Selasa, 13 Juni 2006

Coni, Poni, Roni, dan Doni




Aku punya temaaaan … teman
sepermainaaaaaan ….(tapi nggak pake “ah, ah, ah!” hahaha) Namanya Dwi Sawung Rukmono,
orangnya kutilang darat (kurus tinggi langsing, dada rata—ya iya laaaaaah! Kalo
dadanya nggak rata mah suntik solikin eh silikon atuhhh, hikhikhik). Dia punya
kakak cewek namanya Yuni Rukminiati (hahaha … aku tahu nama lengkapmu, Nuy!)
dan punya adik cewek namanya Noventri, yang lahir pada bulan November (dulu saya
pernah iseng bertanya kepada dua kakaknya, kalau si Ventri lahirnya Desember
bagaimanakah namanya? Hikhikhik).








Pertama kenal sih, waktu saya baru jadi
“swasta” di Himastron. Waktu itu, saya yang mewawancarai dia pas malam
pelantikan. Dulu sih masih kenalnya dengan nama Sawung, yang bukan Sawung
Kampret maupun Sawung Jabo. Dia juga sempat kesal dengan kelakuan saya pada
saat interaksi awal, soalnya saya pernah ngejailin angkatan 2000 (angkatannya
dia) dengan menyuruh mereka mengambil posisi push up, terus membiarkan mereka
dalam posisi itu selama beberapa menit, hahahaha …. (tapi kan setidaknya nggak
disuruh push-up, gitu bok!)








Setelah dia jadi anggota Himastron,
lho kok jadi sering main bareng ya, sama si Nata Pehul juga. Karena dia sering
mendesak-desakkan diri ke dalam pergaulan kami, akhirnya muncullah julukan baru
untuk dia, yaitu Coni, alias Cowok Nimbrung. Apalagi setelah sang Dewi Pramesti
alias Bona si Gajah Pink lahir pada tahun 2001, dia semakin menjadi Coni bagi
kami. Bahkan, si Bona punya panggilan sayang untuknya, yaitu, “CHONI!” (dengan
suara sok imutnya yang cempreng, bahkan kadang-kadang disertai ludah juga
hikhikhik … nggak ketang Bon!).








Memang betul, si Coni ini adalah
cowok nimbrung. Mainnya sama cewek-cewek, mungkin karena dia nggak punya
saudara cowok. Bahkan, kakak si Coni yang bernama Yuni alias Inuy pun jadi
akrab dan sering main bersama kami. Kami pun mengenal adiknya, si Ventri yang
sekarang masih SMA (ketiga orang ini menjadi teman saya di friendster,
lengkap). Keistimewaan tiga saudara yang mungil-mungil ini adalah … muat dalam
satu motor! Hahaha …. Sungguh keluarga yang aneh!








Nah, setelah itu, saya mulai
merencanakan TA alias tugas akhir, meskipun betul juga kalau ada yang bilang TA
itu “Teu Anggeus-Anggeus”. Karena merasa sangat malas, saya ingin memilih dosen
pembimbing TA yang rajin. Maksudnya, rajin menegur dan memarahi kalau saya
malas, hehehe …. Ditambah dengan nilai cukup bagus saat kuliah Labas atau
Laboratorium Astronomi, percaya diri saya sedikit terdongkrak untuk memilih
topik yang agak nyambung dengan Labas. Lalu, siapa pembimbingnya? Tentu saja
Pak Hakim Luthfi Malasan, sang dosen Labas. Selain rajin “mengguprak-guprak”
anak bimbingannya, cara beliau mengajar bisa mudah saya mengerti.








Kalau di Astronomi, biasanya
sebelum mengambil SKS TA 1 dan TA 2, kami boleh kok mulai bimbingan, tetapi
nonformal. Biasanya, dalam fase ini para dosen pembimbing memberi beberapa
jurnal untuk dibaca, sebagai pertimbangan memilih tema TA. Waktu saya pertama
kali datang ke Pak Hakim untuk meminta beliau jadi pembimbing, beliau bertanya,
“Kamu bisa pemrograman apa aja, Mar?” mmmm … setelah beberapa detik berpikir, akhirnya
saya bergumam sambil menjawab, “Saya cuma bisa corel draw, Pak,” Hahahaha …
lebih baik jujur, kan? Lalu, sambil geleng-geleng kepala, beliau berkata lagi,
“Ya udah, nanti belajar IRAF aja dari awal, nggak susah kok.” IRAF adalah
singkatan dari Image Reduction and Analysis Facility, yang akan saya gunakan
untuk mereduksi citra dari berbagai gangguan sampai menjadi citra yang bersih
(saya sudah berencana menulis tentang ini sih, doakan saja nggak malas,
hikhikhik). Memang betul, seperti yang Ratna bilang di blognya, IRAF ini
sederhana—cuma memerlukan operasi penambahan, pengurangan, dan pembagian.
Mulailah saya melek Linux sedikit (karena IRAF itu di bawah OS Linux), meskipun
hanya menggunakannya untuk TA dan main mahjong, hahahaha ….








Saat belajar IRAF ini, saya sempat
agak sering menginap di Bosscha. Kebetulan, ada anak-anak yang sedang kerja
praktek juga di sana, yaitu si Nata Pehul, si Tri, dan Aep alias Erfani. Suatu
malam, saya, Nata, Tri, dan Gaby si Letkol Untung yang memang penghuni bedeng
Bosscha, berkumpul di ruang tamu Panekoek. Panekoek ini adalah wisma yang bisa
digunakan oleh mahasiswa yang sedang melakukan pengamatan atau tamu yang
menginap di Bosscha. Saat itu kami sedang mengobrol santai, bahkan merembet ke
hal-hal jorok dan jorang hikhikhik … dan si Tri sedang berbaring di sofa
memakai sarung, tanpa kolor. Hiyyyy ….








Saat sedang asyik ngobrol itu,
tiba-tiba jendela diketuk. Kami mengira itu bapak-bapak jaga yang sedang
patroli dan sering ikut nimbrung, tapi ternyata … OMG, itu Pak Hakim. Lalu,
setelah masuk, beliau ikut mengobrol bersama kami dengan asyik. Bahkan sampai
lewat tengah malam!








Selain memang akrab dengan
mahasiswa dan bisa dijadikan tempat curhat yang asyik, Pak Hakim juga selalu
mengetahui gosip-gosip terbaru tentang kami, para mahasiswa maupun alumni.
Makanya, saya juluki beliau “Roni”, alias Raja Coni hehehe. Meskipun begitu,
julukan Roni ini sama seperti Babe, merupakan panggilan kesayangan dan
penghormatan dari saya, salah seorang anak bimbingannya yang paling bandel. Akhirnya,
istilah Roni menyebar ke mana-mana—sampai suatu hari, Finny, anak astro ’99
yang kalem bin pendiam, mengatakan begini, “Itu ada ‘ironi’,” maksudnya, ada
istrinya Roni, wekekekekek …. (Fin, bisaaaaaa aja!)








Julukan “Roni” ini lumayan beken
sampai ke hampir semua mahasiswa astronomi. Entah ya, apakah para dosen muda
seperti Bang Ferry Simatupang atau Mbak April tahu juga. Tapi, dulu si Neflia
pernah keceplosan menceritakan kepada Roni bahwa beliau dijuluki begitu, dasar
Liaaaaa! Seiring dengan semakin terkenalnya julukan ini, mulailah si Geboy
alias Gaby astro ’95 menjuluki dirinya sendiri dengan “Poni”. Maksudnya, “Poni”
ini adalah Pangeran Coni, pewaris takhta kerajaan cowok nimbrung, hikhikhik ….
Sebagai mantan anak bimbingan Roni dan penghuni bedeng Bosscha yang kuliah S2
di astronomi, dia juga termasuk cowok nimbrung dan biang gosip juga. Sayangnya,
julukan Poni ini nggak begitu beken, karena si Geboy ini lebih beken sebagai
Letkol Untung atau ya Geboy aja, lebih imut kaaaaan daripada panggilan Iwan?
(karena namanya Gabriel Iwan Prasetyono, hahahaha ….)








Lalu, si Geboy yang mengaku-ngaku
dirinya “Poni” ini, mengatakan bahwa di kerajaan cowok nimbrung sebetulnya ada
seorang dewa, yang bernama “Doni”, alias Dewa Cowok Nimbrung. Siapakah ituuuu?
Tak lain dan tak bukan adalah … Babe! Meskipun, Babe nggak seconi yang
lain-lain sih. Mungkin tujuan si Geboy mentahbiskan Babe sebagai Doni adalah
untuk melengkapi struktur percowoknimbrungan jurusan atau departemen atau prodi
astronomi, hikhikhikhikhik ….


(Keterangan foto: searah jarum jam, Coni, Roni, Doni, dan Poni)






Minggu, 11 Juni 2006

Si Dede, sobat Kenek Bus

 

Salah seorang teman seperjalanan
saya, sesama penumpang bus Antapani – KPAD adalah si Dede. Saya nggak tahu
siapa nama aslinya, yang jelas cewek mungil ini dipanggil Dede. Dia masih
sekolah di SD Sabang, kira-kira kelas 2 atau kelas 3. Biasanya, dia berangkat
sekolah diantar bapaknya.




Si Dede ini berkulit putih,
berambut panjang kemerahan. Tapi, raut wajahnya khas Indonesia. Penampilannya
tomboy—selalu memakai sepatu sport dan kadang-kadang memakai topi.




Tidak setiap hari saya sebus dengan
si Dede ini. Kadang-kadang, dia dan bapaknya sudah ada di bus ketika saya naik
di belakang flat. Kadang-kadang, mereka naik di belokan menuju Setrasari Mall,
dekat tukang bunga. Jika bus sedang kosong, dia duduk sendiri. Jika penuh, dia
dipangku bapaknya. Pernah suatu hari, bus sangat penuh. Dia dan bapaknya naik
setelah saya. Ibu-ibu pegawai Pemda yang duduk di sebelah saya menarik si Dede
untuk duduk di antara kami. Sepanjang perjalanan, dia bersenandung pelan sambil
memandang keluar jendela bus.




Rupanya, si Dede memang senang
menyanyi. Beberapa bulan sebelumnya pun, saya pernah mendengarnya menyanyi. Saat
itu, saya duduk di sebelah si Dede dan bapaknya, terhalang lorong di tengah
deretan kursi bus. Si Dede duduk di dekat jendela, asyik memerhatikan
pemandangan sepanjang jalan. Tapi, dia bernyanyi keras-keras dengan asyik, tak
peduli dengan keadaan sekitar. Sampai waktunya turun, baru dia berhenti
menyanyi.




Si Dede juga anak yang ramah dan
ceria. Si Bapak kenek bus langganan kami sering menyapanya, “Eh, ada Dede,” dan
biasanya dia tertawa dengan ceria. Minggu kemarin—saat terakhir kami naik bus
bersama—ketika turun di PPI, di pinggir jalan dia berteriak-teriak kepada si
Bapak, “Paaaaak! Dadaaaaah! Dadaaaaaah!”




Sayang sudah sebulan ini saya
nggak ketemu si Dede. Padahal, kehadirannya bisa menceriakan pagi saya,
terutama kalau saya telat bangun (ini mah biasa hahahahaha …) dan bete karena
harus terburu-buru berangkat ke ujung dunia.





Susah Teurab




Sejak kecil, saya susah teurab. Tau nggak teurab itu apa?
Kalo bahasa Jawanya sih glege'an. Bahasa Indonesianya bersendawa. Jarang sekali
saya mengeluarkan angin dari atas, seringnya sih dari bawah (hahaha ... memang
pada dasarnya jago hitut wehhhhh!). Apalagi, waktu saya kecil, di rumah sering
terjadi perang kentut. Awalnya, yang saya anggap paling jagoan itu si Papap.
Tapi, ternyata ada yang lebih jago lagi: si Totok Bung! Totok Bung bisa kentut
tanpa berhenti sambil berjalan dari tempat cucian ke ruang makan, di rumah
Sukahaji. Lumayan jauh lho ... (Mungkin semakin senior, kentutnya semakin jago
juga ya).



