Kamis, 31 Juli 2008

Selamat Jalan, Surti Sayang ....

Hari ini adalah hari terakhir saya bersama si Surti ….

Surti telah bersama saya delapan tahun, menemani saya ke Bosscha bersama si Nata untuk mengerjakan TA, menjadi pemandu di Observatorium, dan ikut kuliah Materi Antar Bintang. Seringkali ikut menginap bersama saya di kampus, kedinginan di pelataran TI. Juga seringkali menjadi incaran favorit teman-teman saya, terutama Dyno.

Surti yang manis, yang setia mengantar saya, si Emak, si Aq, dan banyak teman saya, tanpa pernah memprotes. Menemani saya pulang tengah malam dan dini hari, tanpa pernah ada masalah.

Surti juga sempat menemani saya dan si Aq ke Cicenang, Ciater, Citarum, dan ke kaki Gunung Burangrang. Pernah juga masuk sedikit ke jalanan menuju Situ Lembang yang berbatu, syukurlah tidak sampai Cicaruk.

Surti juga menderita ketika saya dan si Aq jatuh di Jalan Cihapit sewaktu hujan deras dan jalan licin. Ia juga terluka saat saya diserobot motor nakal di perempatan Jalan Suci - Gasibu, sebelum masuk kantor. Ia juga kesakitan menabrak roda truk ketika saya tergelincir karena menginjak rem belakang terlalu tiba-tiba, di Jalan Cimareme, menuju ke Situ Ciburuy.

Surti yang selama delapan tahun hanya beberapa kali mogok, itu pun karena saluran bensinnya tertutup tanpa sengaja, atau lupa membeli bensin. Meskipun rodanya lumayan sering bocor, tetapi ia begitu tangguh.

Oh, Surti, si hitam legam, mengapa banyak sekali nama tempat yang berawalan Ci- yang saya datangi bersamamu? Hihihiii ….

Yah, Surti sekarang berpindah tangan ke seorang pemilik baru dari Jalan Bungur. Dan kepergiannya tidak sia-sia, karena ia berkorban demi kenyamanan saya, yang sudah seringkali sakit punggung karena terguncang-guncang shockbreakernya yang keras.




Meskipun nanti ada gantinya, saya tidak akan pernah melupakan Surti. Tidak sedetik pun. Surti, aku padamu … dirimu makin ….


Keterangan foto atas: Surti di depan pos satpam SMAN 2 Bandung, saat pemiliknya sedang bertemu teman-teman SMA.

Keterangan foto bawah: Surti dan pemiliknya sang wanita "Jawa" di Cicenang, saat menunggu anak-anak longmarch pulang ke Bandung.

Rabu, 23 Juli 2008

Ada yang Joged di Balik Jendela .... SINTING!

Ini sambungan dari seminggu yang bikin nggak waras.

 

Ketika sampai ke TKP, hal pertama yang saya rasakan adalah … kebelet pipis! (Sebetulnya dari didandanin juga udah kerasa sih, tapi tanggung … hahaha) Dan sialnya, kamar mandi di rumah Hegarmanah yang dalam nggak bisa digunakan, jadi harus ke rumah putih yang ada di belakang.

Setelah lega, saya disuruh masuk ke sebuah kamar untuk menunggu akad nikah. Ceritanya sih dipingit, tapi kamar itu berjendela besar sekali, dan saya bisa melihat rombongan si Aq datang, hahahahaaa …. Tapi sayang, waktu lagi dadah-dadah dari jendela sama Deni Agam—teman si Aq yang ikut motret—kepergok sama tante-tante saya, jadi jendelanya ditutup.

