Senin, 31 Juli 2006

KADANG-KADANG, KITA TAK BISA MENDUGA KE MANA KITA AKAN MELANGKAH ...




Pertama kali masuk astronomi, saya
sadar bahwa ... saya akan menjadi bagian dari sebuah klub kecil selama
bertahun-tahun. Iya lah, daya tampung mahasiswanya juga cuma 15 orang. Apalagi,
setelah itu ketahuan bahwa yang mendaftar ulang hanya 13 orang, sama seperti
angkatan sebelumnya, ’96. Apalagi bertahun-tahun yang lalu, kadang-kadang
mahasiswa yang diterima di bawah 5 orang. Tapi sekarang agak berubah kok, daya
tampungnya jadi 25 orang (dan sungguh aneh, karena saya ngerasa nggak biasa
ngeliat anak astro berjumlah banyak, hahaha ….)





Anak astro pertama yang berkenalan
dengan saya adalah si Ketut, pemilik NIM 10397010. Jadi, waktu di luar GSG, dia
nanya, “Anak astronomi juga ya?” Lalu mulailah kami mengobrol. Ternyata dia
Bali palsu, karena logatnya Sumatra abis dan
ternyata dia dari Prabumulih. Huh! Lalu, saya bertanya, “Di sini kos?” Si Ketut
menjawab, “Di rumah Oom.” “Di mana?” “Di Sarijadi.” Hah? “Blok berapa?” saya
tanya lagi. “Blok 26.” Hah? “Nomor berapa?” saya terus mencecar. “No. 144.”
Hah! “Itu kan
deket banget sama rumah saya!” Dan betul saja, besoknya, hari pertama P4, saya
melihat si Ketut berjalan di depan rumah saya. Kebetulan saya diantar, jadi dia
menumpang mobil saya deh, hehehe …. Setelah itu, kami lumayan sering pergi dan
pulang sama-sama, dan syukurlah nggak ada rasa spesial yang tumbuh di antara
kami hahaha ... (Ough, huek huek banget duech … muhrim, gitu bok, hahahahahaha).
Dan ternyata, ada satu lagi tetangga kami, yaitu Udin, tapi rumahnya agak jauh
di Sarijadi atas, dekat jalan ke Polban.




Anak astronomi selanjutnya yang
saya kenal adalah Iyam, orang Makassar
Karawang yang besar di Cilacap, pemilik NIM 10397006. Saya mengenalnya saat
kami sama-sama berjalan turun ke Sabuga, saat sidang terbuka penerimaan
mahasiswa baru. Perjumpaan dengan Iyam tak begitu meninggalkan kesan, jujur
deh. Soalnya, memang Iyam nggak neko-neko orangnya, wajar-wajar saja.







Nah, di Sabuga itu untuk pertama
kalinya saya bertemu dengan teman-teman seangkatan saya. Ada Avivah alias Vivi,
anak Ambon yang sering diajak sholat oleh
teman-teman (dan bukannya saya, hahahaha …), pemilik NIM 10397001. Lalu ada
Farkhan, orang Kartasura yang—menurut si Nata—kasep tapi agak nggak gaul, pemilik
NIM 10397002. Setelah itu ada Asteria alias Tya, cewek yang saaaaaaaangat
Yogya, berasal dari Cibinong, pemilik NIM 10397003. Ya ampun, Tya ini
saaaaangat sopan. Dengan rok putih setengah betis berimpel (karena dia dari SMA
Regina Pacis Bogor, saya kira dia seperti tipikal anak-anak Santa Ursula atau
Tarakanita lah, rok mini dengan kaus kaki panjang. Ternyata nggak! Hehehe), dia
selalu minta izin melakukan sesuatu, seperti, “Maaf, boleh aku duduk di sini?”
Setelah Tya, ada Yana, cowok Bandung
ceking hitam asal SMA 5, pemilik NIM 10397004. Lalu ada Saifudin, cowok
Pemalang yang ternyata paling senior di antara kami (dia tuh harusnya angkatan
’95), pemilik NIM 10397005. Berikutnya Iyam tadi, pemilik NIM 10397006, lalu
saya, si James Bond 007 (dan ternyata selama beberapa tahun, saya adalah James
Bond tercantik di antara angkatan lain, baru rekornya pecah setelah angkatan
2003, dengan Hepi sebagai James Bond baru). Setelah saya, ada Faizal alias
Ical, anak Makassar yang ternyata pernah lama di Bandung—jadi bisa berbahasa Sunda meskipun
kasar. Takjub deh, kulitnya putiiiiiih, rambutnya halus lembut kemerahan, oh,
dia begitu cantik! Ical ini pemilik NIM 10397008. Setelah Ical ada Zaid, anak
kalem asal Tulungagung, pemilik NIM 10397009. Berikutnya Ketut si Bali-Prabumulih
tadi, 10397010. Pemegang NIM 10397011 adalah Ina, cewek Kediri yang dulu tampil tomboy dengan jalan
gagah dan rambut Lady Di-nya. Setelah itu ada Neflia, anak Pontianak yang saaaaangat kekanak-kanakan,
pemilik NIM 10397012. Dan, sebagai penutup, ada Nata, cewek bulat pendek yang
mirip ustadzah, asli Malangbong tapi sekolah di MAN 1 Bandung, pemilik NIM 10397013.






