maksudnya bukan hanya sopir-sopir Batak saja lho yang begitu. Tapi karena saya menguasai bahasa Sunda ya saya bisa mengumpat dalam bahasa itu, kalau ada sopir orang Sunda. Atau bahkan umpatan bahasa Jawa.) Umpatan yang lebih dahsyat daripada sekadar "Bodat" lah, hehehe ....