Pertama kali masuk astronomi, saya
sadar bahwa ... saya akan menjadi bagian dari sebuah klub kecil selama
bertahun-tahun. Iya lah, daya tampung mahasiswanya juga cuma 15 orang. Apalagi,
setelah itu ketahuan bahwa yang mendaftar ulang hanya 13 orang, sama seperti
angkatan sebelumnya, ’96. Apalagi bertahun-tahun yang lalu, kadang-kadang
mahasiswa yang diterima di bawah 5 orang. Tapi sekarang agak berubah kok, daya
tampungnya jadi 25 orang (dan sungguh aneh, karena saya ngerasa nggak biasa
ngeliat anak astro berjumlah banyak, hahaha ….)
dengan saya adalah si Ketut, pemilik NIM 10397010. Jadi, waktu di luar GSG, dia
nanya, “Anak astronomi juga ya?” Lalu mulailah kami mengobrol. Ternyata dia
Bali palsu, karena logatnya
ternyata dia dari Prabumulih. Huh! Lalu, saya bertanya, “Di sini kos?” Si Ketut
menjawab, “Di rumah Oom.” “Di mana?” “Di Sarijadi.” Hah? “Blok berapa?” saya
tanya lagi. “Blok 26.” Hah? “Nomor berapa?” saya terus mencecar. “No. 144.”
Hah! “Itu
deket banget sama rumah saya!” Dan betul saja, besoknya, hari pertama P4, saya
melihat si Ketut berjalan di depan rumah saya. Kebetulan saya diantar, jadi dia
menumpang mobil saya deh, hehehe …. Setelah itu, kami lumayan sering pergi dan
pulang sama-sama, dan syukurlah nggak ada rasa spesial yang tumbuh di antara
kami hahaha ... (Ough, huek huek banget duech … muhrim, gitu bok, hahahahahaha).
Dan ternyata, ada satu lagi tetangga kami, yaitu Udin, tapi rumahnya agak jauh
di Sarijadi atas, dekat jalan ke Polban.
Anak astronomi selanjutnya yang
saya kenal adalah Iyam, orang
Karawang yang besar di Cilacap, pemilik NIM 10397006. Saya mengenalnya saat
kami sama-sama berjalan turun ke Sabuga, saat sidang terbuka penerimaan
mahasiswa baru. Perjumpaan dengan Iyam tak begitu meninggalkan kesan, jujur
deh. Soalnya, memang Iyam nggak neko-neko orangnya, wajar-wajar saja.
kalinya saya bertemu dengan teman-teman seangkatan saya. Ada Avivah alias Vivi,
anak
teman-teman (dan bukannya saya, hahahaha …), pemilik NIM 10397001. Lalu ada
Farkhan, orang Kartasura yang—menurut si Nata—kasep tapi agak nggak gaul, pemilik
NIM 10397002. Setelah itu ada Asteria alias Tya, cewek yang saaaaaaaangat
Yogya, berasal dari Cibinong, pemilik NIM 10397003. Ya ampun, Tya ini
saaaaangat sopan. Dengan rok putih setengah betis berimpel (karena dia dari SMA
Regina Pacis Bogor, saya kira dia seperti tipikal anak-anak Santa Ursula atau
Tarakanita lah, rok mini dengan kaus kaki panjang. Ternyata nggak! Hehehe), dia
selalu minta izin melakukan sesuatu, seperti, “Maaf, boleh aku duduk di sini?”
Setelah Tya, ada Yana, cowok
ceking hitam asal SMA 5, pemilik NIM 10397004. Lalu ada Saifudin, cowok
Pemalang yang ternyata paling senior di antara kami (dia tuh harusnya angkatan
’95), pemilik NIM 10397005. Berikutnya Iyam tadi, pemilik NIM 10397006, lalu
saya, si James Bond 007 (dan ternyata selama beberapa tahun, saya adalah James
Bond tercantik di antara angkatan lain, baru rekornya pecah setelah angkatan
2003, dengan Hepi sebagai James Bond baru). Setelah saya, ada Faizal alias
Ical, anak Makassar yang ternyata pernah lama di
kasar. Takjub deh, kulitnya putiiiiiih, rambutnya halus lembut kemerahan, oh,
dia begitu cantik! Ical ini pemilik NIM 10397008. Setelah Ical ada Zaid, anak
kalem asal Tulungagung, pemilik NIM 10397009. Berikutnya Ketut si Bali-Prabumulih
tadi, 10397010. Pemegang NIM 10397011 adalah Ina, cewek
gagah dan rambut Lady Di-nya. Setelah itu ada Neflia, anak
pemilik NIM 10397012. Dan, sebagai penutup, ada Nata, cewek bulat pendek yang
mirip ustadzah, asli Malangbong tapi sekolah di MAN 1
Hebat ya, bisa hafal semua NIM
teman seangkatan, hahahaha … Coba jurusan lain, ada nggak yang bisa begitu?