Hebat ya, bisa hafal semua NIM
teman seangkatan, hahahaha … Coba jurusan lain, ada nggak yang bisa begitu?
*Sombong mode on* Arti NIM kami itu adalah: 1 = kami ini mahasiswa S1, 03 =
kode jurusan astronomi, 97 = angkatan, dan tiga digit di belakang 97 adalah
nomor urut pendaftaran ulang. Dan sampai sekarang, belum pecah rekor: belum
pernah ada 3 angka terakhir NIM anak astronomi menembus tiga digit! Hahahaha ….






Pertama bertemu teman-teman
seangkatan, terus terang saja saya kecewa. Cewek-ceweknya hararideung alias
pada item, yang paling putih si Nata, hahaha … SARIP banget yak. Sementara
cowoknya, aduh, nggak ada yang keren deh (hahaha … kebayang kalo ngomong gini
di depan mereka, pasti kena sambit berbagai barang).






Pertemuan di Sabuga singkat
saja—hanya makan bersama—sehingga kesannya nggak begitu mendalam (kecuali Tya
yang sopan banget, Lia yang sangat-sangat childish, dan si Nata yang ustadzah
banget). Pertemuan berikutnya terjadi di jurusan astronomi, Labtek III lantai
4, saat pertemuan dengan ketua dan sekretaris jurusan.






Saat inilah, beberapa kejutan
terjadi lagi. Seperti si Ina—yang saya sangka orang Sunda karena namanya Ina
Rohaeni, dan ternyata betul, bapaknya orang Sagalaherang dan bernama Pak Atang
Rohana—yang medok banget mengatakan “DDDari SMA DDDua KeDDDiri!”. Dan si Nata,
yang mengutip ayat-ayat Al Quran sebagai motivator masuk astronomi (teu nyangka
ayeuna jadi kieu, hahahaha). Sumpeh duech, gayanya ustadzaaaaaah, banget!
Apalagi, wajahnya si Nata mirip Bu Dedeh, guru ngaji di dekat rumah saya (yang
memiliki anak banyak). Selain itu, kontras dengan seragam putih-putih yang kami
pakai, si Nata menggendong tas yang warnanya pink keunguan, elektrik! Ya
ampyun, dari jarak beratus-ratus kilometer itu sudah ketahuan deh, itu si Nata.






Setelah P4, mulailah kami menjalani
hari-hari sebagai teman—mula-mula, lalu keluarga—lama-lama. Soalnya, belum ada
penyebaran kelas TPB, jadi kami disatukan dengan jurusan Matematika, kecuali
untuk mata kuliah Kalkulus kami disatukan dengan Biologi. Mulai timbul
keanehan-keanehan yang sebelumnya ditutup-tutupi (jaim tea!), rasa peduli
antarteman, dan perasaan bersatu sebagai keluarga kecil di rimba belantara ITB.