Baru SMA saya agak bisa teurab. Tapi, teurab saya masih sopan, nggak
"EEEUUUU!" keras-keras seperti si Antjheu (edun siah, wajahnya sangat
mengerikan kalo lagi teurab keras-keras), atau "MAAAAAAAK!" seperti
si Ryan Otoy. Karena saat itu peer pressure sangat kuat, saya berusaha
mencoba teurab keras-keras seperti teman-teman. Angger weh, teu bisa! Mungkin
memang pada dasarnya, saya ini seorang gadis santun nan rupawan hahahahaahahaha
.... *ketawa Iblis*



Setelah lulus SMA, peer pressure memudar. Saya kembali ke kebiasaan
lama, lebih suka mengeluarkan gas dari saluran bawah daripada saluran atas.
Tapi tentu saja saya tidak mengentuti profesor, nggak seperti si Nata gitu
lhuwokh. Dan setelah mengenal si Aq, ternyata dia lebih jagoan dalam soal
teurab ini. Bayangkan, dia bisa teurab sekaligus kentut pada saat bersamaan!
Edun nggak sihhhhhh ....



Si Emak juga hobinya teurab. Pencet-pencet punggung sedikit, langsung eureuleu
(hmmm ... apa ya, padanan kata ini dalam bahasa Indonesia?). Si Abang juga hobi
teurab. Biasanya, setelah dipijat oleh si Emak, dia juga langsung mengeluarkan
serangan "aa ... eeuu ..." dengan meriah.



Lalu saya? Masih bernasib sama, sulit teurab. Dan susah teurab ini membawa saya
mengalami operasi. Bukan operasi penangkapan wts atau razia ktp, ini mah
operasi beneran. Ini terjadi sampai saya mahasiswa tingkat akhir (nggak usah
disebut semester berapanya, hahahahaha!). Waktu itu, bulan puasa, saya sedang
nonton TV sambil ngobrol dengan si Emak. Eh, ternyata si Emak menyadari
sesuatu, ada tonjolan seukuran koin seratus baru di leher saya.



Langsung si Emak menyuruh saya periksa. Ternyata, kelenjar tiroid saya
membengkak. Gondok, gitu lhuwokh, kalo nggak tau tiroid itu apa ... hehehe.
Perasaan, si Emak selalu masak memakai garam beryodium. Jadi nggak mungkin
kekurangan yodium. Tapi, setelah dirunut, ternyata ini genetik. Ompung Armia
dan Bou Justi (satu-satunya saudara perempuan si Papap) juga pernah mengalami
hal ini. Ternyata juga, pembengkakan kelenjar tiroid kadang-kadang memang nggak ada penyebabnya.



Awalnya, si Abang Alfa menyarankan untuk langsung operasi. Tapi Bou Justi
menyarankan agar mencoba obat oral dulu. Jadi, setiap hari selama sebulan, saya
harus minum sebutir obat kecil. Membosankaaaaan! Kadang-kadang juga lupa, karena
obatnya kecil banget. Tapi kok, si benjolan itu nggak mengecil juga, ya?
Ukurannya malah makin besar. Dan ini berakibat lebih parah, saya semakin susah
teurab.


Tersiksa banget deh, dengan kumpulan angin yang mendesak ingin keluar dari atas
(sementara, anehnya, saluran bawah saya seperti mampet), tapi nggak bisa.
Selanjutnya saya sering sesak napas. Bahkan, saya nggak berani tidur sendiri,
takut terbangun malam-malam dan sesak napas. Jadi, kalau waktunya tidur
saya sulit terlelap karena susah bernapas. Tapi anehnya, sekalinya tidur, saya
nggak bisa bangun meskipun sudah berjam-jam. Saya pernah tidur lebih dari dua
belas jam dalam sehari! Ternyata, menurut si Abang Alfa yang dokter anestesi
(sekaligus pengusaha obat bius hehehe), penderita pembengkakan tiroid memang
begitu. Selalu merasa kurang tidur. Ini menjadi pembenaran bagi saya, yang
selain jago kentut juga jahe alias jago he-es, hahahahahaha ....



Akhirnya, karena miris melihat penderitaan saya, setiap malam sesak napas dan
sulit tidur, si Papap memutuskan agar saya dioperasi saja. Kebetulan, jenis
pembengkakan tiroid yang saya alami ini aman untuk dibedah, karena kata Teh Ui
(kalo nggak salah inget) "nodul dingin" yang nggak akan menyebar,
bukan "nodul panas" yang hanya bisa dihilangkan dengan radiasi (Uh,
sumpeh deh, naon sih istilah "nodul" ieu teh? Untung sama sekali
nggak kepikir untuk masuk kedokteran setelah SMA. Kebayang lieur ngapalkeun
istilah-istilah, mangkaning urang teh pohoan hehehe).



Setelah merencanakan waktu, tempat, dan segala macam, akhirnya tibalah waktu
pembantaian, hehehehe .... Dokter bedahnya cakep meskipun sudah berumur, Dr.
Dimyati. Saya dioperasi di RS. Kebonjati karena rekomendasi si Abang Alfa,
karena selain harganya lebih murah, Dr. Dimyati juga praktik di situ, dan yang paling
penting nggak bakal dijadikan objek pembelajaran oleh para ko-as. Huh, sori
layawwww ... kalaupun ada yang cakep, mereka kan pria necis berkemeja,
bercelana pantalon, dan rambut licin! Hahahaha .... Dokter anestesinya Dr.
Afifi, bapaknya teman SMP saya, Trisye. Tapi, karena si Abang Alfa datang
menemani saya operasi, Dr. Afifi malah asyik baca koran, sementara yang membius
saya si Abang Alfa (mentang-mentang ada junior, wekkk). Kata si Abang Alfa,
kelenjar tiroid saya yang diambil itu (syukurlah) hampir bulat sempurna, nggak
ada jaringan yang mengakar ke mana-mana. Jadi, kemungkinan berkembangnya kecil.
Tapi, ternyata ukurannya sebesar bola pingpong. Karena tumbuhnya ke dalam,
kelenjar bengkak ini mengganggu pernapasan.



Setelah operasi, lumayan lah, teurab saya jadi lumayan lancar. Tapi, ada
kebiasaan baru yang sebelumnya nggak terjadi; saya jadi beser berat. Ini
terjadi sejak saya diinfus untuk pertama kalinya seumur hidup. Sebelumnya, saya
jarang pipis. Bahkan sering heran melihat gank beser di sekolah, tiap
pergantian jam pelajaran selalu ke WC. Biasanya sih keringat saya yang
berlebihan. Setelah operasi, saya tetap gampang berkeringat, sekaligus sering
pipis. Huh, ternyata saya jadi anggota gank beser juga tuh ... sebal.



Dan menurut si Abang Alfa juga, setelah operasi saya akan jadi gendut.
Sebelumnya, saya lebih RW 06 dari sekarang. Bahkan Gugum sang dedengkot RW 06
sampai kagum, waktu makan nasi goreng, porsi saya sama besar dengan porsinya.
Setelah operasi, betul saja, berat badan saya naik 5 kg dalam waktu 6 bulan.
Untung saja nggak lebih. Tapi, lambung saya seperti mengecil, karena porsi nasi
turun drastis.



Selain itu, di leher saya sekarang ada bekas luka jahitan. Dr. Dimyati ini kata
si Abang Alfa termasuk salah seorang empu bedah onkologi di Bandung, jadi
jahitan di leher saya cukup rapi. Syukurlah nggak ada keloid. Orang-orang yang
nggak tahu riwayat operasi saya sering bertanya, lehernya kenapa? Yah, saya
jawab aja "tapak bacok". Namanya juga turunan Banten, wajar duonk
kalau punya bekas luka di leher hehe ....



Operasi pengangkatan tiroid ini sudah berlalu, hampir dua tahun yang lalu
(setelah saya wisuda, kira-kira bulan April 2004). Tapi ternyata, sekarang saya
mulai kesulitan teurab lagi. Sudah hampir tiga minggu nih, angin bagaikan
menumpuk di diafragma, tapi susah dikeluarkan. Semoga saja nggak usah operasi
lagi. Makasih duech, cukup sekali seumur hidup gitu bok .... Nah, ada yang
punya saran untuk memecahkan masalah susah teurab ini? Kalau ada, terima kasih
banyak saya ucapkan sebelumnya.






Kamis, 08 Juni 2006

Materi Antar Bintang




Pernah nggak mengalami, hanya
bertiga mengambil satu mata kuliah? Berdua deh, pernah? Atau sendiri?




Kalau kamu mahasiswa astronomi,
atau pernah jadi mahasiswa astronomi, pasti pengalaman ini kemungkinan besar
pernah terjadi. Kuliah wajib saja rata-rata pesertanya hanya lima belas orang,
apalagi kuliah pilihan.




Nah, sekarang, pernah nggak, waktu
kuliah ditawari oleh sang dosen, “Mau teh atau kopi?” Lalu, setelah selesai
kuliah, ditawari makan siang di rumah sang dosen?




Kebetulan, saya pernah mengalami
ini semua, saat jadi peserta kuliah pilihan Materi Antar Bintang bersama
partner in crime saya, si Nata Pehul.




Saat itu, sebetulnya SKS saya sudah
lengkap semua. Tinggal TA-1 dan TA-2, seminar dan sidang. Si Nata sih masih
kurang. Nah, awal semester genap itu si Nata tiba-tiba datang ke Himastron dari
Bosscha Lembang, karena dia sedang kerja praktek di sana. Dengan hariweusweus
(maaf saya tidak menemukan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia), dia
menceritakan Pak Bambang, profesor kami, yang sedang semangat sekali menyiapkan
bahan kuliah. Pokoknya, dalam usia senjanya, semangat beliau menggetarkan hati,
deh.




Saya yang waktu itu sedang
nangkring di Himastron awalnya hanya mendengarkan tanpa bereaksi. Nah, beberapa
saat kemudian, si Nata datang lagi ke Himastron. “Mar, si Babe (maaf ya Pak,
kami menjuluki Bapak dengan sebutan Babe. Tapi ini panggilan sayang kok
*wink-wink*) geus datang!” kata si Nata. “Tapi, sepertinya nggak ada yang ikut
kuliah beliau, deh.”




Sempat hening sejenak. Kami
sama-sama trenyuh akan keadaan ini. Bayangkan, seorang profesor yang mumpuni di
bidangnya, menyiapkan kuliah sebaik-baiknya, dan sama sekali tidak ada peserta
kuliah. OMG, ini adalah sesuatu yang sangat ironis. Hanya karena reputasi Babe
yang cenderung galak, dengan mood yang naik turun, sampai nggak ada seorang pun
mahasiswa yang mau ikut kuliah itu.




Akhirnya—entah karena kami
mengetahui fakta bahwa Babe menyiapkan kuliah dengan sangat baik, atau kasihan
karena tidak ada yang mengambil kuliah itu—kami memutuskan menantang maut. Ya,
menantang maut!




Mengapa? Akan saya jelaskan secara
kronologis ….




Kuliah pertama yang berlangsung di
Departemen—sekarang prodi—Astronomi, di ITB, berjalan lancar. Kuliah pertama
diisi dengan pembicaraan mengenai jadwal kuliah, tempat (kuliah selanjutnya
berlangsung di Bosscha), silabus, dan daftar buku.




Tapi … kuliah-kuliah selanjutnya … adalah
pengalaman menegangkan. Hampir tiap pertemuan diisi dengan presentasi. Sebetulnya,
materi presentasi itu adalah hal-hal elementer yang wajib diketahui setiap
mahasiswa astronomi. Tapi, tahu sendiri, lah … saya dan si Nata kan mahasiswa
astronomi murtad!