Sewaktu sedang menunggu akad nikah, si Opie, sobat saya dari SMP, muncul. Ternyata, saya harus menunggu agak lama di dalam kamar karena ada sambutan yang agak panjang dari keluarga saya (si Papap) dan keluarga si Aq (diwakili saudaranya). Setelah beberapa menit, akhirnya saya diizinkan keluar dan disuruh duduk di sebelah si Aq yang baru cukur kumis dan jenggot (Makanya, mulai dari keluar kamar sampai duduk di sebelahnya, saya selalu cengar-cengir, karena sejak dulu selalu merasa aneh kalau si Aq cukuran, hahahahaaa).

Si Pengantin yang Pecinya Selalu Miring dan Baru Cukuran

Selama ini, saya sering melihat orang-orang menangis terharu saat rangkaian akad nikah. Tapi, kok saya nggak ya. Apalagi waktu acara “habla-habla” sebelum akad nikahnya. Yang saya rasakan cuma sesak—memaksa saya untuk tetap duduk manis dan tegak—karena nggak biasa memakai korset.

Awalnya sih agak jaim, tapi lama-lama, mata saya jelalatan ke seluruh penjuru ruangan. Sialnya (atau untungnya?) di hadapan saya dan si Aq yang duduk berdampingan, di belakang penghulu dan si Papap, ada jendela besar. Orang-orang bisa menonton akad nikah dari luar jendela.

Mertua yang Pecinya juga Selalu Miring

Nah, di jendela itu, tampak dua sobat saya dari SMP juga, si Tinot dan si Achy. Si Achy—yang mirip Alia Rohali tapi makannya banyak hihii—sih tampak serius mencari-cari seseorang, pasti mencari si Opie yang sudah duluan di dalam. Dia juga terlihat smsan—pasti sms si Opie juga. Di sebelahnya ada si Tinot, seorang oknum ibu-ibu PNS Pajak yang sebetulnya belum ibu-ibu. Awalnya sih dia cuma senyum-senyum dari balik jendela, dan saya balas senyum-senyum lagi.

Lalu, lama-lama semakin parah—dia menjulur-julurkan lidah. Waks, sudah berusaha menahan diri agar tetap jaim, eh … nggak tahan juga, saya balas menjulurkan lidah. Padahal, di hadapan saya dan si Aq, keluarga besarnya si Aq duduk dan menghadap ke arah kami. Mungkin mereka sempat bingung, kenapa ini calon istrinya Dindin tiba-tiba nyengir dan menjulurkan lidah? (Tapi untung nggak ada yang protes, hahahaaa)

Ritual sebelum akad nikah terus berjalan, dan si Tinot tenang kembali. Si Aq sempat bisik-bisik, tangannya basah terus. Untung saya dibekali tisu oleh tante saya, mungkin untuk menyeka air mata—kalau-kalau saya menangis terharu. Eh, jadinya malah habis diminta si Aq (diam-diam, di bawah meja, hihiiii).

Setelah beberapa saat menunduk, saya mendongak lagi dan duerrr … di balik kaca jendela, si oknum PNS berbaju putih itu joged. Dasar sinting, saya hampir tidak bisa menahan tawa. Padahal akad nikah akan segera berlangsung, karena sudah ada yang memasangkan kerudung di kepala saya dan si Aq.

Tapi syukurlah, ketika akad nikah dimulai, oknum itu menghilang dari balik jendela. Eh, tapi dia muncul di dalam ruangan. Untungnya, karena di dalam ruangan banyak saudara, dia sedikit jaim (walaupun patpatnya sempat ditusuk oleh tante saya, karena badannya gede tapi nutupin tante-tante, hahahahaaaa).

Akad nikah berlangsung dengan kilat, tanpa diulang, meskipun suara si Aq gemetaran. Tangannya juga gemetar waktu mau tandatangan buku nikah dan berkas-berkas, sampai diledek oleh si Papap hihihiiii ….