Angkatan kami juga lumayan terkenal
karena sering bernyanyi di demo-demo mahasiswa prakejatuhan Soeharto.
Personilnya: Iyam sebagai vokalis, Ical sebagai gitaris, saya sebagai gitaris
dan vokalis latar, dan Tya sebagai pemegang kecrek dan juga vokalis latar.
Sebetulnya band ini adalah salah satu proyek kaderisasi dari Mas Hasan—ketua
Himastron saat itu—untuk mengisi acara musik sore. Eh, taunya keterusan.
Manggung di radio-radio yang mengadakan diskusi reformasi, sampai pengalaman
sepanggung dengan Totok Tewel di acara Malam Iota Tau Beta, temu alumni ITB di
sebuah kafe daerah Blok M, Jakarta.
Ternyata, malam itu bertepatan dengan peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti
(dan salah satu korbannya, Hafidhin Royan, adalah anak GPA). Seorang alumnus
menyuruh kami segera pulang setelah acara selesai, dengan taksi 4848 dan
berpesan agar hati-hati, jangan sampai dibuntuti (mungkin nama kami saat itu
sudah masuk daftar pencarian intel deh, hehehe). Syukurlah kami tiba di Bandung dengan selamat, dan mudah-mudahan Bapak Supir kami
juga selamat sampai Jakarta
kembali (karena beberapa saat setelah itu langsung terjadi kerusuhan Mei ’98).
Yah, pokoknya angkatan ’97 (nggak cuma jurusan astronomi, tapi saya rasa
jurusan lain juga) dibesarkan dengan demo-demo mahasiswa, meskipun
kadang-kadang motivasi ikut demo-nya juga karena males kuliah (seperti saya),
hehe ….






Selama beberapa tahun bersama dan
tak terpisahkan (kecuali kuliah pilihan atau beberapa yang terpaksa mengulang
kuliah—termasuk saya, hahaha), hubungan kami betul-betul jadi seperti saudara.
Tapi, tetap saja beberapa orang meninggalkan kami. Meskipun sedih, tapi
bagaimana lagi, mungkin jalan hidup harus begitu. Tahun ’98, Farkhan
meninggalkan kami, karena masuk Fakultas Hukum UGM. Dia ingin lebih dekat
dengan ibunya, katanya sih begitu. Lalu, tahun kedua, rontok dua orang lagi. Yana, yang terlibat pengajian perpus (dulu sangat beken
nih, saya nggak tau isinya apa, tapi seringkali si anggotanya jadi menghindar
& bermasalah dengan sekitar). Lalu Ketut, yang pindah ke HI Unpad. Lalu,
pada tahun kelima kami terpaksa kehilangan Saifudin, yang nggak lolos lubang
jarum tahap Sarmud. Kisah kasus sarmud ini sangat heroik, karena, dari 10 orang
anak astronomi ’97, enam orang bermasalah! Edun nggak sih, hahaha …. Lima dari kami—saya,
Nata, Ina, Tya, dan Udin—bermasalah dengan mata kuliah mekjut alias mekanika
lanjut (jangan langsung berpikiran jorang ah!), sementara Ical bermasalah
dengan Mavek. Setelah bercucuran keringat dan air mata (darah mah nggak), lima orang lolos, kecuali
Udin. Tentu saja kami sedih sekali.






Waktu itu Zaid sudah lulus (tepat
waktu, Oktober 2001). Iyam pun menyusul tahun 2002, dengan perut buncitnya
(waktu itu dia sedang hamil Hanan, anak pertama). Setelah itu Vivi, lalu Tya
dan Ical, lalu periode berikutnya saya, Maret 2004 (masih lebih singkat 1
semester dibandingkan si Abang, hahahaha!), lalu periode berikutnya, batas
akhir DO—Oktober 2004, 3 orang lolos lagi—Nata, Ina, dan Lia. Jadi, total yang
lulus dari astronomi hanya 9 orang (dan saya juga takjub, bisa lolos juga,
hahaha!).