Jadi, meskipun diawali dengan
tawaran, “Mau minum teh atau kopi?” dan “Nanti, setelah kuliah, kita makan
siang di rumah saya ya,” kuliah ini membuat kami panas-dingin. Apalagi, Babe
termasuk dosen perfeksionis. Beliau sangat memerhatikan struktur serta logika
makalah dan presentasi kami. Makalah yang dicoret-coret sudah menjadi hal
biasa. Presentasi seperti ini pun, “dan … dari rumus ini … didapatkan ini …
lalu … lalu … lalu …” akan dipotong di tengah-tengah. Mengapa? Karena tidak
jelas dan terstruktur. Seharusnya, kami menerangkan seperti ini, misalnya “Dari
pengamatan, magnitudo mutlak objek ini sekian sekian. Dengan menggunakan rumus
Pogson, akan kita dapatkan bahwa luminositasnya sekian-sekian. Dari luminositas
ini kita akan mendapatkan bahwa temperatur objek langit tersebut adalah …”




Begitulah. Semua kalimat harus
jelas, terstruktur, dan harus mengalir. Kalimat dengan “lalu … lalu … lalu …”
diharamkan, karena memang tidak menerangkan apa-apa.




Jadwal yang semula ditetapkan dua
kali seminggu kemudian menjadi lebih sering. Bukan apa-apa, ini sih gara-gara kami
saja yang lemot, jadi Babe selalu tidak puas dengan presentasi kami. Selain
itu, kalau sedang malas kuliah biasanya kami bermuslihat—saya tulis surat
pemberitahuan bahwa saya sakit, lalu saya antarkan Nata ke Bosscha sampai
belokan Bosscha dengan motor. Selalu begitu, karena Nata juga kebetulan sedang
melakukan suatu proyek dengan Babe. Tapi, tipu muslihat ini pernah hampir
membawa petaka. Suatu hari, ketika kami mengulang muslihat ini, saya datang ke
departemen, karena ada sidang atau seminar (saya lupa siapa). Di sana saya
bertemu Pak Hakim, dosen pembimbing tugas akhir saya. Saya lupa akan fakta
ini—Babe dan Pak Hakim itu sobatan! Hahaha … tentu saja Pak Hakim melapor bahwa
beliau bertemu saya di bawah. Sungguh sial!




Dengan pengalaman kuliah-kuliah
yang menegangkan itu, akhirnya saya dan Nata punya kebiasaan baru: shalawatan
di motor hahahaha …. Biasanya, shalawat ini dimulai dari gerbang bawah Bosscha
(Batureok) sampai saya memarkir motor di depan ruang ceramah. Lumayan lah,
menyejukkan hati yang rusuh hihihihi … (preman insyaf banget!)




Dan pengalaman yang paling tak
terlupakan adalah … kecelakaan kentut Nata. Waktu itu, dia kebagian presentasi
di ruang baca Bosscha. Meja ruang baca panjang, Babe duduk di ujung agar bisa
menatap papan tulis langsung, jadi agak jauh. Saya duduk di tengah-tengah
panjang meja, lebih dekat ke si Nata. Tiba-tiba, Babe memotong presentasi Nata
di tengah-tengah dan marah-marah karena kalimat-kalimat Nata membingungkan. Di
tengah kemarahan Babe, saya mendengar bunyi “Tuuuut …” lemah. Ya ampun, memang
eta bujurna teu nyakola pisan, si Nata kentut! Saya langsung membelalak kepada
Nata. Nata tampak grogi, tapi dia pura-pura memerhatikan Babe dengan khidmat.
Untung saja, suara kentut itu nggak terdengar sampai belakang, hahahaha … Jika
iya, pasti kemarahan Babe akan berlipat ganda: sudah presentasi nggak becus,
masih berani juga mengentuti dosen! Profesor, lagi! Hahahaha … dasar.




Ternyata, gara-gara kuliah ini
pula, tugas akhir saya tertunda satu semester. Syukurlah Pak Hakim
memakluminya. Mungkin karena beliau sangat memahami Babe. Ketika satu semester
sudah berlalu, kuliah kami belum juga berakhir. Tapi, akhirnya Babe sendiri
yang memutuskan, tempaan mental kami sudah cukup. Saya mendapat nilai B dan
Nata C (dia agak bete tuh, kasihan deh. Mungkin gara-gara tulisan saya lebih
bagus daripada dia, jadi lebih mudah dibaca, hahaha …).




Meskipun terasa membuang waktu
(apalagi, dengan kuliah ini saya kelebihan 3 SKS), ternyata banyak sekali
manfaat yang bisa saya petik. Entah ya, si Nata mah. Contohnya, logika berpikir
dan analisis. Meskipun masih sangat dangkal—dibandingkan anak astronomi
lain—saya merasa logika berpikir saya agak ter-up grade. Selain itu, saya mulai
bisa menulis dan bicara dengan terstruktur. Sampai akhirnya saya sempat menjadi
penyiar di Her Radio (haiyah … radio bangkrut!) dan sekarang menjadi editor.
Wah, kuliah satu semester itu sangat berguna bagi karier saya sebagai
penyunting! Hahaha ….




Karena itu, saya tidak merasa rugi.
Malah, saya menyayangkan mengapa teman-teman dan adik-adik kelas saya
melewatkan kesempatan emas ini. Bagi saya, lulus tepat waktu tidak ada artinya
dibandingkan pelajaran berharga—menjadi mahasiswa Pak Bambang!




 






Babe, maafkan saya—dan Nata—karena
sering menipu Anda, Babe. Meskipun begitu, berjuta-juta terima kasih saya
ucapkan, karena Anda telah sedikit memperbaiki otak kami dan membuat saya tidak
perlu belajar dari nol lagi saat sudah bekerja. Salam sayang, Babe.





Rabu, 07 Juni 2006

Rendang Daging a la si Emak Iesye Lubis


Description:
Resep rendang ini teh warisan dari Ompung Armia, karena itu saudara-saudaranya si Papap sangat senang berkunjung ke rumah untuk makan rendang ini. Resep ini juga sudah mulai menyebar ke daerah Kopo dekat Lanud Sulaiman, karena telah dicoba oleh si Bulek Ndu.

Ingredients:
1 kg daging sapi dipotong kotak kira-kira2 2cmx2cmx2xm
3 biji laja (kira-kira)
1 biji kunyit (kira-kira)
2 biji jahe (kira-kira)
1 sdm ketumbar
1 sdm merica
1/2 sdm pala
10 biji cengkeh
10 biji kapulaga
1 plastik jinten (di pasar sih dijual seplastik-seplastik kecil)
2 ons bawang merah
1 ons bawang putih
1/4 kg s.d. 1/2 kg cabe merah (tergantung, suka pedes nggak)
Salam
Sereh (yah, mainannya anak Bandung mah, "Ada salam dari si sereh!" hehehehe, asallll)
Daun jeruk
3 buah tomat
1/4 kg kelapa sangrai, digiling haluuuus banget sampe berminyak
1/2 kg kelapa parut, buat jadi santan kental
garam & gula secukupnya

Directions:
- Giling bawang merah, bawang putih, cabai merah, laja, jahe, kunyit, sampai halus
- Giling ketumbar, jinten, merica sampai halus, lalu sangrai
- Giling halus kelapa angrai sampai berminyak
- Tumis bumbu giling lalu masukkan bumbu sangrai ke dalam tumisan bumbu giling
- Masukkan daging yang sudah dipotong-potong
- Masukkan santan, godok dengan api kecil
- Masukkan irisan tomat
- Sesaat sebelum airnya kering (kalo bahasa Sunda mah saat), masukkan kelapa sangrai
- Masukkan salam, sereh, dan daun jeruk
- Godok kembali sampai airnya kering, jangan lupa diaduk-aduk duonk ...
Ingat, apinya harus kecil banget. Masaknya juga lama banget, bisa sampe 5 jam, bahkan kalo mau nyerep banget bumbunya mah sampe 7 jam. Dan jangan lupa dibolak-balik biar nggak tutung. Makanya, tiap lebaran teh bete, karena harus membantu Emak membuat rendang. Oughhhh ... pegaaaaaal! Hehehehe ...

Foto menyusul!

Brondong "Nyakrek" yang Belum Jadi Brondong, Masih Jagung Mentah



(dan juga bukan brondong
“ngulapes” hahahaha ….) 





Suatu pagi, karena si Papap harus ke Jakarta, saya berjalan kaki ke
tempat pemberhentian bis. Santai sih, soalnya saya start dari rumah
lumayan pagi.



Supaya bisa kebagian tempat duduk di bis, seperti biasa saya berjalan
ke arah Sarijadi atas. Kira-kira di blok 16, saya berhenti karena sudah
melihat bis roti kuning-biru di kejauhan.



Di seberang jalan, ada sebuah mobil jemputan penuh dengan anak SD yang
masih terlihat segar-baru mandi dan rambut mereka masih basah. Di
bangku paling belakang duduk anak-anak cowok, kira-kira kelas 2 atau 3
SD-an lah. Melihat saya berdiri sendirian di seberang jalan, mereka
membuka jendela mobil lebar-lebar dan melambai-lambai.



"Dadaaaah! Dadaaaah!" cowok-cowok mungil itu tertawa-tawa.



Ya sudah, saya dadahi saja lagi sambil tersenyum.



Tapi tiba-tiba, seorang cowok mungil itu berteriak kepada saya, "Kamu sekolahnya di mana?"



Hah??????



Sambil menahan tawa, saya menjawab, "Ujungberung!"

"Oooh …" kata si cowok mungil tadi. Padahal saya ragu, dia tahu tidak Ujungberung itu di mana.



Sayang bis yang saya tunggu sudah berhenti. Jadi saya hanya sempat
melambai kepada mereka. Mereka juga balas melambai dengan lebih heboh.



Begitulah. Mungkin memang saya dinilai masih imut oleh cowok-cowok
mungil itu, sampai ditanya, "Sekolahnya di mana?" Mungkin gara-gara
saya terlalu banyak bergaul dengan anak-anak. Atau mungkin gara-gara
saya mengidolakan Suzanna yang menikah dengan Clift Sangra, pria yang
24 tahun lebih muda, hahahaha …. Slurp!





Yadi Kuik, Preman Cicadas yang Aa ITB



Waktu kuliah dulu, saya punya
seorang teman yang bernama Yadi Supriatna. Karena saya sempat kuliah di Unpar
dulu selama setahun, dia jadi kakak kelas saya deh. Tapi, karena masa
kaderisasi dan pelantikan angkatan ’96 dan ’97 digabung, rasanya kami satu
angkatan—meskipun terasa sekali perbedaannya, pada umumnya angkatan ’96
jago-jago dalam urusan akademik, sementara angkatan ’97 jago-jago dalam urusan
tipu menipu .




Hubungan saya
dengan Yadi lumayan dekat, tapi biasanya dalam hal pekerjaan. Bukan pekerjaan
akademik, tapi betul-betul pekerjaan yang menghasilkan uang. Biasanya, kami
berpartner dalam hal produksi—mulai dari plakat untuk kenang-kenangan wisudawan
sampai proyek buku saku mahasiswa baru sebuah akademi yang dulu terletak di
Jalan Surapati.




Dulu saya sering
ke rumah Yadi untuk urusan bisnis ini, karena di sekitar rumahnya banyak tukang
kayu, tukang sablon, dan percetakan kecil. Gampang kok kalau mau ke rumah Yadi.
Kalau menuju arah Cicaheum, coba tengok sebelah kanan Jalan Surapati/Suci,
setelah Cikutra. Ada sebuah wartel yang plangnya besar, berjudul “Kokolono”. Di
dekat wartel yang namanya ajaib ini—saya dulu sering protes kepada Yadi, kenapa
sih namanya ajaib begini?—ada sebuah gang besar (cukup dimasuki satu mobil)
yang berjudul “Jalan Setia”. Nah, mencari rumah Yadi itu gampang, jalan saja
beberapa meter, di sebelah kanan ada warung pertama. Itu rumah Yadi. Atau tanya
saja kepada penduduk di situ, pasti mereka akan menunjukkan rumah Yadi si Aa
ITB, yang terkenal dengan julukan “Kuik” (saya nggak tahu julukan ini berasal
dari mana, mungkin dari kata quick?).