Tangan si Aq masih gemetaran juga, hihihiii

Setelah itu, acara berlanjut dengan sungkeman. Sebetulnya, saya dan si Emak sudah khawatir dengan acara ini, karena banyak yang nggak bisa menahan haru. Saya sih nggak ingin menangis, karena wajah saya cenderung bengkak dan merah-merah dalam waktu lama setelah menangis. Tadinya sudah minta ke tante saya yang ngatur acara, supaya acara ini diskip saja, hihihiii … tapi permohonan saya ditolak, katanya, tenang saja, percayakan kepada Yonie untuk menyulap hidung merah dan mata bengkak supaya tetap segar.

Tapi ternyata, sungkeman juga nggak terlalu mengharukan. Soalnya, pertama, saya dan si Aq pasti harus numpang dulu di rumah ortu kami—karena si Aq anak tunggal, ibunya tinggal sendirian, dan saya juga anak “tunggal”, karena si Abang nggak tinggal di rumah. Jadi, pamitan juga nggak serius-serius amat, toh pasti kami pulang lagi ke rumah, hihihiiii …. Yang kedua, soalnya terpaksa harus sungkem kepada si Abang yang cengengesan dengan jenaka. Gimana mau terharu, dia cengar-cengir dengan ekspresi meledek waktu saya sungkeman (si Aq juga pasti ngerasa aneh harus sungkem sama teman TK-nya, hahahahaaaa).


Bagaimana Bisa Terharu Kalau Harus Sungkem kepada Orang Ini?


Jadi, kata siapa akad nikah harus bertangis-tangisan? Tentu tidak. Apalagi, kalau dihadiri oleh seorang oknum PNS yang joged di balik jendela. Dasar sinting!


Ini dia geng SMP: baju putih berselendang si ibu-ibu oknum PNS, lalu neng Nobi, dan di sebelah kiri saya duplikat Alia Rohali yang makannya banyak.

Sabtu, 05 Juli 2008

RARA MENDUT: SEBUAH TRILOGI

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Y. B. Mangunwijaya
Betapa kuasa seorang raja manusia bisa membuat kehidupan banyak orang menjadi porak poranda. Tidak hanya raja yang sebenarnya, tetapi juga raja-raja kecil di sekelilingnya. Alangkah mudahnya merenggut kebebasan seseorang yang awalnya merdeka, bahkan mencabut nyawa seseorang hanya demi kehormatan, kedudukan, atau sekadar ego dan nafsu manusia.

Rara Mendut adalah salah satunya. Gadis pantai jelita yang menganggap lautan luas adalah taman bermainnya direnggut begitu saja oleh kekuasaan seorang Adipati Pragola. Dan dia harus bernasib sebagai harta rampasan, ketika Tumenggung Wiraguna, panglima tua Kerajaan Mataram, menaklukkan sang Adipati yang dianggap memberontak dan membawanya ke ibukota kerajaan Mataram. Mulailah kehidupan Mendut sebagai hiasan Puri Wirogunan.

Mendut berusaha mencari akal untuk mengulur-ulur waktu agar tidak diperistri oleh sang Tumenggung. Ketika menjual lintingan tembakau untuk membayar “upeti” yang diminta Tumenggung sebagai syarat, dia bertemu dengan cinta sejatinya, Pranacitra, seorang pemuda dari Pekalongan. Tetapi, nasib sepasang kekasih itu berakhir tragis. Keris Tumenggung Wiraguna sendiri yang mengakhiri nyawa keduanya.

Kesedihan mendalam karena kehilangan Mendut dirasakan oleh Genduk Duku, dayang sekaligus sahabatnya. Terlahir dari ayah yang berasal dari Bima, terkenal sebagai penakluk kuda, dan ibu dari kalangan puri, Genduk Duku tumbuh menjadi seorang gadis perkasa yang pandai pula menaklukkan kuda. Dia lebih beruntung daripada Mendut, karena menikah dengan pria pilihannya sendiri.

Tetapi, seperti umumnya perempuan Mataram saat itu, hidupnya pun pahit. Suaminya tercinta juga tewas di tangan sang Tumenggung Wiraguna. Sama seperti Mendut dan Pranacitra, nyawa-nyawa terenggut hanya karena nafsu dan rasa malu sang Tumenggung. Genduk Duku terpaksa membesarkan putrinya, Lusi Lindri, sendirian.