Saat masih sering bersama-sama,
kami juga sempat meramalkan masa depan kami sendiri. Vivi akan bekerja di
bidang IT. Farkhan entahlah (soalnya dia sudah pindah ke UGM), Tya akan jadi
karyawan kantor yang tugas-tugasnya administratif (seperti bank, dll). Yana juga nggak sempat kami ramalkan, karena keburu
menghilang. Udin kami ramalkan menjadi wiraswastawan sablon (karena suatu kali,
dia pernah bikin spanduk dengan rapiiii sekali). Iyam kami ramalkan menjadi aktivis,
seperti Khofifah Indar Parawansa. Saya, jadi artis, hikhikhik … nggak ketang,
jadi wiraswastawati di bidang kreatif, seperti pembuatan merchandise dll. Si
Ical jadi aktivis juga, sementara Zaid menjadi ilmuwan atau astronom, Ina sama
dengan Tya, Ketut entahlah (karena sudah cabut juga), Lia jadi pedagang, dan si
Nata jadi penulis (maunya dia) sekaligus pengusaha katering. Jadi, di antara 13
anak astro ’97, yang kami anggap paling mumpuni di bidang astronomi hanya satu,
Zaid seorang. Yang paling “murtad” adalah saya dan si Nata, karena itu tak
pernah tebersit sekalipun kami akan meneruskan bidang ini.






Hasilnya? Hahaha … sungguh aneh.
Vivi memang bekerja di bidang IT, sembari kuliah S2 di astronomi. Farkhan
entah, karena sudah agak lama kami hilang kontak. Tya jadi PNS di BMG, anak
buah Pak Mezak Ratag, dan tampaknya akan lebih mendalami ilmu astronomi. Yana juga entah ke mana, terakhir saya melihatnya dengan
ransel besar di daerah Ujungberung (memang dia tinggal di sekitar situ). Udin
jadi guru les pelajaran eksak untuk anak-anak SMP, Iyam meneruskan S2 di
astronomi sekaligus ibu rumah tangga dengan dua anak, baru lulus S2 2 minggu
lalu, dan sekarang ikut suaminya yang mengajar di ITS. Saya, jadi editor buku
anak-anak (meskipun masih ingin jadi desainer interior dan pengusaha
merchandise, es krim, kopi, dst … hehe). Ical juga jadi editor, tapi film dan
video, sekarang di IMTV, setelah sebelumnya menjadi asisten editor (haha …
asisten urang!) yang merusak moral generasi muda di Rapi Film (kalo nggak
salah, pokoknya mah sinetron-sinetron gitu lah). Zaid sempat bekerja di kantor
konsultan si Papap, kemudian melanglang buana sebagai wartawan Kompas. Si Ina
meneruskan kuliah di S2 TI, sampai sekarang belum lulus juga. Ketut belum lulus
dari HI Unpad, tapi dia jadi pelatih aikido.Yang paling mengagetkan adalah si
Lia, dia jadi PNS di LAPAN! Hahahaha … sungguh aneh. Terakhir, si Nata, sempat
jadi pekerja LSM yang mengurus PSK, HIV, dan AIDS (lumayan cucok sih kerjaan
ini), tapi sekarang dia jadi pengajar tim olimpiade fisika di Karawaci!






Jadi, ramalan kami—yang didasari pengamatan
terhadap sifat, kemampuan akademik, dan potensi—ngawur semua, kecuali ramalan
tentang Vivi. Dan tentu saja kami saling menertawakan sekaligus menertawakan
diri sendiri tentang hal ini, terutama saya dan si Nata Pehul.






Dan ini belum selesai. Masih banyak
kemungkinan, karena toh usia kami masih relatif muda (tapi kalau saya mah muda
selalu, hahaha ….), jadi bisa saja tiba-tiba banting stir lagi, mungkin atas
kemauan sendiri atau keadaan yang memaksa begitu.




 




Memang, kadang-kadang, kita tak bisa
menduga ke mana kita akan melangkah.