Mungkin karena
dia satu-satunya Aa ITB di antara berjuta-juta penduduk Cicadas—yang merupakan
daerah terpadat di seluruh dunia—Yadi itu termasuk idola para wanita (tapi
sayangnya, tidak di antara teman-teman kuliah, hehe …). Selain itu, memang dia
mah rada playboy saeutik lah. Biasanya yang jadi korban keplayboyannya ini
setipe: cewek-cewek mungil berjilbab. Ada yang namanya Nining, Rita, Diana, dll., dsb
(aduh, maaf saya nggak begitu hafal nama-namanya). Selain cewek-cewek Cicadas,
dia juga berhasil menebar pesona kepada seorang gadis Lembang saat sering
bertugas di Bosscha. Bayangkan, gadis Lembang itu rela mengantarkan susu murni ke
observatorium untuk Yadi! Yang enak sih kami teman-temannya, sering kecipratan
juga.




Tapi ternyata
pesona seorang Yadi bisa membawa petaka. Suatu hari, kami pernah tertawa
habis-habisan mendengar ceritanya. Dia pernah diajak kenalan oleh seorang gadis
Cicadas. Kira-kira begini percakapannya.




“Hei, kenalan
dong. Nama saya Rosma, tapi panggil aja Oo’,” 
(sampai sini saja kami sudah cekikikan. Please deh … nama bagus-bagus
kok panggilannya Oo’). Kata Yadi sih, si Neng Oo’ itu kenalan sambil
senyam-senyum genit.




“Yadi,” jawab
Yadi dengan tegas. Ja-im duonk … Aa ITB gitu bok.




“Yadi udah ada
yang punya belum?” tanya Oo’ sambil senyam-senyum genit lagi. Dasar preman,
Yadi langsung meradang.




“Memang kunaon
mun geus aya nu boga? Naon urusan maneh?”




Pokoknya, saya
tidak ingat lagi detail percakapannya bagaimana, tapi akhir pembicaraan mereka
ditutup dengan … bencana. Dengan manis, Neng Oo’ “ngadegungkeun” (apa ya
istilah yang paling pas? Menyuntrukkan? Gitu deh, mendorong dengan kesal)
kepala Yadi Kuik.




Bwahahaha … kami
yang mendengar ceritanya begitu puas tertawa sampai sakit perut. Peristiwa itu
begitu berbekas, sampai-sampai saya dan beberapa teman Himastron memindahkan
julukan itu kepada Demi, kakak kelas kami (angkatan ’92) sehingga panggilannya
jadi Nenden Oo’.




Bukannya kapok,
Yadi semakin gencar menebar pesona. Contohnya kepada seorang gadis yang kamar
kosnya berhadapan dengan kamarnya (di tingkat atas). Mereka sampai punya kode
khusus—jendela tertutup berarti sedang pergi, jendela dibuka dua-duanya berarti
ada di rumah, atau jendela dibuka satu berarti tidak ada di rumah tapi sedang
jalan-jalan dekat-dekat situ. Sungguh niat ….




Saking seringnya
bergaul dengan Yadi, dia sempat menghantui mimpi saya suatu malam. Mungkin itu
termasuk mimpi erotis, tapi anehnya tokoh dalam mimpi itu bukan saya sendiri,
melainkan … si Nata! Hahahaha … Waktu bangun, berjuta perasaan campur aduk:
takjub, heran, aneh, sebal, ingin tertawa, tapi ingin muntah. Huek! Kok adegan
begituan masuk ke mimpi orang lain sih, hahahahaha ….




Selain kisah
romantik, Yadi juga pernah punya kisah heroik. Suatu malam, dia berniat
menginap di Himastron. Dari rumahnya, dia menumpang angkot Cicaheum-Ledeng.
Sebelum turun di gerbang belakang (dulu gerbang yang dibuka adalah gerbang di
depan Batan), angkotnya melewati kawasan Kebun Binatang dan Batan yang sepi dan
gelap. Nah, ternyata si sopir dan kenek itu berniat jahat—akan merampok tiga
penumpang angkot itu (Yadi beserta seorang laki-laki dan seorang perempuan).
Katanya sih dia sempat terlibat perkelahian dengan si sopir dan kenek. Tapi
akhirnya dia memutuskan untuk lari ke Himastron. Saat itu Himastron sedang
dikuasai cewek-cewek perkasa—Mbak Sari SD, Mama “Shita” Oum, dan si Nata.
Saat itu, mereka nggak segera membuka pintu, jadi Yadi kesal dan berlari ke bawah, ke Himatika.
Saya lupa akhirnya bagaimana, yang jelas dia tidak luka parah kok.




Yang mengagumkan
tentang Yadi adalah kebiasaannya belajar. Dia termasuk segelintir mahasiswa
astronomi yang lulus tepat waktu—delapan semester. Yadi juga adalah seorang
mentor yang baik. Cara dia menerangkan sesuatu mudah dimengerti, baik itu
materi kuliah atau hal-hal teknis yang menyangkut teleskop, misalnya.




Setelah dia
lulus dan bekerja, berita heboh tentang kebiasaan tebar pesonanya mulai
memudar. Sampai suatu saat, waktu saya sedang ke rumah si Aq, Ibu (ibunya Aq)
bertanya kepada saya, “Adek kenal sama Yadi nggak? Anak astronomi ITB juga.”




Oh, tentu saja
saya kenal. Terus, saya tanya, “Memangnya kenapa, Bu?” Tapi saya sudah curiga
dengan ekspresi Ibu, seperti menahan tawa. Si Aq juga sudah cekikikan geli.
Ternyata tebaran pesona Yadi sudah sampai ke Jalan Jurang, tak sesempit Cicadas
dan Bosscha lagi. Ceritanya, ada seorang cewek yang kost tepat di depan rumah
si Aq, bernama Diana. Kadang-kadang, si Aq suka nangkring di ruang tamu sambil ngopi, sambil
melihat-lihat ke luar. Dari luar sih tidak terlihat karena terhalang tirai.
Nah, si Aq mendapati suatu pemandangan aneh—ada seorang cowok yang berdiri
lamaaaaa sekali di luar halaman tetangganya. Setelah diperhatikan, ternyata
cowok itu sedang mengobrol dengan Diana. Tapi, si cewek
ada di dalam rumah dan si cowok di luar pagar. Biasanya mereka ngobrol
lamaaaaa.




Setelah diusut,
si ibu kost bercerita kepada ibunya si Aq, bahwa cowok yang sering ngapel itu
adalah … Yadi, anak astronomi ITB. Hahahaha … saya masih ingat ekspresi wajah
Yadi saat saya konfirmasi berita itu. Kaget, malu, gengsi … semua bercampur
jadi satu. Dia heran, kok saya tahu? Ya iyalah … di depan rumah si Aq banget,
gitu bok! Hahaha ….




Tapi, setelah
insiden itu, saya dan teman-teman tidak pernah mendengar lagi kisah playboynya.
Kami hanya tahu dia semakin serius dengan seorang cewek Indramayu (atau
Kuningan ya? Saya lupa, pokoknya daerah-daerah perbatasan gitu deh). Ternyata …
kami dikejutkan oleh sepucuk undangan yang dikirim lewat milis Himastron. Yadi
akan menikah dengan tetangganya! Tapi maaf, sayangnya, lagi-lagi saya lupa nama
istrinya. Mungkin karena terlalu banyak nama cewek yang berseliweran di kepala
saat mengingat nama Yadi. Sang calon istri ternyata baru lulus sekolah! Dia
lulusan SMK jurusan busana, kalau saya tidak salah. Dia membuat baju muslimah,
yang katanya bertempat di rumah Yadi.


Sekarang,
Yadi sudah berbahagia dengan istri dan anak laki-lakinya. Sayang, saya
belum pernah bertemu dengan dia bersama keluarga. Tapi saya percaya,
sifat playboy cap kembang kadu itu hanya sisa-sisa kejayaan masa
lalunya. Semoga! Hahaha ….






Cowok-Cowok Dodol Himastron, PACPAC-D, dan Cap "G" di Buku Danus

Saya termasuk salah seorang yang bisa dikategorikan sebagai "penghuni"
Himastron, karena sering sekali nangkring di sekretariat himpunan ini.
Tapi tentu saja belum bisa dikategorikan sebagai "jurig" (hantu)
Himastron seperti si Nata Pehul yang pernah menebar teror dengan
kehadirannya. Atau seperti si Muhammad Lutfi Agung Ginanjar alias Asep
1 (Naha sih, ngaran maneh teh panjang tapi meni teu nyararambung!) yang
sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya.



Saya mulai jadi aktif di Himastron sejak pertengahan tahun '98, saat
mulai bisa akrab dengan cewek-cewek '94 yang tampak jutek dan galak,
padahal sebetulnya sih nggak (wekekek … banyak tuh di friendsterku. Ada
Mbak Esta, Mbak Sari KW, Mbak Panca hikhikhik … piss ahh kata Alam
juga).



Keistimewaan anggota Himastron adalah: semuanya bisa jadi pengurus.
Jadi, dari dua angkatan yang aktif, hampir seluruhnya adalah pengurus
pada masa itu, sementara anggota biasa adalah angkatan selain dua
angkatan aktif itu. Waktu baru dilantik, saya langsung jadi staf di
divisi Humas. Alasan mengapa saya ditempatkan di situ sederhana saja:
tulisan saya cukup bagus, jadi kalau Himastron menyelenggarakan acara,
saya kebagian menulisi poster-poster dari kertas buram ukuran A2 untuk
ditempel di seluruh penjuru ITB.



Ketika angkatan '97 dan '96 kebagian jadi pengurus inti, saya
ditempatkan di divisi danus. Mungkin gara-gara waktu SMA saya pernah
jadi wiraswastawati, jualan kartu lebaran hasil sablonan bersama
teman-teman kelas 1A. Program danus saya sih sederhana, jualan makanan
dan minuman di Himastron. Waktu itu, dasar pemikirannya adalah
Himastron terletak di langit keempat (kalau langit-langitnya dihitung
dari lantai dasar Departemen Matematika) dan sulit mengakses warung.
Barang jualannya sederhana, seperti kue astor dengan harga satuan 100
perak, energen, pisang, kue-kue basah, kopi, puding, sampai mie instan.



Pada saat itu, di Himastron belum banyak hiburan. Yang ada hanya sebuah
tape milik Boyke '94 yang akhirnya raib tanpa bekas secara misterius.
Pada masa-masa kegelapan itu, para penghuni Himastron kebanyakan adalah
para remaja '80an seperti Taufiq, dedengkot Klub Astronomi Bondowoso
a.k.a. Papa Tom '92, Kang Asep Cililin '91, Bahrun si pemuda Kuningan
nan melankolis '92, Boyke si kasep '94, Gabriel "Geboy" si Letkol
Untung angkatan '95, dan beberapa oknum lain.



Tanpa bermaksud mendiskreditkan pihak-pihak tertentu, pada masa ini
bermunculan cowok-cowok dodol. Ciri-cirinya adalah meninggalkan piring
kotor, gelas berisi ampas kopi, serta puntung dan abu rokok di
mana-mana. Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk menumpas para
gembong dodol ini, seperti menulis peringatan di bukom (buku
komunikasi), papan pengumuman, dan lain-lain. Bahkan, saya sempat
menaikkan harga, mie instan tanpa cuci piring sekian, jika piring
dicucikan danus tambah Rp. 500,-. Susah juga, soalnya mereka kan
"menghuni", sementara saya dan teman-teman lain pengurus danus hanya
datang di sela-sela kuliah. Jadi siapa yang meninggalkan benda-benda
bersejarah itu ya misteri besar.



Meskipun berbagai cara kami lakukan, teteeeeeuuup aja si cowok-cowok
dodol itu merajalela. Sebelumnya, kami yang tidak tahan melihat
Himastron berantakan, biasa membereskan hasil karya mereka. Lama-lama
kami sudah bosan-kami biarkan saja himpunan berantakan dan cucian
bertumpuk di luar.



Padahal, untuk menunjang penjualan mie instan, pihak danus sudah
menyediakan galon air mineral kosong dengan pompa, agar para pembeli
bisa mencuci sendiri piring atau gelas. Kalau sekarang enak, di depan
pelataran Himastron sudah ada keran yang layak pakai. Kalau dulu, kami
harus menghisap air dari tangki dengan selang berlumut-kadang-kadang
terpaksa menelan air berlumut itu, yaiks!



