Senin, 15 Januari 2007

TIA

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Kembangmanggis
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 979-686-865-2
280 halaman


Dari semua buku remaja karya penulis lokal yang pernah saya baca, baik yang sudah sukses difilmkan maupun yang akan segera difilmkan, yang distempel “bestseller” atau dicap laku banget, nggak ada yang bisa mengalahkan satu buku ini dalam penilaian saya. Buku apa sih?

Judulnya singkat saja: TIA. Mungkin remaja-remaja jadul sempat tahu, karena buku tipis ini pernah diterbitkan di majalah HAI sebagai cerbung pada sekitar tahun 1985-an. Bukan berarti saya remaja jadul juga ya, malah belum lahir tahun segitu sih. Nggak ding, tapi saya sudah lumayan berakal lah (umur enam atau tujuh tahun) untuk bisa membaca dan mencerna sebuah cerbung dan menantikan lanjutannya setiap Selasa, setelah si Abang selesai membaca majalahnya. Setelah tahun demi tahun berlalu, saya sampai rela mengangkut koleksi majalah tuanya si Aq ke rumah, untuk memeriksa satu demi satu, apakah ada cerbung Tia atau nggak. Ternyata, penantian saya terjawab suatu hari, saat buku ini diterbitkan ulang pada tahun 2002, setelah pernah diterbitkan sebagai buku pada tahun 1985. Tujuh belas tahun!

Apa sih yang menarik dari buku ini? Kok bisa segitunya saya menantinya? Pertama, buku itu betul-betul membawa sebagian hati saya ketika masih kecil. Yang kedua, baru isi bukunya. Dibandingkan dengan kisah-kisah remaja masa kini yang serbamodern, ideal, dan bagaikan mimpi, TIA hadir dengan segala kewajarannya. Tokoh, setting, peristiwa, betul-betul mungkin terjadi dalam kehidupan nyata (meskipun mungkin saja ada tokoh-tokoh buku lain yang mungkin ada juga dalam kehidupan nyata—meskipun saya ragu apakah betul seideal itu).

Kisah dalam buku ini sederhana saja, tentang Tia, seorang gadis remaja kelas 2 SMA, berusia enam belas tahun, yang sebentar lagi berulang tahun ketujuh belas dan bertanya-tanya, apakah dia sudah bisa dibilang dewasa atau belum. Dia adalah anak tunggal yang manja, lugu, badung, suka ngambek, sayang binatang, dan kapten tim voli sekolahnya. Lalu, Tia bertemu dengan seorang teman sepupunya (yang tinggal di paviliun rumahnya), Dion yang ganteng, cerdas, tapi playboy. Mereka sempat berpacaran, sebelum akhirnya terpisah karena kesalahpahaman dan akhirnya bertemu kembali. Sederhana kan? Bahkan memang agak klise.

Tapi di tangan Kembangmanggis, kisah sederhana ini dipoles dengan sangat menarik lewat penggambaran karakter tokoh, setting, dan penceritaan. Ada karakter Tia dan Dion, juga ada Fira, sahabat Tia yang pintar tetapi blo’on (lho?). Ada ibu yang tergila-gila etika dan sopan santun, serta ada ayah yang humoris dan Arifin, saudara sepupu Tia yang sangat sayang kepada adik sepupunya ini. Suasana kota Bogor juga diceritakan secara indah, mulai dari rumah Tia yang berpaviliun selayaknya rumah-rumah tua, sekolah Tia yang kuno, luak yang masih bisa bersarang di antara rimbunnya pepohonan Kebun Raya Bogor, tukang asinan, sampai hujan kapuk yang romantis. Tidak ada kata-kata muluk yang berat, hanya ada pengungkapan jalan pikiran seorang gadis remaja yang berusaha keras untuk bisa disebut dewasa.

Satu-satunya kekurangan buku ini hanya alur yang melompat di dekat akhir kisah, yaitu saat Tia melanjutkan kuliah ke Bandung dan betul-betul berpisah dari Dion. Entah mengapa, Kembangmanggis menyingkat bagian ini dan tidak menceritakannya secara lebih dalam, sehingga pembaca tidak tahu bagaimana pergulatan emosi Tia selama beberapa tahun itu.

Selain TIA, Kembangmanggis sendiri pernah menulis juga sebuah buku berjudul Burung-Burung Kecil, yang sempat mendapat penghargaan sebagai novelet terbaik majalah Femina. Sang penulis yang alumnus FSRD ITB dan—tentu saja—sudah tidak remaja ini sempat muncul di televisi, sebagai pengusaha restoran dan kafe pai apel dan makaroni panggang di kota Bogor. Selain itu, namanya juga pernah tercantum sebagai aktivis saat kuliah pascasarjana Filsafat UI.

Saya nggak tahu, apakah Kembangmanggis masih menulis atau tidak. Tapi menurut saya, dia adalah salah seorang penulis bagus di Indonesia, yang bertutur dengan gayanya sendiri yang lugas dan realistis. Mudah-mudahan sih Kembangmanggis berkarya lagi.

Satu lagi, mudah-mudahan buku ini suatu saat bisa difilmkan, dengan setting kota Bogor yang romantis hehehehe ….