(Keterangan foto: anak-anak '97 saat jadi panitia wisuda tahun '98 awal, bersama Pak Moedji Raharto, ketua jurusan saat itu)





Jumat, 28 Juli 2006

Bagaimana Caranya Berkunjung ke Observatorium Bosscha, Lembang


"Oh, kamu kuliah di astronomi? Pengen ke Bosscha doooong ..."

pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering saya dengar sejak baru masuk kuliah sampai sekarang. Tentu saja dengan senang hati saya menjawab sepengetahuan saya. Kalau nggak bisa jawab pun, dengan senang hati akan saya carikan infonya. Sungguh, betuuuul ... aku Etty Gadis Jujur, kok! Hahahahaha ....

Kenapa saya senang hati menjawabnya? Karena dengan meneruskan info ini, berarti saya ikut berperan dalam penyebaran dan pemasyarakatan ilmu pengetahuan (halahhhh! so sweet ... hahaha) walaupun sedikiiiiiit.

Ya sudah, cukup basa-basinya.

Para pemandu yang bertugas di Observatorium Bosscha ini kebanyakan mahasiswa, meskipun tentu saja ada mas-mas peneliti (seperti Mas Hendro & Mas Irfan, bintang film Sherina yang itu lhuwo, "Ndro, Ndro, saya mau pulang, istri saya melahirkan!" hahaha) dan asisten peneliti seperti Gaby (cowok lho dia, namanya Gabriel Iwan, bukan Gabriella). Ada juga bapak-bapak teknisi yang kemampuan teknisnya lebih ahli daripada para mahasiswa, hahahaha ... (buka kartu euy)

Waktu masih kuliah juga saya lumayan sering jadi pemandu di sana. Lumayan lah, selain menambah skill cuap-cuap, saya jadi kepaksa belajar ilmu astronomi lagi. Karena terbiasa berlatih memikirkan kalimat-kalimat terstruktur, jadilah saya … seorang editor, hahaha …. Ngarang abissss!

Observatorium Bosscha sendiri dibuka untuk umum antara bulan April sampai Oktober, waktu-waktu yang dianggap musim kemarau (sehingga cerah). Waktunya adalah ketika bulan sedang dalam fase seperempat pertama, berarti sekitar 7 hari pertama bulan Islam. Mengapa? Supaya para pengunjung bisa melihat objek langit (bintang, gugus bintang, planet, dll) sekaligus melihat bulan. Cahaya bulan seperempat pertama tidak sekuat bulan purnama sehingga objek-objek langit lain bisa cukup jelas terlihat, dan terbitnya sekitar senja (pada fase seperempat terakhir, bulan terbit setelah tengah malam).

Kunjungan ke Observatorium Bosscha sendiri ada beberapa jenis:
1. Kunjungan malam
Ini yang paling banyak peminatnya. Dalam kunjungan malam ini (kalau istilah kami sih: malam umum), Anda bisa:
- Mengikuti presentasi topik astronomi populer, kadang-kadang temanya cukup aktual. Misalnya, di sekitar hari presentasi sedang terjadi gerhana bulan, ya temanya itu. Tapi ya nggak selalu, meskipun presentasinya tetap menarik. Apalagi sekarang sudah sering menggunakan media presentasi yang lebih canggih, multimedia (Kalau dulu sih seringnya slide projector atau OHP, hiks ... Hahaha).
Sedikit tips: kalau masih penasaran, tanya saja si pemberi presentasi! Pada umumnya sih, kami-kami senang ditanya-tanyai. Itu tandanya Anda memerhatikan pemaparan kami dan ingin tahu lebih lanjut tentang astronomi.

- Meneropong di dua teleskop yaitu Teleskop Bamberg dan Teleskop Unitron.
Teleskop Bamberg terletak paling dekat dengan jalan masuk ke Bosscha. Lumayan besar dan untuk masuk, kita harus menuruni lumayan banyak anak tangga. Biasanya sih, objek yang dilihat di teleskop ini adalah bulan. Di arah Barat, ada teleskop kecil yang bernama Unitron. Kecil-kecil cabe rawit, nggak usah kecewa duluan melihat tongkrongannya. Biasanya, kita bisa mengamati objek-objek seperti planet-planet, gugus bintang, dan bulan (Ed, CMIIW euyyyy … udah lupa sih).
Sedikit tips: bersabarlah, antre yang rapi. Jangan memegang eye-piece (lubang tempat kita mengintip) teleskop, karena ini sering menyebabkan teleskop bergeser dari objek (apalagi menggerakkan teleskop dengan sengaja, karena biasanya sudah diset untuk mengikuti gerak objek langit). Jangan menyalakan lampu yang terang juga, agar objek langit bisa terlihat lebih jelas. Dan jangan berharap terlalu tinggi, misalnya meneropong sebuah bintang dan berharap melihat gambaran mirip matahari. Oh, tentu tidak. Paling juga, kalau kita mengamati bintang ganda (yang terlihat dengan mata telanjang seperti satu bintang), sekarang terlihat jelas ada dua bintang. Bintangnya juga berupa titik saja, bukan Titik Shandora.