Selain karya seni mahatinggi mereka itu, pernah ada suatu peristiwa
mengagumkan: ceritanya, si Letkol Untung alias Geboy ini pindahan (saya
lupa dari mana ke mana, kalau nggak salah dari Sangkuriang ke Bedeng
Bosscha, ya?). Ternyata, yang membantu Geboy pindahan semua cewek!
Personilnya Mbak Shita (alias Mama Oum), T' Dyah, si Icy Meta, dan si
Nata (maaf kalo ada yang kelewat). Bayangkan, betapa perkasanya
cewek-cewek Himastron ini. Selain mengangkut barang, menyopiri pula ke
Bosscha (T'Dyah memang sopir tob! Hehehe).



Saking banyaknya cerita tentang cowok-cowok dodol ini, ketika para
cewek perkasa ini berkumpul di Himastron, kami sepakat untuk membentuk
PACPACD: Partai Aliansi Cewek Perkasa Anti Cowok Dodol. Bahkan, kami
merancang logonya segala hehehe ….

Ada satu lagi cerita tentang oknum-oknum Himastron ini waktu saya
berkuasa jadi danus: kebiasaan pagede-gede hutang. Saya dulu
menyediakan sebuah buku kecil untuk catatan utang danus. Ya ampuuuun …
ternyata ada beberapa oknum yang malah bertanding besar-besaran utang!
Modal jualan saja hanya Rp. 50.000,-, ini diutangi Rp. 40.000,-, bahkan
ada yang sampai Rp. 60.000,-!



Ya sudah, tanpa pikir panjang, alih-alih menggambar cap "LUNAS", saya
gambar cap "GOBLOG" pada tempat-tempat bertuliskan utang badag
tersebut. Yang menyebalkan, bukannya pada bayar utang, mereka makin
bangga memamerkan cap "GOBLOG" itu kepada sesama cowok dodol!



Tapi, ternyata saya rindu membuat gambar cap "GOBLOG" itu hahaha ….
Coba saja kalau saya bisa membalik waktu. Saya akan membuat cap betulan
dengan warna merah. Jika harus mengeluarkan modal sendiri pun nggak
masalah, yang penting bahagia! Hekekekek ….



Jumat, 02 Juni 2006

Antapani - KPAD



Sejak kantor pindah ke Cinambo,
saya naik bis Antapani-KPAD setiap hari. Bentuk bisnya seperti roti tawar.
Warnanya dulu hijau-putih, sekarang berubah jadi biru-kuning. Tapi kedua jenis
bis itu masih wara-wiri di jalanan. Awalnya saya tidak ngeh jika kemunculan dua
bis yang berbeda itu memiliki pola tertentu. Tapi, saya baru tahu minggu lalu:
mulai dari jam 06.30 sampai 17.30, bis biru-kuning yang lebih baru yang
berkuasa di jalan. Sementara, sebelum jam-jam tersebut, bis hijau-putih yang
bertugas, karena jumlahnya pun lebih sedikit.






Jarak waktu dari satu bis ke bis
berikutnya kira-kira 10 menit. Biasanya, saya naik bis yang sampai dekat rumah
susun Sarijadi jam 06.50. Kadang-kadang (tapi jarang) saya lebih awal, jam
06.40. Dulu sih, awal-awal naik bis, sempat jam 06.30 sudah nangkring. Tapi
sekarang sih sudah yakin, naik bis jam 06.50 pasti sampai kantor nggak telat
kok. Aling lambat juga jam 08.00, saat bel kantor berdentang lah.






Akhir-akhir ini, si papap biasa
mengantar sampai tempat menunggu bis. Saya punya cara khusus untuk bisa tahu,
bis jam 07.50 sudah lewat atau belum. Kalau masih ada Bu Siti menunggu di flat,
berarti bisnya belum lewat hehehe … (Bu Siti ini dulu mengajar di TK milik si
Emak, sekarang dia mengajar TK di daerah Dago dan sama-sama pelanggan bis
Antapani-KPAD).






Ternyata bukan hanya saya yang
punya jadwal tetap, karena banyak sesama pengguna bis yang akhirnya saya hafal.
Ada para pegawai Pemda yang selalu turun di Gedung Sate, ada dua orang
mbak-mbak yang selalu turun di dekat Hotel Grand Aquila (salah satunya sangat
menarik, tinggi langsing, berambut pendek, dengan attitude keren tapi
tidak berlebihan!), seorang ibu pegawai PMI yang selalu turun di Jalan Anggrek,
seorang ibu yang selalu turun di Pusdai, seorang aa-aa yang selalu duduk persis
di samping sopir, seorang bapak pegawai kantor pos yang sering memberikan
tempat duduknya kepada para perempuan, seorang ibu yang mengantar anaknya (yang
berkebutuhan khusus) yang selalu naik di SMA Puragabaya, dan seorang bapak tua
penjual kerupuk yang selalu turun di Dago. Ada beberapa yang juga sering saya
lihat tapi tak terlalu saya perhatikan.






Sopir dan keneknya pun selalu yang
itu-itu saja. Mungkin mereka memang punya jadwal tetap. Ada seorang bapak sopir
yang senang sekali mengobrol dan bercanda dengan penumpang saat mengemudi. Dua
orang kenek, satu bapak-bapak dan satu aa-aa, sudah hafal dengan jadwal turun
saya. Jika bis sudah berada di Jalan Cicadas, depan Balai Keramik, tanpa saya
minta mereka langsung mengetuk gagang besi dengan uang koin.






Kalau pulang, biasanya agak susah.
Saya turun angkot di Jalan Jakarta dan menunggu bis di sana. Tapi kalau numpang
Mas Yanto yang bawa motor, saya biasa turun di deretan toko kue Jalan Jakarta
dan membeli es krim kacang merah di Kartika Sari sambil menunggu. Jarang sekali
saya langsung bisa naik bis begitu turun angkot. Saya pernah menunggu selama 30
menit dan terpaksa pulang naik angkot Margahayu Ledeng!






Penumpangnya pun tidak tetap
seperti saat pergi. Hanya, sopirnya kadang-kadang sama, seorang laki-laki
berumur 35an dan bermata merah, yang sering telepon-teleponan pakai HP.
Beberapa kali dia didampingi seorang perempuan berambut panjang. Bikin bete,
karena sepanjang perjalanan mereka mengobrol terus, sehingga bis berjalan
saaaangat lama. Keneknya seorang pemuda yang bertampang kalem.






Selama jadi pengguna bis, banyak
kejadian tidak biasa yang saya alami. Ada kisah si Emak yang saya ceritakan di
blog sebelumnya. Pernah juga near death experience saat suatu hari
pulang kantor. Saat itu saya naik bis dengan si sopir mata merah. Di Jalan
Jakarta, dia ngetem lama sekali, sampai-sampai para penumpangnya betul-betul
seperti pindang. Setelah penuh, dia melaju dengan sangat kencang. Sampai di
Gasibu, dia melesat bagai kesetanan. Lebih parah, di perempatan Dago-Sulanjana,
dia hampir menyambar sebuah motor, menyalip bis Antapani-KPAD lain, memarkir
bisnya melintang di tengah jalan, lalu turun! Sopir bis yang disalip tadi juga
turun, dan mereka hampir saja berkelahi jika para kenek tidak menahan mereka.






Ibu-ibu dan para wanita sudah
menjerit-jerit panik sejak bisnya dibawa ngebut dari Gasibu. Tambah panik lagi
ketika hampir terjadi perkelahian. Saya juga gemetaran sejak tadi, cuma tidak
menjerit-jerit saja. Waduh, kalau saja pas ngebut tadi bisnya terguling atau
menabrak apa lah. Pulang tinggal nama deh.






Tadi pagi juga ada yang sedikit
aneh: bis yang saya tumpangi tidak ada keneknya. Bapak sopir juga kebingungan.
Kata si ibu pegawai PMI, di satu belokan Sarijadi atas, keneknya lari tanpa
bilang apa-apa. Saya menebak-nebak, kenek yang mana ya? Naik bis tanpa kenek
tentu saja merepotkan, karena para penumpang harus turun dari pintu depan dan
sebelumnya membayar kepada sopir. Yang lebih repot jika nggak membayar dengan
uang pas. Akhirnya, di depan Rektorat ITB bapak sopir memarkir bis, bangkit dan
menagih ongkos dulu, baru meneruskan perjalanan. Baru di Supratman, terdengar
suara uang receh bergemerincing. Kenek yang sudah bapak-bapak itu naik. Rupanya
dia menumpang bis Antapani-KPAD berikutnya, dan bis yang saya tumpangi tersusul.






Dengan wajah muram, sang kenek
langsung duduk di dekat sopir, lalu bercerita dengan suara pelan. Pak sopir
tampaknya kesal, tapi untunglah dia tidak ekspresif. Saya jadi ikut sedih
melihat wajah muram bapak kenek itu, karena biasanya dia sering tersenyum.






Saya juga pernah gagal menahan
tangis waktu malam-malam lewat Dago. Saat itu sudah jam 22.00 malam, hujan
gerimis, dan hawa dingin sekali. Waktu itu saya sedang dibonceng si AQ naik
motor. Di stopan bawah jembatan layang, saya melihat bapak penjual kerupuk
teman perjalanan pergi saya, masih menjajakan kerupuk tanpa jaket! Sayang, saat
saya sedang sibuk mengeluarkan uang, berniat membeli sebungkus kerupuknya,
lampu stopan sudah berubah hijau. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa, semoga
jualan si bapak cepat habis dan dia bisa pulang ke rumah, mengganti baju, minum
teh hangat, lalu tidur dengan nyaman.






Bagi saya, jadi penumpang bis
Antapani-KPAD adalah seperti menonton film tentang kehidupan nyata di dalam
sebuah layar 360 derajat dan 4-dimensi ….





FENOMENA MAKHLUK GANTENG YANG MENJADI ANOMALI DI HIMASTRON




Di antara segelintir mahasiswa astronomi ITB saat ini, ada
dua orang yang cukup “cemerlang”—maksudnya, biasanya sih mereka menonjol di
antara barudak yang pada umumnya dekil-dekil.




Mereka itu sama-sama orang Bogor, sama-sama berkacamata, dan
sama-sama kasep. Sungguh, mereka ganteng-ganteng. Sungguuuuuh!!!
Saya memuji dengan jujur, dari lubuk hati terdalam.




Dulu, waktu mereka baru aktif di Himastron, saya iseng
menomori mereka, jadi Asep 1 dan Asep 2. Tapi tidak ada alasan dalam menomori,
kenapa si ini harus nomor satu dan si itu harus nomor dua. No particular
order
lah.




Asep 1 adalah Muhammad Luthfi Agung Ginanjar. Ada yang
memanggilnya Agung, ada yang memanggilnya Luthfi, tapi di PSIK dia dipanggil
Anjar. Sebetulnya ada sebagian raut wajahnya yang mirip Ello (menurut si Bona
juga begitu), tapi ternyata banyak yang protes (padahal protes harus bayar
hahahaha).




Si Asep 1 ini berperawakan tinggi, badan sedang, kondisi
rambutnya yang lurus kemerahan tidak tetap: kadang-kadang botak seperti Cuplis,
kadang-kadang gondrong. Dulu sih hobinya memakai kupluk, sekarang entahlah. Daya
tarik lain dari makhluk ini adalah janggut kambing dan bulu-bulu kakinya—yang
menurut seorang oknum anggota Himastron “maskulin!”. Selain itu, dia cukup ngulik
komputer, jadi sering dimintai bantuan (saya juga sempat meminta bantuan
menghapus linux dari harddisc saya). Sekarang, dia memanfaatkan keterampilan
komputer grafisnya untuk Centaurus, majalah astronomi.




Karena sempat beberapa saat bersama-sama menjadi penghuni
Himastron dengannya, saya jadi tahu beberapa kebiasaan si Asep 1 ini. Dulu dia
jadi penghuni rumah kos di Taman Hewan, bersama si Asep 2. Tapi, kamar kosnya
sering dia tinggalkan, dan lebih sering menginap di Himastron. Jadi, kamar kos
hanya dijadikan tempat menyimpan barang saja.




