Minggu, 23 Desember 2007

Aku, Saya, Gua, Urang, Dewek ....

Akhir-akhir ini ada seseorang yang pernah mempermasalahkan, mengapa saya memakai kata “saya” kalau menulis?

Jadi ingat waktu masih jadi tapol Cinambo. Dulu, di redaksi Qanita ada perdebatan yang lumayan seru—tentang “aku” dan “saya”. Ceritanya, ada seorang penerjemah senior, Bu Rahartati (penerjemah Asterix dan The God of Small Things), yang menerjemahkan buku Qanita, Snow Flower. Buku ini dikisahkan dari sudut pandang orang pertama, yaitu seorang tokoh gadis Cina zaman dulu yang bernama Lily. Bu Rahartati ini keukeuh menerjemahkan “I” menjadi “saya”. Sementara, kami-kami para kru redaksi, merasa lebih enak jika kisah naratif menggunakan “aku”. Alasan kami, pemakaian kata “aku” terasa lebih akrab dibandingkan dengan “saya”. Sementara, alasan Bu Rahartati, sang tokoh yang bercerita dengan gaya naratif ini masih berjarak dengan pembacanya, dan tentu saja dengan orang yang nggak begitu kenal kita akan memilih menggunakan “saya” dan “Anda”, bukan “aku” dan “kamu”.

Akhirnya, Mamah Antie yang dulunya editor Qanita memutuskan untuk mengikuti saja kehendak Bu Rahartati, menggunakan kata “saya” untuk Lily sang narator. Ternyata hasilnya tetap enak dibaca juga. Meskipun mungkin jadi agak berjarak dengan para pembacanya. Tapi nggak tahu juga sih, itu tergantung para pembacanya sendiri.

Lalu, mengapa saya memilih memakai “saya”, bukannya “aku”?

Begini, sejak kecil sampai sekarang, sebetulnya saya lebih nyaman menggunakan kata “saya” untuk menyebut diri sendiri (kecuali kalau ke orang-orang yang memanggil saya “Adek”, lebih nyaman menyebut “Adek blablabla …”). Kalau nggak, ya sekalian “urang”, karena kebanyakan memakai bahasa Sunda sehari-hari kalau sama teman.

Sementara, kata “gua” atau “gue”, terasa sulit sekali diucapkan. Entah kenapa, padahal anak-anak Bandung juga banyak yang ngomongnya “gue-elo”. Si Antjheu juga ngomongnya gitu, bahkan Mami-nya si Antjheu juga, hihihii …. Tapi memang dia sering diledek sih, kalau misalnya keceplosan, “Gua mah hayang ngabaso,” atau sesuatu yang seperti itu (haha … ongkoh gua, tapi hayang ngabaso). Tapi kadang-kadang sih, saya ber-“gue-elo” juga, tapi jarang banget. Ya karena nggak terbiasa aja, soalnya lingkungan sekitar juga nggak banyak yang begitu.

Sampai SMA, saya masih ber-saya dan ber-urang. Tapi, begitu masuk kuliah (di astro, soalnya dulu di Unpar saya hanya punya segelintir teman, hihihii), kok banyak orang Jawa, Sumatra, dan Sulawesi ya, yang ber-aku-aku. Terus, mereka menganggap kata “saya” itu sopan sekali, malah jadi kagok. Akhirnya, jadilah ketularan ber-aku-aku. Apalagi sekarang semakin ngetren gara-gara sinetron. Yang menyebalkan mah ada dua teman saya, satu orang Malangbong (tetangganya Mulan Kwok), satu lagi orang Majalaya, kalau lagi curhat serius ngomongnya ber-aku-aku gitu, padahal kalau sedang gogonjakan mah ngomongnya ber-urang-urang, hahahahahahaaa! 

Masuk kantor, ya begitu lagi, banyakan yang ber-aku-aku juga. Kecuali Teh Nunung dan Mbak Dhias, yang konsisten menyebut dirinya “Nunung” dan “Dhias”. Dan setelah gelombang Suze Antie masuk bersama Nenk Epay dan CCRNC (Ceuceu Rien-ceu, maksudnya), ada teman yang juga ber-saya-saya (si Nenk Epay dan CCRNC itu, soalnya dua-duanya orang Bandung).