- Melihat interior teleskop terbesar di Observatorium Bosscha, Teleskop Zeiss.
Sayang memang, di sini kita nggak bisa seenaknya menjajal teleskop. Tapi, presentasi sang pemandu nggak kalah menarik, dia akan menerangkan sistem kerja teleskop ini, termasuk membuka dan memutar tutup kubah serta menaik-turunkan lantai! Selain sistem kerja, sang pemandu juga akan menerangkan sejarah teleskop ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Sedikit tips: jangan memaksa untuk naik ke daerah pengamatan, apalagi bergerombol. Soalnya, konstruksi Teleskop Zeiss tidak dirancang untuk menopang beban banyak. Apalagi usianya sudah tua, dibangun tahun '20an. Jangan menjelajah ke tangga di bawah daerah pengamatan pula. Selain gelap dan menyeramkan, kalau lantainya diturunkan, kita bisa terjebak di sana. Hiyyy ….

- Berbelanja di "toko" yang menjual merchandise astronomi, mulai dari kaus, stiker, gantungan kunci, miniatur Teleskop Zeiss, bahkan teleskop kecil.

Tips umum: Datang agak awal, sekitar jam 5 sudah stand by di Bosscha. Soalnya, jam 8 acaranya selesai.

2. Kunjungan Siang
Di kunjungan siang ini, biasanya pesertanya murid-murid sekolah. Acaranya sih hanya presentasi saja, ditambah melihat-lihat teleskop-teleskop dari luar, tidak menjajalnya. Kadang-kadang ada sih, untuk mengamati matahari. Tentu saja dengan teleskop khusus yang telah dipasangi filter. Tapi selama saya bertugas sebagai pemandu, jarang terjadi deh, nggak tahu ya sekarang-sekarang.
Sedikit tips: WARNING! Jangan pernah melihat matahari dengan menggunakan teleskop tanpa filter. Prinsip kerja teleskop adalah memperkuat cahaya. Sinar matahari yang sudah kuat akan bertambah kuat, bisa membuat mata kita buta!

3. Kunjungan Khusus
Selama bertugas sebagai pemandu, saya belum pernah mengalami yang namanya kunjungan khusus ini. Tapi, kunjungan khusus ini adalah permintaan yang diminta secara khusus oleh badan-badan tertentu. Nggak tahu tuh kalau pengalaman Mister Edi Brekele, pernah nggak Ed? Dan setahu saya, proses permintaan kunjungan khusus ini lebih mudah dilakukan oleh badan-badan yang memiliki kaitan erat dengan Observatorium Bosscha atau ITB sendiri, seperti misalnya badan apa ITB lah, atau yang lain-lain.

Inilah yang harus dilakukan untuk bisa berkunjung ke Observatorium Bosscha di Lembang:
1. Telepon ke Bu Cucu pada hari dan jam kerja, ke nomor telepon (022) 2786001.
Bu Cucu ini adalah salah seorang staf administrasi Observatorium Bosscha, yang salah satu tugasnya adalah mengatur jadwal kunjungan. Beliau akan meminta informasi tentang jumlah anggota rombongan (tapi sendiri juga nggak apa-apa sih, nggak usah takut). Lalu, Bu Cucu akan mengecek jadwal, dan memasukkan rombongan ke hari yang masih kosong. Dan sori dori mori, bisa saja kita daftar tahun ini tapi baru bisa berkunjung tahun depan. Soalnya antreannya banyak dan kapasitas Observatorium Bosscha terbatas. Jika menerima kunjungan dengan berlebih, bisa-bisa biaya perawatan yang dikeluarkan akan sangat besar (untuk memperbaiki yang rusak, dll).
2. Biaya masuk per orang adalah Rp. 7.500,00 (murah kaaan? Dulu apalagi, gretong!). Bisa ditransfer atau dibayarkan langsung pada saat kunjungan, nanti Bu Cucu yang akan menerangkan lebih jelas.
3. Tunggu apa lagi, setelah mendapatkan jadwal pasti, ya datang ke Lembang!