Manusia satu ini hobi begadang, semalaman bisa nggak tidur
(nge-game, ngutak-ngutik komputer, dll) sementara paginya dia tidur. Ada
juga kebiasaan lain yang aneh untuk orang seganteng dia: jarang mandi! Pokoknya,
jika dia mandi, itu adalah peristiwa istimewa yang dirayakan oleh alam—dengan
gelegar guntur yang mengerikan, angin yang bertiup kuat-kuat, dan hujan deras.




Selain jarang mandi, kalau cukup memerhatikan si Asep 1 ini,
kita akan tahu kapan dia kehabisan baju. Soalnya, salah satu hobinya yang lain
adalah merendam cucian—dan malas mencucinya. Jadi kalau dia sudah memakai
baju-baju aneh (kemeja rapi, kaos gaul, dll), atau memakai jaket tanpa kaos
atau kemeja di dalamnya, berarti dia sudah tidak punya baju bersih.




Tapi, sungguh, saya berkata jujur, meskipun dia bau, jarang
mandi, orang lain kuliah dia tidur, hobi merendam cucian, dan sering memakai
jaket tanpa baju di dalamnya, si Asep 1 ini memang ganteng!






Makhluk ganteng kedua, yang dijuluki Asep 2 adalah Fikry
Maulana. Hanya saja, akhir-akhir ini dia lebih sering disapa “Freaky” daripada
“Asep” (lebih keren kali yeeee). Orangnya kalem, berkulit putih, bertinggi dan
berpostur sedang, dan orangnya rapi sekali. Mulai dari penampilan hingga
barang-barang, si Asep 2 ini selalu teratur.




Tutur katanya halus, agak berbeda dengan si Asep 1 yang
agak-agak “gordes” alias gorowok desa. Padahal, rumah Asep 2 ini malah
agak diskotik dari Bogor, yaitu di Ciomas. Sama seperti si Asep 1, Asep 2 ini
juga ngulik komputer. Sama jagoannya lah.




Sayang saya tidak begitu tahu kebiasaan-kebiasaan Asep 2
ini, soalnya ketika saya menjadi penghuni Himastron, dia sedang aktif-aktifnya
di GTV. Malah mungkin sampai sekarang.




Saya lupa kapan dia bergabung dengan Goerita Malam sebagai
pemain bass. Kalau sedang “latihan kering” di Himastron, dia sering
bersenandung. Menurut saya, suaranya cukup merdu kok hehe … cuma dia masih
nggak percaya diri mengeluarkan semuanya. Berapa kali saya dan si Bona
membujuk-bujuk dia untuk maju dan bernyanyi, jangan sembunyi di kegelapan saja.
Tapi dia tetap nggak mau. Padahal, kalau dia yang jadi frontman Goerita
Malam, mungkin band kami ini akan digila-gilai para fans wanita hahaha ….






Ternyata, penomoran makhluk-makhluk ganteng ini juga sempat
memancing sedikit kericuhan. Karena memang tidak ada alasan mengapa Agung
ditahbiskan sebagai Asep 1 dan Freaky sebagai Asep 2, teman-teman sering
bertanya, “Kenapa sih ada nomor 1 dan nomor 2?”




Biasanya, pertanyaan itu kami (saya dan Nata Pehul)
kembalikan, “Menurut kamu, mana yang lebih cakep. Agung atau Freaky?”




Dari beberapa cowok yang bertanya demikian dan kami tanya
balik, semua tidak mau menjawab dan berkomentar begini, “Masa’ cowok menilai cowok
juga. Nggak ah.” Lalu diam, tidak mengungkit-ungkit masalah penomoran itu
lagi—kecuali satu, si Ical. Dia bilang begini, “Si Fikry mah cakep, tapi kalo
Agung lucu.”




Hahahahahaha … penomoran kedua makhluk ganteng aset
Departemen Astronomi dan Himastron ini ternyata menghasilkan satu bukti—bahwa
si Ical itu …. (isi sendiri ah, saya mah nggak bertanggung jawab atas segala
kekacauan semesta akibat tulisan di blog ini:p)





Teh Tubruk, Kenangan yang Memabukkan

Barusan saya menyeduh secangkir besar teh tubruk.
Merknya Cap Botol—yang ada di toserba-toserba kecil dekat
rumah—meskipun ada referensi dari Jeng Antie yang orang Salatiga bahwa
lebih enak merek Goalpara atau 99. Begitu diseduh, aroma teh tubruk
yang khas segera meruap. Wangi dan damai, juga sedikit
memabukkan—karena mengingatkan saya akan waktu-waktu lampau.



Teh
tubruk yang diminum dengan cangkir enamel mengingatkan saya pada
masa-masa bersekolah di TK. Di TK Yayasan Beribu tempat saya sekolah
dulu, setiap hari semua anak makan hidangan yang sama. Ibu-ibu para
murid yang bergantian membuat, jadi kadang-kadang kami makan bubur
kacang hijau, besoknya kue, lalu besoknya lagi sup, dan seterusnya.
Hidangan itu selalu ditutup dengan minuman yang sama tiap hari: teh
tubruk dengan rasa manis yang samar, dihidangkan dengan cangkir tua
yang beberapa lapisan enamelnya terkelupas. Tambah sensasional ketika
saya ingat bagaimana lapisan enamel itu bersentuhan dengan gigi saat
minum, menimbulkan benturan lembut yang terasa akrab.



Tapi,
teh tubruk ini nggak begitu mengingatkan saya pada saat-saat kemping.
Soalnya, kalau kemping sih, jauh lebih praktis membawa teh celup.
Meskipun begitu, saya punya minuman favorit kalau sedang kemping:
oplosan teh celup panas dengan Segersari rasa jeruk nipis (Saya belum
pernah mencoba merek lain. Mungkin Nutrisari lebih oke). Pertama kali
saya minum oplosan ini saat sedang mendaki Gunung Halimun dari jalur
Selatan bersama tim pengembaraan 2000. Kalau tidak salah, minuman ini
diracik saat saya terpaksa mengisap rokok untuk mengusir dengungan
serangga di camp 4 (ough … saya trauma disengat odeng—lebah
kecil—pengalaman ini mungkin suatu saat akan saya ceritakan).



Kembali
lagi kepada bahasan semula, bagi saya, teh tubruk identik juga dengan
hujan deras. Waktu mengerjakan tugas akhir, saya sempat jadi penghuni
Himastron. Cukup lama, mungkin sekitar dua bulan. Biasanya, dalam
seminggu saya bisa lima hari menginap di Himastron, lalu dua hari
sisanya di rumah.



Di Himastron
itu dulu selalu ada sebungkus teh tubruk. Penyedianya ya sang hantu
penunggu Himastron, si Nyimas Siti Ulya (bwehehehe … si Nata pasti bete
banget disebut nama aslinya), meskipun kadang-kadang duitnya hasil
memeras para penghuni Himastron lainnya (buat sekalian beli gula).



Berada
di bawah atap kayu Himastron, di pelataran Labtek III lantai 4, tanpa
ada naungan atap kokoh lagi di atasnya, terasa cukup mengerikan—jika
sedang hujan deras. Angin bertiup kencang, air hujan menerpa atap dan
jendela, kadang-kadang merembes di sela-sela pintu, menggenangi
pelataran depan dan belakang, bahkan membasahi sepatu-sepatu yang
diparkir di luar (dan menjadikannya semakin bau, iukhhhhhh!).



Pada saat-saat seperti itu, biasanya kami menjerang air dengan heater
atau panci listrik milik si Tri. Setelah itu, kami menyeduh teh tubruk.
Setelah daun-daun tehnya mengembang, kami tambahkan gula. Lalu, teh
tubruk yang wangi, panas, manis, dan kental itu kami minum
bersama-sama. Bisa sambil menonton televisi, main gitar sambil
nyanyi-nyanyi nggak puguh, atau sekadar diskusi hal-hal aneh yang
kadang-kadang nggak penting banget.



Saat
selesai menulis ini, teh tubruk saya sudah hampir habis. Tinggal
sisa-sisa daun yang mengendap di dasar cangkir. Sudah dingin pula, tapi
masih wangi dan manis. Tapi, aroma teh tubruk ini masih membuat saya
mabuk … mabuk dalam kerinduan akan masa-masa lalu. Saat tak ada beban
pekerjaan, hanya memikirkan bagaimana caranya menghindar dari Pak Hakim
karena tugas akhir saya tidak kunjung beres! Hahaha ….


Tegalpanjang, Tempat Ilalang Bersenandung



Jika
saja punya uang banyak untuk membuat sebuah film atau video klip, saya
akan langsung memilih lokasi di: Tegalpanjang! Dijamin deh, mata kita
akan dimanjakan jika melihat masterpiece Sang Seniman Alam Semesta ini.




Jangan Mandi pada Siang Bolong



Tempat
nan indah ini terletak di sebelah selatan Bandung, di perkebunan teh
Pangalengan. Tepatnya, di antara Gunung Puntang dan Gunung Papandayan.
Perjalanan dari Bandung ke desa terakhir, desa Cibatarua, memakan waktu
sekitar lima jam jika menggunakan kendaraan pribadi. Jika menggunakan
angkutan umum, di Bandung kita menuju ke terminal Kebun Kelapa. Dari
Kebun Kelapa ke Pangalengan kita dapat menggunakan bus umum, lalu dari
Pangalengan ke desa Cisedep menggunakan angkutan umum. Tapi hati-hati,
angkutan dari Pangalengan ke Cisedep hanya ada hingga sore hari,
kira-kira jam 15.00 WIB. Dari Cisedep ke Cibatarua, kadang-kadang ada
truk angkutan hasil perkebunan. Tetapi jika kurang beruntung, apa boleh
buat, kita harus berjalan kaki selama kira-kira dua jam. Total
perjalanan dari Bandung dengan menggunakan angkutan umum kira-kira
tujuh jam!



Kita bisa
menginap di Cibatarua, tentu saja dengan seizin RT/RW setempat. Selain
di mesjid, kita juga bisa tidur di pos-pos tempat menyimpan hasil
perkebunan sementara. Tetapi, suhu udara di malam hari sangat dingin,
jadi harus selalu siap sedia peralatan tidur yang menghangatkan. Di
Cibatarua banyak terdapat warung-warung kecil dengan bapak-bapak dan
ibu-ibu penjual yang ramah. Di sana kita dapat menikmati teh tubruk
yang rasanya, mmm … nikmat sekali! Apalagi jika diminum panas-panas di
malam yang dingin. Tanpa gula pun, teh ini sudah sedap.



Ada
satu pesan dari bapak pemilik salah satu warung: jangan pernah mandi
siang-siang di Cibatarua dan sekitarnya! Awalnya kami berpikiran,
jangan-jangan berhubungan dengan takhayul dan kami bisa kualat jika
melanggarnya. Tapi ternyata si bapak dengan logis menjelaskan: air yang
mengalir dari pegunungan suhunya sangat dingin. Jika mandi pada pagi
hari, suhu udara masih dingin, jadi air akan terasa lebih hangat.
Tetapi jika mandi pada siang hari, saat udara sedang panas, wah …
ditanggung, orang akan kedinginan dan gemetar.



Biasanya,
setelah semalam menginap di desa ini, keesokan harinya, pagi-pagi
sekali, para pendaki telah berkemas. Kebanyakan bertujuan ke Gunung
Papandayan. Yang bertujuan ke Tegalpanjang belum terlalu banyak, karena
lokasi ini memang belum banyak diketahui orang. Selain itu, jalan
menuju lokasi agak sulit dilalui karena lumayan membingungkan.



Perjalanan Menuju Taman Bermain Peri



Dari
Cibatarua, kita menyusuri kebun teh dahulu menuju arah barat. Setelah
kira-kira satu jam berjalan, kita mulai memasuki hutan. Ada tiga sungai
kecil yang dilewati, airnya masih jernih. Segar sekali rasanya membasuh
tangan setelah berjalan jauh.