Tapi sekarang, ternyata makin banyak serangan kata “aku” itu. Jadi, saya biasanya baru memakai kata “saya” kalau ngobrol dengan teman-teman lama yang memang sudah kebiasaan ber-saya-saya. Karena itu, sebetulnya nggak perlu heran apalagi sampai mempermasalahkan, toh itu sudah menjadi kebiasaan yang nyaman. Sekarang pun, mengobrol ber-aku-aku juga sama nyamannya. Tapi, ber-gua-gua belum senyaman ber-aku-aku.

(Bukan … bukan gara-gara saya menganggapnya terlalu Jakartaan atau kekota-kotaan. Biasa aja. Legian, saya pernah main ke daerah Cikotok di Kabupaten Lebak – Banten sana, dan teman saya bertanya kepada seorang bapak, “Pak, upami ka Halimun ka palih mana jalanna?” “Kin, ku GUA dianteur!” hihihihiiiii …. Sudah sampai ke pelosok desa, kan? Yah, mungkin bilang “gua” sama nggak nyamannya dengan bilang “I” atau “eike” gitu :p)

Tapi, ada satu teori menurut Nenk Epay. Katanya, yang suka ber-saya-saya itu orang Bandung, sementara yang suka ber-aku-aku orang Cimahi. Kalau begitu, pantas saja, karena saya selalu tinggal di Kodya Bandung, bukan di Kotif Cimahi, hahahahaha … (Bagi orang-orang Cimahi, jangan pundung. Nggak tau tuh, itu teorinya si Nenk Epay. Saya mah nggak tau menau ya. Teuing ah. Hihihihiii)

Jadi, sebetulnya nggak perlu dipermasalahkan bukan, aku, saya, dan gua? Suka-suka orang, tergantung nyamannya, betul kan? (Oh, kalau masih dipermasalahkan juga, saya akan menggunakan kata DEWEK saja, sebagai penghormatan bagi leluhur saya yang dari Banten, hahahahaaa)

Keterangan Foto:

Itu foto dewek waktu lagi kecil, udah keren kan ...

Minggu, 02 Desember 2007

Lukisan yang Mengerikaaann!






Minggu lalu, hari Selasa, saya dan Suze Antie diundang untuk menghadiri konferensi pers peringatan 25 tahun Mizan, di R.M. Shinta, depan RRI. Yah, meskipun acara itu sebetulnya hanya makan-makan bagi kami (mungkin kami diundang karena mereka pesan makanannya terlalu banyak, hahahahaaaa).

Karena hari itu termasuk dalam rangkaian 1 tahun menjadi anytime girls, jadi kami bermaksud pergi ke PVJ setelah acara selesai. Tapi sebelumnya, kok pengen ke belakang dulu ya? Ya sudah, daripada ngompol di jalan, lebih baik dilampiaskan di sini saja, mumpung masih ada WC.

Begitu masuk, menutup pintu, membuka celana (ya iyalah ...) dan duduk di kloset, DUG! Tiba-tiba jantung saya berdetak kencang, karena suatu pemandangan di balik pintu. Lukisan seorang perempuan! Tapi, ekspresinya nggak jelas. Legian, ditempelnya tepat di depan kloset.

Jadi, bagaimana menurut teman-teman, melihat ekspresinya yang mengerenyit aneh itu:
1. Apakah perempuan itu mulas-mulas karena diare?
2. Apakah perempuan itu malu karena kepergok sedang telanjang?
3. Apakah perempuan itu baru saja mengalami pelecehan seksual?
4. Apakah perempuan itu memang ekspresinya dari sananya begitu?
5. Apakah perempuan itu mulas-mulas karena mau melahirkan?
6. .... dst, isi sendiri.

(Tapi ya, kalo tiba-tiba mulas saat tengah malam dan pengen kiss-kiss bang bang, serem banget kalo yang nemenin lukisan itu, hihihiiii)

Oiya, pertanyaan tambahan, siapakah nama yang cocok untuk perempuan tersebut?
1. Nyi Uneh
2. Nyi Enok
3. .... dst (isi sendiri)
(yang jelas bukan Nyi Romlah, karena Nyi Romlah sudah memiliki wajah sendiri)