Dan ini beberapa tips umum untuk berkunjung ke Observatorium Bosscha:
1. Jika tidak membawa kendaraan, bisa naik ojek dari Batureok Lembang. Harga per ojek itu Rp. 3000,00 kalau hari biasa, kalau ada kunjungan sering ada praktik-praktik penggelembungan biaya oleh para tukang ojek itu.
2. Jika rombongan datang dengan bis, bis diparkir di pelataran depan toko-toko di Batureok. Lalu, kita bisa naik ojek dari Batureok. Sebetulnya berjalan kaki juga bisa, apalagi kalau ingin sedikit berolahraga. Tapi memang melelahkan, karena lumayan jauh dan menanjak. Kalau ingin berjalan kaki, jangan lupa bawa senter. Sepanjang jalan masuk dari gerbang kedua Bosscha gelap, siapa tahu tiba-tiba kita menginjak ular. Hiyyy!
3. Bawa jaket atau baju hangat, soalnya dingiiiin. Apalagi kalau malam.
4. Observatorium Bosscha susah air-jatah air ledeng juga bergantian digunakan oleh perumahan para dosen, kantor observatorium, dan penduduk. Jadi, kalau bisa sih sudah buang air kecil atau besar sebelumnya. Ada sih fasilitas WC, tapi terbatas.
5. Jangan makan di sembarangan tempat, apalagi membuang sampah sembarangan! Selain jorok, remah-remah makanan akan memancing binatang-binatang yang bisa merusak peralatan (seperti tikus, kecoa, dll). Sebaiknya makan permen aja deh, minum boleh, atau makanan praktis seperti roti untuk mengganjal perut. Kalau mau makan, di sekitar Pasar Lembang kan bejibun penjual makanan. Jangan berniat piknik di Bosscha, meskipun tamannya mirip setting film India, penuh bunga. Dan, keterlaluan kalau ada yang buang sampah sembarangan. Ini mah berlaku di mana saja!
6. Hati-hati dengan instrumen. Ini adalah aset kekayaan bangsa Indonesia dalam bidang riset dan ilmu pengetahuan. Harganya tentu saja mahal. Lagipula, hal-hal ini kan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Kalau ada instrumen rusak dan harganya mahal, dari mana biaya perbaikannya? (Paling nunggu bantuan luar negeri lagi, tapi … malu atuh, dibantu terus) Jadi, tumbuhkan rasa memiliki terhadap instrumen-instrumen ini ya.
7. Sudah beberapa kali kejadian, cinta bersemi di antara para pemandu dan rombongan kunjungan. Ini sih terserah saja, bagaimana Tuhan menentukan jodoh datang dengan cara apa saja. Tapi, berbaik-baiklah dengan para pemandu pada umumnya, meskipun nggak merasa tertarik kepada individunya. Rasanya senang sekali mendapat perlakuan ramah dari pengunjung, setelah cuap-cuap dan capek-capek datang ke Bosscha. Senyum dari pengunjung bagaikan air sejuk yang menyiram tanah kering-kerontang. Halahhhh! Hahahaha …

 Jadi bagaimana, siapkah Anda berkunjung ke Observatorium Bosscha?