Medan
yang dilalui bervariasi, tidak melulu mendaki. Ada jalan setapak yang
menurun, mendatar, tapi kebanyakan menanjak. Suatu kali, ketika lelah
berjalan selama kira-kira empat jam, kami dikejutkan oleh kemunculan
seekor elang. Antara kaget dan takjub, kami dibuat terdiam karena sang
raja langit itu terbang dari pohon yang jaraknya dekat sekali, hanya
sekitar tiga meter. Mula-mula ia terbang berputar di dekat kami,
sekitar dua meter di atas kepala, kemudian ia mengepakkan sayapnya,
menuju matahari. Rasa lelah karena medan yang dilalui lumayan berat
serasa menghilang dari badan, dikalahkan oleh rasa takjub melihat elang
begitu dekat. Selain itu, terdengar juga suara-suara monyet, tapi
mereka tidak pernah menampakkan diri sehingga jenisnya tidak diketahui.



Setelah
sekitar lima jam berjalan, mendaki, menyusuri jalan setapak datar dan
menurun, kita akan sampai di suatu tanjakan yang curam. Hampir saja
rasa putus asa mengalahkan semangat diri. Tapi, di akhir tanjakan dan
begitu keluar dari rangkulan bayangan pohon-pohon besar, serasa melihat
taman bermain peri.



Sepotong Surga yang Jatuh di Bumi-kah?



Seketika,
terlihat suatu padang rumput yang maha luas, sekelilingnya dilindungi
oleh hutan dan kaki-kaki gunung. Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali
diam sebentar, duduk melepaskan lelah, dan melemparkan pandangan
sejauh-jauhnya. Ilalang bagai menari ditiup angin, dan sungai berkelok
bagaikan ular raksasa penjaga padang rumput. Kata-kata tak akan cukup
untuk melukiskan perasaan di dalam hati, yang campur-aduk antara
takjub, lelah, ringan, dan macam-macam. Imajinasi langsung berkembang.
Alangkah cocoknya jika padang ilalang ini digunakan sebagai tempat
bermain peri-peri mungil yang bercahaya. Atau bahkan bidadari-bidadari
cantik yang bersayap. Membayangkan mereka berkejaran, atau melangkah
hati-hati karena tidak ingin merusak tempat yang sangat indah ini.



Setelah
puas memandang sekeliling, kami mulai menyusuri padang ilalang ini,
menuju ke sungai. Ternyata dari permukaan padang rumput ke dasar sungai
cukup dalam, kira-kira tiga meter. Pada musim kemarau air sungai tidak
terlalu banyak, dan sungai ini dapat diseberangi hanya dengan
melangkahinya saja.



Dari
sungai, mulailah kami mencari tempat yang aman untuk bermalam. Tentu
saja lokasi yang dipilih adalah di hutan yang terletak di sisi-sisi
padang ilalang ini, agar terlindung dari angin yang menusuk hingga
sumsum.



Ketika
malam tiba, kita dapat mendengarkan desiran angin yang menerpa ilalang,
bagai menyenandungkan tembang lirih. Serasa dininabobokan dengan
senandung ilalang.


Ada
sekelumit perasaan enggan ketika bersiap-siap meninggalkan padang
ilalang ini. Berada di tempat damai, terisolasi dari lingkungan,
apalagi lingkungan kota. Pertanyaan bersimpang-siur di benak, apakah
ini sepotong surga yang jatuh ke bumi? Tetapi, karena pulang menjadi
suatu kewajiban, yang dapat dilakukan hanya berjanji: suatu saat saya
akan kembali ke Tegalpanjang ….



Edie Brickell & The New Bohemians


Selain dipengaruhi Lisa Loeb, ada beberapa lagi musisi perempuan yang
memberikan pengaruh begitu besar dalam hidup saya. Kadang-kadang, saya
berpikir kalau hidup saya penuh soundtrack—seperti film Ally McBeal.

Salah
satunya Edie Brickell, saat dia masih bergabung dengan band-nya yang
bergaya hippies dan beraliran folk, The New Bohemians. Pokoknya,
masa-masa sebelum dia pindah ke aliran yang lebih ngepop—mungkin
gara-gara disunting oleh Paul Simon yang dulu beken dengan duo Simon
and Garfunkel.



Lagunya yang paling berkesan bagi saya adalah Oak Cliff Bra.



Sittin’ on the front porch in Oak Cliff with my bra



Watchin’ some cars go by



The lady with the baby with only one shoe walks by



The baby on her shoulder has his mouth open more than his eyes



Where is his other shoe?



….



Kesederhanaan
yang begitu memikat. Membayangkan Edie duduk dalam keremangan bayangan
atap beranda, di Bukit Oak (saya bayangkan bukit itu penuh pohon Oak),
menyenandungkan melodi santai yang keluar dari hati seorang perempuan,
sambil hanya memakai bra :p.



Bagi
saya, lagu ini menyejukkan hati. “Mengheningkan cipta” di keteduhan
adalah hal sederhana yang bisa mengobati hati yang terasa rusuh, lelah,
setelah berjam-jam berkutat dengan persoalan-persoalan serius. Mungkin
seperti terapi “membaca di kloset” untuk saya.



Edie juga mendefinisikan cinta dalam lagunya yang berjudul Keep Coming Back. Dia berteriak,



Desperately tryin’ to get you, desperately tryin’ to get you, get you off my mind!



But you keep coming back! Keep coming back, back, back!



Keep coming back!



Lalu, dia meneruskannya dengan lembut,



Love is never easy to lose my friend.



To lose my friend. To lose my friend ….



Dalam hal ini, Edie sependapat dengan saya.



Lagu-lagu
patah hatinya juga sepertinya menyanyikan perasaan saya (hahaha … tapi
sudah lama sekali saya tidak patah hati :p). Edie bilang begini, dalam
lagu Circle,



I quit, I give up. Nothing’s good enough for anybody else.



It seems …. And being alone is the best way to be.



When I’m by myself is the best way to be.



When I’m all alone is the best way to be.



When I’m by myself, nobody else can say goodbye …



Everything is temporary, anyway ….



Dalam Me By the Sea, Edie juga menyanyikan kesendirian.



I'm in the habit of being alone
I try hard to break it I can't on my own



I'm glad no one's here just me by the sea
I'm glad no one's here to mess it up for me
I'm glad no one's here just me by the sea
But man, I wish I had a hand to hold …




Sendirian
memang enak. Jalan kaki sendiri, ke toko buku sendiri, nonton bioskop
sendiri, makan sendiri. Bebas, tanpa harus bertenggang rasa dengan
orang lain yang memiliki keinginan berbeda. Semua tergantung saya
sendiri, apakah sudah puas atau lelah. Tapi, tentu saja kadang-kadang
saya tidak ingin sendiri.


Saat ini, saya
merindukan Edie kembali bernyanyi dengan The New Bohemians. Atau,
setidaknya seperti dulu, dengan petikan gitar akustik dan senandung
yang memabukkan. Edie, Edie ... boleh dong saya GR, karena sepertinya
dia begitu memahami perasaan saya. Betul nggak, Mbak Edie? Hehehe ....

When All the Stars were Falling


Salah satu yang membuat saya sadar bahwa saya seorang perempuan adalah … para musisi wanita.

Tetapi,
bukan yang cuma nyanyi doang. Biasanya, mereka memainkan paling sedikit
satu jenis alat musik juga sambil bernyanyi. Salah seorang
penyanyi-musisi yang lagunya paling membuat saya terkesan adalah Lisa
Loeb—sayang setelah lagu pertama "Stay" dia sudah nggak berkarya
bersama band-nya lagi, Nine Stories Band. Lagu ini berjudul When All The Stars Were Falling, termuat di albumnya yang berjudul Tail.



Liriknya begini:



When all the stars were falling I reached up like you said
All the stars were falling, one hit me in the head
And I fell down, down, down, I fell down, down



When all the stars were falling, they fell from above
And I thought of hate, and I thought of hate and then I thought of love
And I fell down, down, down, I fell down, down



And I've learned how to dance from a Vincent Van Gogh
And the nights were wrapped in a white sheet
And now no one even says hello, 'cause I couldn't stand on my two feet



I fell down, I fell down
Down, down, down



Now the peace you will find, in your own you have found
The lights of the city are the stars on the ground
"I may not be a quaalude living in a speed zone,"



But I could be restful, I could be someone's home if I fell down
And I fell down, down
Now all the stars have fallen ….



Menurut saya, lagu ini adalah kebalikan lagu Don’t Stop Me Now-nya Queen yang juga sangat saya sukai—I’m
burning through the sky, yeah …. Two hundred degrees, so why they call
me Mister Fahrenheit. I’m travelling with the speed of light, I’m gonna
make a supersonic man out of you!



Mendengarkan Don’t Stop Me Know
selalu membuat semangat saya tetap menyala, melarang saya untuk
kehilangan gairah hidup, dan memacu saya untuk terus meraih segala
keinginan dan mewujudkan obsesi yang rasional. Tapi, When All The Stars Were Falling memiliki efek lain—meredam “bara di dalam dada”.




Mungkin, ada beberapa interpretasi terhadap lirik lagu ini. Tapi, saya
punya interpretasi sendiri. Lagu ini bercerita tentang seorang
perempuan—karena penciptanya Lisa Loeb toh—yang ingin meraih banyak
cita-cita, ambisius. Tetapi, di tengah perjalanan, ia mengalami suatu
kendala besar. Akhirnya, ia tidak bisa mewujudkan keinginannya.




Ia jatuh, terpuruk, tidak dipedulikan. Hanya karena ia bukan
“seseorang”, hanya karena ia bukan pemegang kendali keadaan sekitar. Ia
juga bukan quaalude—yang berasal dari frase 'quiet interlude'
dengan tambahan 'aa', suatu kamuflase nama methaqualone, obat
antidepresan—sesuatu yang bisa mengurangi depresi dan banyak dicari
meskipun ilegal.

Tapi, perempuan ini sadar akan sesuatu—ia
bisa menjadi seseorang lain dengan keadaannya ini. Mungkin kedamaian
yang ia cari selama ini nggak usah dicari jauh-jauh. Mungkin keadaannya
saat ini adalah kedamaian baginya. Selain itu, jika ia “jatuh”, nggak travelling with a speed of light, ia bisa jadi “rumah” bagi seseorang. Atau mungkin bagi beberapa orang.




Mendengarkan lagu ini dan meresapi liriknya membuat saya berpikir: ada
waktunya bagi setiap orang untuk meninggalkan ambisi pribadinya, untuk
bertenggang rasa terhadap orang-orang di sekitarnya—meskipun ia
bagaikan “jatuh” karena mimpi-mimpinya tidak terwujud.






Sekarang,
siapa yang tahu kapan pastinya saya
betul-betul "kejatuhan bintang"? Bisa aja besok atau taun depan atau
sepuluh taun lagi hahahahahahaha .... Meskipun tentu saja, sebagai
mantan mahasiswa astronomi "murtad" yang beruntung bisa lulus akhirnya,
saya
tahu bintang jatuh itu meteor. Dan, meteor itu adalah suatu benda
langit, mungkin berupa batuan atau kerikil, atau bahkan partikel debu,
yang masuk ke dalam atmosfer bumi dengan kecepatan tinggi. Gesekan
dengan atmosfer bumi menyebabkan panas dan nyala api, seperti kalau
kita menggesekkan korek api ke bagian samping kotak bungkusnya. Nah,
itu yang membuat meteor menyala bagaikan bintang jatuh (nah, apa coba
bedanya meteor dan komet? Owgh, plis duech ....)



Kamar Mandi dan WC



Kamar mandi dan isinya adalah obsesi saya sejak kecil, bahkan sejak
baru bisa duduk untuk buang air besar di kursi berlubang. Barangkali,
kursi ini juga mendukung terciptanya kegemaran saya akan kamar mandi
beserta isinya.

