Akhir-akhir ini ada seseorang yang pernah mempermasalahkan, mengapa saya memakai kata “saya” kalau menulis?
Jadi ingat waktu masih jadi tapol Cinambo. Dulu, di redaksi Qanita ada perdebatan yang lumayan seru—tentang “aku” dan “saya”. Ceritanya, ada seorang penerjemah senior, Bu Rahartati (penerjemah Asterix dan The God of Small Things), yang menerjemahkan buku Qanita, Snow Flower. Buku ini dikisahkan dari sudut pandang orang pertama, yaitu seorang tokoh gadis Cina zaman dulu yang bernama Lily. Bu Rahartati ini keukeuh menerjemahkan “I” menjadi “saya”. Sementara, kami-kami para kru redaksi, merasa lebih enak jika kisah naratif menggunakan “aku”. Alasan kami, pemakaian kata “aku” terasa lebih akrab dibandingkan dengan “saya”. Sementara, alasan Bu Rahartati, sang tokoh yang bercerita dengan gaya naratif ini masih berjarak dengan pembacanya, dan tentu saja dengan orang yang nggak begitu kenal kita akan memilih menggunakan “saya” dan “Anda”, bukan “aku” dan “kamu”.
Akhirnya, Mamah Antie yang dulunya editor Qanita memutuskan untuk mengikuti saja kehendak Bu Rahartati, menggunakan kata “saya” untuk Lily sang narator. Ternyata hasilnya tetap enak dibaca juga. Meskipun mungkin jadi agak berjarak dengan para pembacanya. Tapi nggak tahu juga sih, itu tergantung para pembacanya sendiri.
Lalu, mengapa saya memilih memakai “saya”, bukannya “aku”?
Begini, sejak kecil sampai sekarang, sebetulnya saya lebih nyaman menggunakan kata “saya” untuk menyebut diri sendiri (kecuali kalau ke orang-orang yang memanggil saya “Adek”, lebih nyaman menyebut “Adek blablabla …”). Kalau nggak, ya sekalian “urang”, karena kebanyakan memakai bahasa Sunda sehari-hari kalau sama teman.
Sementara, kata “gua” atau “gue”, terasa sulit sekali diucapkan. Entah kenapa, padahal anak-anak
Sampai SMA, saya masih ber-saya dan ber-urang. Tapi, begitu masuk kuliah (di astro, soalnya dulu di Unpar saya hanya punya segelintir teman, hihihii), kok banyak orang Jawa, Sumatra, dan
Masuk kantor, ya begitu lagi, banyakan yang ber-aku-aku juga. Kecuali Teh Nunung dan Mbak Dhias, yang konsisten menyebut dirinya “Nunung” dan “Dhias”. Dan setelah gelombang Suze Antie masuk bersama Nenk Epay dan CCRNC (Ceuceu Rien-ceu, maksudnya), ada teman yang juga ber-saya-saya (si Nenk Epay dan CCRNC itu, soalnya dua-duanya orang
Tapi sekarang, ternyata makin banyak serangan kata “aku” itu. Jadi, saya biasanya baru memakai kata “saya” kalau ngobrol dengan teman-teman lama yang memang sudah kebiasaan ber-saya-saya. Karena itu, sebetulnya nggak perlu heran apalagi sampai mempermasalahkan, toh itu sudah menjadi kebiasaan yang nyaman. Sekarang pun, mengobrol ber-aku-aku juga sama nyamannya. Tapi, ber-gua-gua belum senyaman ber-aku-aku.
(Bukan … bukan gara-gara saya menganggapnya terlalu Jakartaan atau kekota-kotaan. Biasa aja. Legian, saya pernah main ke daerah Cikotok di Kabupaten Lebak – Banten
Tapi, ada satu teori menurut Nenk Epay. Katanya, yang suka ber-saya-saya itu orang
Jadi, sebetulnya nggak perlu dipermasalahkan bukan, aku, saya, dan gua? Suka-suka orang, tergantung nyamannya, betul
Keterangan Foto:
Itu foto dewek waktu lagi kecil, udah keren kan ...