*Sombong mode on* Arti NIM kami itu adalah: 1 = kami ini mahasiswa S1, 03 =
kode jurusan astronomi, 97 = angkatan, dan tiga digit di belakang 97 adalah
nomor urut pendaftaran ulang. Dan sampai sekarang, belum pecah rekor: belum
pernah ada 3 angka terakhir NIM anak astronomi menembus tiga digit! Hahahaha ….
Pertama bertemu teman-teman
seangkatan, terus terang saja saya kecewa. Cewek-ceweknya hararideung alias
pada item, yang paling putih si Nata, hahaha … SARIP banget yak. Sementara
cowoknya, aduh, nggak ada yang keren deh (hahaha … kebayang kalo ngomong gini
di depan mereka, pasti kena sambit berbagai barang).
Pertemuan di Sabuga singkat
saja—hanya makan bersama—sehingga kesannya nggak begitu mendalam (kecuali Tya
yang sopan banget, Lia yang sangat-sangat childish, dan si Nata yang ustadzah
banget). Pertemuan berikutnya terjadi di jurusan astronomi, Labtek III lantai
4, saat pertemuan dengan ketua dan sekretaris jurusan.
Saat inilah, beberapa kejutan
terjadi lagi. Seperti si Ina—yang saya sangka orang Sunda karena namanya Ina
Rohaeni, dan ternyata betul, bapaknya orang Sagalaherang dan bernama Pak Atang
Rohana—yang medok banget mengatakan “DDDari SMA DDDua KeDDDiri!”. Dan si Nata,
yang mengutip ayat-ayat Al Quran sebagai motivator masuk astronomi (teu nyangka
ayeuna jadi kieu, hahahaha). Sumpeh duech, gayanya ustadzaaaaaah, banget!
Apalagi, wajahnya si Nata mirip Bu Dedeh, guru ngaji di dekat rumah saya (yang
memiliki anak banyak). Selain itu, kontras dengan seragam putih-putih yang kami
pakai, si Nata menggendong tas yang warnanya pink keunguan, elektrik! Ya
ampyun, dari jarak beratus-ratus kilometer itu sudah ketahuan deh, itu si Nata.
Setelah P4, mulailah kami menjalani
hari-hari sebagai teman—mula-mula, lalu keluarga—lama-lama. Soalnya, belum ada
penyebaran kelas TPB, jadi kami disatukan dengan jurusan Matematika, kecuali
untuk mata kuliah Kalkulus kami disatukan dengan Biologi. Mulai timbul
keanehan-keanehan yang sebelumnya ditutup-tutupi (jaim tea!), rasa peduli
antarteman, dan perasaan bersatu sebagai keluarga kecil di rimba belantara ITB.
Angkatan kami juga lumayan terkenal
karena sering bernyanyi di demo-demo mahasiswa prakejatuhan Soeharto.
Personilnya: Iyam sebagai vokalis, Ical sebagai gitaris, saya sebagai gitaris
dan vokalis latar, dan Tya sebagai pemegang kecrek dan juga vokalis latar.
Sebetulnya band ini adalah salah satu proyek kaderisasi dari Mas Hasan—ketua
Himastron saat itu—untuk mengisi acara musik sore. Eh, taunya keterusan.
Manggung di radio-radio yang mengadakan diskusi reformasi, sampai pengalaman
sepanggung dengan Totok Tewel di acara Malam Iota Tau Beta, temu alumni ITB di
sebuah kafe daerah Blok M,
Ternyata, malam itu bertepatan dengan peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti
(dan salah satu korbannya, Hafidhin Royan, adalah anak GPA). Seorang alumnus
menyuruh kami segera pulang setelah acara selesai, dengan taksi 4848 dan
berpesan agar hati-hati, jangan sampai dibuntuti (mungkin nama kami saat itu
sudah masuk daftar pencarian intel deh, hehehe). Syukurlah kami tiba di
juga selamat sampai
kembali (karena beberapa saat setelah itu langsung terjadi kerusuhan Mei ’98).
Yah, pokoknya angkatan ’97 (nggak cuma jurusan astronomi, tapi saya rasa
jurusan lain juga) dibesarkan dengan demo-demo mahasiswa, meskipun
kadang-kadang motivasi ikut demo-nya juga karena males kuliah (seperti saya),
hehe ….
Selama beberapa tahun bersama dan
tak terpisahkan (kecuali kuliah pilihan atau beberapa yang terpaksa mengulang
kuliah—termasuk saya, hahaha), hubungan kami betul-betul jadi seperti saudara.
Tapi, tetap saja beberapa orang meninggalkan kami. Meskipun sedih, tapi
bagaimana lagi, mungkin jalan hidup harus begitu. Tahun ’98, Farkhan
meninggalkan kami, karena masuk Fakultas Hukum UGM. Dia ingin lebih dekat
dengan ibunya, katanya sih begitu. Lalu, tahun kedua, rontok dua orang lagi.
nih, saya nggak tau isinya apa, tapi seringkali si anggotanya jadi menghindar
& bermasalah dengan sekitar). Lalu Ketut, yang pindah ke HI Unpad. Lalu,
pada tahun kelima kami terpaksa kehilangan Saifudin, yang nggak lolos lubang
jarum tahap Sarmud. Kisah kasus sarmud ini sangat heroik, karena, dari 10 orang
anak astronomi ’97, enam orang bermasalah! Edun nggak sih, hahaha ….