Kursi istimewa ini warisan dari
si Abang, yang juga saya wariskan kepada sepupu-sepupu yang lebih muda.
Sebetulnya, modelnya biasa saja. Terbuat dari kayu dan besi, bercat
putih. Yang istimewa, kursi ini punya meja berengsel yang bisa
dibuka-tutup, dan alas duduknya juga berengsel. Jika lapisan alas duduk
ini dibuka, akan tampak sebuah lapisan berlubang, seperti kloset duduk.
Cukup menyediakan pispot di bawah, kegiatan buang air besar akan sangat
menyenangkan bagi anak-anak kecil. Apa lagi, sambil melakukan kegiatan
itu, si Emak menyediakan benda-benda menyenangkan—buku-buku, kertas,
pensil, atau alat tulis lain. (Sangat multiguna, karena sambil buang
air besar kita bisa membaca, menggambar, menulis, bahkan makan!
Hahahaha ... :p)



Sejak bisa mengingat, saya
selalu senang jika orang dewasa di sekitar saya (orangtua, nenek, uwak,
atau kakak sepupu) menggambar dua jenis objek: teko dan keran. Sampai
sekarang juga saya menyukai bentuk teko, tetapi saya lebih menyukai
keran. Seiring waktu, kesukaan saya terhadap keran pun berkembang; saya
mulai menyukai kloset, wastafel, bathtub, shower, bidet, dan benda-benda lain di kamar mandi.



Karena
itu, saya mencoba untuk ikut ujian seni rupa, berharap diterima di
desain interior. Tapi, garis hidup menentukan kalau saya harus
berurusan dengan hal yang lebih besar lagi: alam semesta beserta
isinya. Mengecewakan memang, tapi, kecintaan saya terhadap kamar mandi
nggak bisa dibendung.



Mungkin, bagi
orang-orang yang mengenal saya, kecintaan ini hanya salah satu bentuk
keisengan untuk mengisi waktu, atau untuk menghabiskan kertas bukom
Himastron (sudah berapa bukom ya, yang saya gambari dengan gambar kamar
mandi?). Atau, hanya sebuah lelucon untuk menceriakan hari-hari penuh
kejenuhan, saat enam setengah tahun belajar konsep-konsep astronomi dan
rumus-rumus turunannya.



Tapi, bagi saya,
kamar mandi adalah ruh kehidupan. Kamar mandi adalah suatu penemuan
canggih dan berguna, yang bisa membuat manusia menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Kamar mandi adalah simbol hal-hal berguna yang seringkali
diabaikan, atau disimpan di belakang, dan tidak dianggap penting.



Di kamar mandi, manusia bisa membersihkan diri. Dengan bak dan gayung, shower, atau bathtub. Kloset
dan bidet berguna untuk mengeluarkan kotoran sisa metabolisme tubuh
manusia. Apa jadinya kalau tidak ada kamar mandi dan WC? Mungkin kulit
kita hitam penuh daki dan wajah kita ungu karena konstipasi. Atau, kita
terpaksa menggali di kebun belakang atau tanah kosong untuk melepaskan
hasrat terpendam. (Uh, pekerjaan ini begitu menyebalkan, terutama kalau
kita cuma bersenjata golok. Susah kan, menggali tanah dengan golok?
Lebih baik bawa sekop kecil hehehe)



Bagi
beberapa orang, kamar mandi bisa jadi sarana terapi yang menenangkan.
Bayangkan, setelah seharian terpanggang sinar matahari dan hawa panas
kota besar, betapa sejuknya masuk ke kamar mandi, mendengarkan
tetes-tetes air di bak yang menenangkan, dan menyiram tubuh dengan air
segar.



Kamar mandi juga bisa jadi sarana
hiburan—menyanyi atau membaca. Efek akustik yang dihasilkan kamar mandi
lebih glamour dibandingkan dengan ruang-ruang biasa. Suara kita akan
jadi lebih bergema, bagaikan menggunakan perangkat audio elektronik
(Sst… saya pernah mencoba bermain gitar di kamar mandi. Hasilnya oke
banget!). Membaca juga menjadi hiburan yang menyenangkan, asal kamar
mandi yang kita gunakan layak pakai (setidaknya, ada tempat untuk
menyelipkan bacaan setelah selesai buang air) dan kita cukup terampil
(mencari cara agar buku/majalah/tabloid/koran tidak basah terciprat
air).



Dan, yang paling mencengangkan dari
kamar mandi adalah … fungsinya sebagai tempat kontemplasi dan berpikir.
Begitu banyak perenungan yang bersifat introspektif dan ide-ide
cemerlang yang bisa muncul saat kita bengong sambil bertengger di atas
kloset. Saya sendiri mengalaminya—waktu akan sidang sarjana. Beberapa
hari sebelum sidang, saya tidak bisa menemukan pemecahan suatu masalah
(dan malu bertanya kepada dosen pembimbing. Yang bener aja, masa’
seminggu sebelum sidang baru nanya?). Sudah berhari-hari saya berpikir,
bagaimana bisa seperti itu? Karena apa?



Jawabannya
tiba-tiba muncul, pada pagi hari sebelum berangkat sidang, saat
bertengger di kloset. Rasanya bagaikan Archimedes, yang juga menemukan
jawaban atas pertanyaannya saat sedang berendam di bak mandi. Setelah
kejadian itu, kecintaan saya terhadap kamar mandi semakin bertambah.



Sampai
sekarang, saya suka membeli majalah interior hanya untuk mengumpulkan
foto-foto kamar mandi. Dan jika ada yang bertanya cita-cita saya apa,
jawabannya pasti: desainer interior khusus kamar mandi. Yah, setidaknya
khusus untuk kamar mandi di rumah saya sendiri kelak.


Jadi,
suatu saat, jika teman-teman menemukan sebuah rumah mungil dengan kamar
mandi besaaaaaar (kalau memungkinkan sih setengah dari luas rumah
adalah kamar mandi) dan nyaman, penuh buku dan majalah, dengan hiasan
bunga-bunga dan tanaman segar, bahkan ada gitar, mungkin itu adalah
rumah saya. Amiiiiiiin ….


Siksaan Batin Lebih Dahsyat daripada Siksaan Fisik

Sebetulnya, sejak mengisi formulir UMPTN, saya sudah tahu jika astronomi hanya menerima sedikit mahasiswa.Tapi, karena nggak menyangka sedikit pun akan masuk ke jurusan itu (karena milihnya juga dengan alasan: passing gradenya lebih rendah daripada arsitektur, dan nggak banyak kimia-nya), hal ini nggak begitu mengganggu pikiran.

Waktu pendaftaran ulang, saya juga belum merasa aneh dengan kondisi ini. Dari lima belas mahasiswa yang diterima, yang mendaftar ulang ada tiga belas orang. Baru terasa aneh ketika keluar dari GSG, karena anak-anak jurusan lain disambut oleh kakak kelas mereka. Malah ada beberapa yang setengah dikerjai dan setengah dipaksa. Sementara, nggak ada seorang pun mahasiswa senior yang meneriakkan “Astronomi!” di tengah hiruk pikuk penyambutan mahasiswa baru. Ya sudah, saya melenggang pulang dengan cuek.

Setelah beberapa saat kuliah, barulah kami mulai mengikuti program kaderisasi dan interaksi dengan Himastron. Biasanya dilakukan setiap hari Minggu pagi, sekalian olahraga.

Interaksi kami nggak seberat teman-teman jurusan lain. Lebih banyak game, simulasi, menyusun makalah, presentasi, dan yang paling dahsyat adalah: menggambar konstelasi yang dikenali pada malam hari. Saya masih ingat, jam dua pagi saya keluar rumah, ditemani si Papap yang memang hobi begadang, untuk menggambar rasi-rasi di langit. Boro-boro ketemu, namanya juga di kota, banyak polusi cahaya! Saat sedang bingung mencari-cari rasi yang saya kenal, seorang petugas ronda lewat dan bertanya, “Nuju naon, Neng?” Hahahaha … sungguh materi interaksi yang aneh!

Kebetulan, saat itu kaderisasi di ITB sedang bermasalah. Hasilnya angkatan di atas kami, ’96, belum dilantik jadi anggota Himastron. Akhirnya, interaksi kami digabung. Tetap saja, dua angkatan digabung nggak bisa mengalahkan satu angkatan jurusan lain. Kami hanya berlima belas orang, karena nggak semua ikut acara akhir dan pelantikan.

Meskipun hanya bersedikit dan fisik kami nggak begitu banyak digojlok, acara akhir itu terasa berat. Bayangkan, kami disuruh datang sore hari untuk upacara pelantikan, di pelataran belakang Himastron, labtek III lantai 4, di kampus ITB. Setelah itu kami disuruh pulang, tapi dibekali tugas: meresensi buku, mencatat isi Dunia Dalam Berita di TVRI, dan mencatat berita malam di RRI. Besoknya, kami harus datang jam 5 pagi. Waktu itu darah rendah saya agak kambuh, jadi setelah minta izin saya datang jam 7 pagi. Yang lain sedang berolahraga, jadi saya menunggu mereka kembali.

Setelah itu, mulailah materi-materi maraton—game dan segala macam simulasi kekompakan. Lokasinya bermacam-macam, kadang-kadang di Labtek Elektro, di Oktagon, dan di Perpustakaan Pusat. Saat pindah dari Oktagon ke Perpustakaan Pusat, kami harus memakai ponco dan berbaris. Padahal, saat itu tengah hari, cerah ceria, dan banyak mahasiswa yang berkeliaran! (Kalau dalam bahasa Spanyol sih kami menyebutnya “mentrang-mentring”:p) Ya ampuuun … plis duech. Gimana nasib pergaulan kami selanjutnya? Dan mulailah siksaan batin pertama.

Setelah selesai acara itu, sekitar jam 4, kami disuruh pulang. Hah? Disuruh pulang? Padahal habis maghrib kami disuruh kumpul lagi. Tanggung! Si Abang sampai bingung dan bertanya, “Kok ospeknya aneh banget sih? Pulang-pulang melulu!”

Waktu itu, saya menunggu-nunggu dengan penasaran, kok kami nggak dibawa ke lapangan sih. Padahal persiapan sih sudah lengkap di dalam ransel. Saya kira, inilah saatnya.

Eh, ternyata, kami hanya disuruh kumpul di pelataran depan Himastron, lalu disuruh berbaris. Kemudian, kami disuruh menghibur para senior! Pertama, kami melakukan usul Heri ‘96 untuk bernyanyi lagu anak-anak sambil menari. Setelah di-huuuuu oleh para senior, kami sepakat untuk mengganti atraksi. Iyam puisi, sementara kita bergerak-gerak di belakangnya membuat visualisasi puisi. Ya Tuhan … inilah siksaan batin berikutnya.

Setelah para senior sudah puas memarahi kami (meskipun garing sih:p), kami disuruh menutup mata, lalu dipisah-pisah. Oh, ternyata kami digiring berkelompok ke pos-pos yang ditempati oleh panitia dan swasta.

Pos satu ada di pintu jurusan, pos dua ada di pintu depan sekretariat Himastron, pos tiga di dalam sekretariat Himastron, dan pos empat di pelataran belakang Himastron.
Setelah melewati pos-pos itu, yang kebanyakan isinya hanya wawancara dan tanya jawab, kami disuruh berbaris lagi. Lalu kami dilantik.

Hanya ada seorang panitia yang menggebrak meja saat kami dinyatakan bisa dilantik jadi anggota Himastron. Tapi sungguh mengibakan, yang lain cuek beibeh!

Ya sudah, itu saja. Setelah itu kami disuruh pulang. Jadi kapan ke lapangan? Nggak pernah! Kami terlalu siap untuk kegiatan dan hukuman-hukuman fisik, juga tempaan-tempaan mental yang dahsyat. Tapi, kenyataan berkata lain. Ternyata, ketua Himastron saat itu nggak mau mengambil risiko bermasalah dengan jurusan dan rektorat.

Yang mengagumkan, anggota dua angkatan itu tumbuh dengan mental baja. Mungkin karena siksaan batin jauh lebih berat daripada siksaan fisik! Hahaha ….

(Aduh, sayang nggak punya foto-foto digital waktu acara akhir itu. Foto biasa sih ada, tapi di Himastron. Jadi, blog ini nggak bisa dilengkapi dengan foto-foto acara supergaring tea hekhekhek ...)