Ketika Lusi Lindri beranjak dewasa, dia dititipkan di puri Tumenggung Singaranu. Karena kegagahan dan keluwesannya, ibunda raja Mataram tertarik untuk mengambilnya sebagai anggota Trinisat Kenya, pasukan elite perempuan yang bertugas sebagai pengawal pribadi sang raja, Sunan Amangkurat I. Tetapi, ternyata dia bertemu dengan seorang lelaki perwira pemberontak yang akhirnya menjadi suaminya. Mereka mengungsi ke pegunungan untuk bersembunyi dari kejaran prajurit Mataram.

Tiga perempuan itu yang menjadi tokoh utama trilogi Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, yang berdasarkan kisah dalam Babad Tanah Jawi dan sumber-sumber lain. Dan ada juga tokoh-tokoh perempuan lain dalam kisah ini, seperti dua perempuan perkasa, Nyai Singabarong—perempuan saudagar ibu kekasih Mendut, Pranacitra—dan Bendara Eyang Pahitmadu, kakak perempuan Tumenggung Wiraguna yang bersimpati kepada Mendut dan sempat melindungi Duku beserta suaminya.

Rama Mangun yang lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929, menuliskan kisah ini dengan mengalir. Meskipun tebal, karena tiga buku dijadikan satu, Rama Mangun bisa membuat para pembaca untuk terus melanjutkan membaca, karena penasaran akan nasib para perempuan perkasa tersebut. Sayang sekali, masih ada beberapa kesalahan ketik—yang meskipun tidak fatal, tetapi cukup mengganggu—terutama di buku Lusi Lindri. Selain itu, banyak sekali catatan kaki yang sebetulnya tidak terlalu penting, karena istilah-istilah tersebut—meskipun dalam bahasa Jawa—sudah lazim dikenal dalam bahasa Indonesia. Tetapi, secara keseluruhan, buku ini layak untuk menjadi koleksi.


Jumat, 04 Juli 2008

Ada Telepon dari si ANSWER

Setting 1: di sebuah tempat lapang, bukan bengkel, tapi di tempat itu sedang ada mobil Land Rover yang sedang dibongkar. Si Bos yang sedang membongkar mobil, anak-anak buahnya membantu.

Bos: Ambilin kunci tujuh belas.

Salah seorang anak buahnya pergi dengan kebingungan, mencari kunci tujuh belas.

Bos: Lama-lama amat sih!

Anak buah: Iya bos, tenang.

Akhirnya si anak buah kembali.

Membawa TUJUH BELAS BUAH kunci untuk ngebengkel!

 

Setting 2: di rumah seseorang, bukan bengkel juga, dan juga ada sebuah mobil Land Rover juga yang sedang dibongkar. Yang ngebengkel sih segelintir, tapi penggembiranya banyak.

Yang ngebengkel: Tolong euy, kunci inggris!

Salah seorang penggembira berinisiatif menolong. Dia berjongkok lama di dekat kotak perkakas.

Penggembira: Nggak ada.

Yang ngebengkel: Ada!

Penggembira: Nggak ada, ada juga yang MADE IN CHINA!

Ah … hahahaa ….

 

Setting 3: di rumah seseorang, masa-masa HP belum seumum saat ini. HP milik seseorang berdering. Temannya yang mendengar.

Si teman: Hei, ada telepon!

Pemilik HP: Ti saha? (dari siapa?)

Si teman: Ieu buru, aya telepon ti si ANSWER! (ini cepet, ada telepon dari si ANSWER!)

Hahahahahahhahaaaaa ….

 

Semua itu adalah kejadian nyata, akibat berbelas-belas tahun bergaul dengan orang-orang sinting.

Gambar entah dari mana, si Aq yang download, udah ada di my documents, hihihii