Ed, kalo ada yang kurang tolong tambahin ya, kalo ada yang salah tolong benerin. Tengkiuh.
(model yang sedang sok aksi di bawah Teleskop Zeiss itu adalah si Bona)


Tambahin ahhh ... fotonya.
Bandingkan ketebalan tubuh model yang satu dengan model yang lain, hihihiiiiiiii


Jumat, 21 Juli 2006

Toko Oen Malang

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Eclectic
Location:Jl. Basuki Rachmat no. 5 Malang, telp +62-341-364052
Sebetulnya Toko Oen ini ada beberapa. Pertama kali berdiri di Yogyakarta pada 1922, lalu menyusul di Semarang, Jakarta, dan di Malang. Cuma, saya baru mencoba yang di Malang.

Tahun 2000 lalu (waaa, sudah 6 tahun!), saya ikut gladian pencinta alam nasional yang diadakan oleh Jawa Timur. Karena bidang yang saya ikuti itu manajemen ekspedisi (lebih teoretis), jadi kegiatan berlangsung di kampus STAIN Malang, di Gajayana.

Dan di antara jam kosong di antara acara, saya bersama dua teman GPA (kebetulan yang ikut bidang itu bertiga) menjelajah kota Malang dengan angkot (dan sedikit tanya-tanya :p). Dan di alun-alun kota Malang, di seberang McD Sarinah, sebelah Gramedia, dekat Gereja Katedral Malang, kami menemukan Toko Oen.

Pertama masuk, kami sudah dibuat takjub dengan sapaan suara berat, "Selamat sore," dari seorang bapak berkumis tebal dengan kostum koki putih-putih (lengkap dengan topi tingginya!).

Karena sudah makan jatah gladian (yang sungguh aneh, dan yang paling aneh, suatu siang kami diberi nasi bungkus porsi kuli dengan tiga potongan daging tetelan di atasnya, lalu seplastik cairan hitam. Ya ampuuun, ternyata itu rawon! Hahaha), jadi kami membolak-balik menu dengan agak bingung. Jenis makanannya mulai dari steak, nasi goreng, mie, salad, kroket, sampai es krim (itu alasan mengapa saya mencantumkan eclectic di atas). Sudah tertebak kan, kami memilih apa? Makan es krim, tentu saja!

Es krim Toko Oen ini buatan sendiri. Teksturnya memang nggak selembut es krim buatan pabrik, macam rasanya juga nggak begitu banyak. Waktu itu saya mencoba semacam cassata (tapi irisannya tipis, hehe) rasa tutti-frutti. Teman saya yang satu sih sungguh nggak mau tantangan, dia nyoba yang standar ... rasa cokelat. Sementara yang satu lagi, mencoba es krim campur sedikit minuman keras, hahaha .... (lumayan sembriwing!).

Yang membuat asyik adalah suasananya, karena interior Toko Oen Malang ini masih jadul banget. Ada sebuah radio kuno merek Phillips berukuran besar di sudut ruangan. Kursi-kursi rotan rendah mengelilingi meja-meja bundar kecil, cocok sekali kalau hanya untuk makan kudapan atau sekadar minum kopi. Kalau ingin makan besar, bisa duduk di kursi-kursi rotan yang mengelilingi meja persegi. Sambil menikmati es krim jilatan demi jilatan, saya memandang berkeliling. Serasa mengarungi perjalanan menembus waktu, membayangkan para wanita pengunjung Toko Oen yang berkebaya encim putih dan para lelaki dengan setelan jas khas zaman dulu. Coba kalau di Toko Oen ini ada live music menyanyikan lagu-lagu tempo doeloe (ehem, Goerita Malam gitu lhuwokh, hehehe … udah demam manggung nih, maksudnya bukan demam panggung, tapi demam pengen manggung hahaha), suasana akan lebih memabukkan.

Ternyata, keluarga Oen, sang pemilik, telah menjual beberapa toko kecuali yang di Semarang. Tapi, Toko Oen Malang pun mengesankan kok. Jika ingin mencoba datang ke tempat ini, coba nikmati suasananya juga, jangan hanya makanannya. Kalau saya sih, sebagai penggemar aliran Mooi Indie, sangat menikmati Toko Oen Malang ini.

Sumber foto Toko Oen:
members.lycos.nl
Karena dulu belum musim kamera digital (hiks), jadi foto es krimnya dari sini:
www.recipes4us.co.uk
www.progel.ro