Nata, Ina, Tya, dan Udin—bermasalah dengan mata kuliah mekjut alias mekanika
lanjut (jangan langsung berpikiran jorang ah!), sementara Ical bermasalah
dengan Mavek. Setelah bercucuran keringat dan air mata (darah mah nggak),
Udin. Tentu saja kami sedih sekali.
Waktu itu Zaid sudah lulus (tepat
waktu, Oktober 2001). Iyam pun menyusul tahun 2002, dengan perut buncitnya
(waktu itu dia sedang hamil Hanan, anak pertama). Setelah itu Vivi, lalu Tya
dan Ical, lalu periode berikutnya saya, Maret 2004 (masih lebih singkat 1
semester dibandingkan si Abang, hahahaha!), lalu periode berikutnya, batas
akhir DO—Oktober 2004, 3 orang lolos lagi—Nata, Ina, dan Lia. Jadi, total yang
lulus dari astronomi hanya 9 orang (dan saya juga takjub, bisa lolos juga,
hahaha!).
Saat masih sering bersama-sama,
kami juga sempat meramalkan masa depan kami sendiri. Vivi akan bekerja di
bidang IT. Farkhan entahlah (soalnya dia sudah pindah ke UGM), Tya akan jadi
karyawan kantor yang tugas-tugasnya administratif (seperti bank, dll).
menghilang. Udin kami ramalkan menjadi wiraswastawan sablon (karena suatu kali,
dia pernah bikin spanduk dengan rapiiii sekali). Iyam kami ramalkan menjadi aktivis,
seperti Khofifah Indar Parawansa. Saya, jadi artis, hikhikhik … nggak ketang,
jadi wiraswastawati di bidang kreatif, seperti pembuatan merchandise dll. Si
Ical jadi aktivis juga, sementara Zaid menjadi ilmuwan atau astronom, Ina sama
dengan Tya, Ketut entahlah (karena sudah cabut juga), Lia jadi pedagang, dan si
Nata jadi penulis (maunya dia) sekaligus pengusaha katering. Jadi, di antara 13
anak astro ’97, yang kami anggap paling mumpuni di bidang astronomi hanya satu,
Zaid seorang. Yang paling “murtad” adalah saya dan si Nata, karena itu tak
pernah tebersit sekalipun kami akan meneruskan bidang ini.
Hasilnya? Hahaha … sungguh aneh.
Vivi memang bekerja di bidang IT, sembari kuliah S2 di astronomi. Farkhan
entah, karena sudah agak lama kami hilang kontak. Tya jadi PNS di BMG, anak
buah Pak Mezak Ratag, dan tampaknya akan lebih mendalami ilmu astronomi.
ransel besar di daerah Ujungberung (memang dia tinggal di sekitar situ). Udin
jadi guru les pelajaran eksak untuk anak-anak SMP, Iyam meneruskan S2 di
astronomi sekaligus ibu rumah tangga dengan dua anak, baru lulus S2 2 minggu
lalu, dan sekarang ikut suaminya yang mengajar di ITS. Saya, jadi editor buku
anak-anak (meskipun masih ingin jadi desainer interior dan pengusaha
merchandise, es krim, kopi, dst … hehe). Ical juga jadi editor, tapi film dan
video, sekarang di IMTV, setelah sebelumnya menjadi asisten editor (haha …
asisten urang!) yang merusak moral generasi muda di Rapi Film (kalo nggak
salah, pokoknya mah sinetron-sinetron gitu lah). Zaid sempat bekerja di kantor
konsultan si Papap, kemudian melanglang buana sebagai wartawan Kompas. Si Ina
meneruskan kuliah di S2 TI, sampai sekarang belum lulus juga. Ketut belum lulus
dari HI Unpad, tapi dia jadi pelatih aikido.Yang paling mengagetkan adalah si
Lia, dia jadi PNS di LAPAN! Hahahaha … sungguh aneh. Terakhir, si Nata, sempat
jadi pekerja LSM yang mengurus PSK, HIV, dan AIDS (lumayan cucok sih kerjaan
ini), tapi sekarang dia jadi pengajar tim olimpiade fisika di Karawaci!
Jadi, ramalan kami—yang didasari pengamatan
terhadap sifat, kemampuan akademik, dan potensi—ngawur semua, kecuali ramalan
tentang Vivi. Dan tentu saja kami saling menertawakan sekaligus menertawakan
diri sendiri tentang hal ini, terutama saya dan si Nata Pehul.
Dan ini belum selesai. Masih banyak
kemungkinan, karena toh usia kami masih relatif muda (tapi kalau saya mah muda
selalu, hahaha ….), jadi bisa saja tiba-tiba banting stir lagi, mungkin atas
kemauan sendiri atau keadaan yang memaksa begitu.
Memang, kadang-kadang, kita tak bisa
menduga ke mana kita akan melangkah.
(Keterangan foto: anak-anak '97 saat jadi panitia wisuda tahun '98 awal, bersama Pak Moedji Raharto, ketua jurusan saat itu)