Minggu, 23 Desember 2007

Aku, Saya, Gua, Urang, Dewek ....

Akhir-akhir ini ada seseorang yang pernah mempermasalahkan, mengapa saya memakai kata “saya” kalau menulis?

Jadi ingat waktu masih jadi tapol Cinambo. Dulu, di redaksi Qanita ada perdebatan yang lumayan seru—tentang “aku” dan “saya”. Ceritanya, ada seorang penerjemah senior, Bu Rahartati (penerjemah Asterix dan The God of Small Things), yang menerjemahkan buku Qanita, Snow Flower. Buku ini dikisahkan dari sudut pandang orang pertama, yaitu seorang tokoh gadis Cina zaman dulu yang bernama Lily. Bu Rahartati ini keukeuh menerjemahkan “I” menjadi “saya”. Sementara, kami-kami para kru redaksi, merasa lebih enak jika kisah naratif menggunakan “aku”. Alasan kami, pemakaian kata “aku” terasa lebih akrab dibandingkan dengan “saya”. Sementara, alasan Bu Rahartati, sang tokoh yang bercerita dengan gaya naratif ini masih berjarak dengan pembacanya, dan tentu saja dengan orang yang nggak begitu kenal kita akan memilih menggunakan “saya” dan “Anda”, bukan “aku” dan “kamu”.

Akhirnya, Mamah Antie yang dulunya editor Qanita memutuskan untuk mengikuti saja kehendak Bu Rahartati, menggunakan kata “saya” untuk Lily sang narator. Ternyata hasilnya tetap enak dibaca juga. Meskipun mungkin jadi agak berjarak dengan para pembacanya. Tapi nggak tahu juga sih, itu tergantung para pembacanya sendiri.

Lalu, mengapa saya memilih memakai “saya”, bukannya “aku”?

Begini, sejak kecil sampai sekarang, sebetulnya saya lebih nyaman menggunakan kata “saya” untuk menyebut diri sendiri (kecuali kalau ke orang-orang yang memanggil saya “Adek”, lebih nyaman menyebut “Adek blablabla …”). Kalau nggak, ya sekalian “urang”, karena kebanyakan memakai bahasa Sunda sehari-hari kalau sama teman.

Sementara, kata “gua” atau “gue”, terasa sulit sekali diucapkan. Entah kenapa, padahal anak-anak Bandung juga banyak yang ngomongnya “gue-elo”. Si Antjheu juga ngomongnya gitu, bahkan Mami-nya si Antjheu juga, hihihii …. Tapi memang dia sering diledek sih, kalau misalnya keceplosan, “Gua mah hayang ngabaso,” atau sesuatu yang seperti itu (haha … ongkoh gua, tapi hayang ngabaso). Tapi kadang-kadang sih, saya ber-“gue-elo” juga, tapi jarang banget. Ya karena nggak terbiasa aja, soalnya lingkungan sekitar juga nggak banyak yang begitu.

Sampai SMA, saya masih ber-saya dan ber-urang. Tapi, begitu masuk kuliah (di astro, soalnya dulu di Unpar saya hanya punya segelintir teman, hihihii), kok banyak orang Jawa, Sumatra, dan Sulawesi ya, yang ber-aku-aku. Terus, mereka menganggap kata “saya” itu sopan sekali, malah jadi kagok. Akhirnya, jadilah ketularan ber-aku-aku. Apalagi sekarang semakin ngetren gara-gara sinetron. Yang menyebalkan mah ada dua teman saya, satu orang Malangbong (tetangganya Mulan Kwok), satu lagi orang Majalaya, kalau lagi curhat serius ngomongnya ber-aku-aku gitu, padahal kalau sedang gogonjakan mah ngomongnya ber-urang-urang, hahahahahahaaa! 

Masuk kantor, ya begitu lagi, banyakan yang ber-aku-aku juga. Kecuali Teh Nunung dan Mbak Dhias, yang konsisten menyebut dirinya “Nunung” dan “Dhias”. Dan setelah gelombang Suze Antie masuk bersama Nenk Epay dan CCRNC (Ceuceu Rien-ceu, maksudnya), ada teman yang juga ber-saya-saya (si Nenk Epay dan CCRNC itu, soalnya dua-duanya orang Bandung).

Tapi sekarang, ternyata makin banyak serangan kata “aku” itu. Jadi, saya biasanya baru memakai kata “saya” kalau ngobrol dengan teman-teman lama yang memang sudah kebiasaan ber-saya-saya. Karena itu, sebetulnya nggak perlu heran apalagi sampai mempermasalahkan, toh itu sudah menjadi kebiasaan yang nyaman. Sekarang pun, mengobrol ber-aku-aku juga sama nyamannya. Tapi, ber-gua-gua belum senyaman ber-aku-aku.

(Bukan … bukan gara-gara saya menganggapnya terlalu Jakartaan atau kekota-kotaan. Biasa aja. Legian, saya pernah main ke daerah Cikotok di Kabupaten Lebak – Banten sana, dan teman saya bertanya kepada seorang bapak, “Pak, upami ka Halimun ka palih mana jalanna?” “Kin, ku GUA dianteur!” hihihihiiiii …. Sudah sampai ke pelosok desa, kan? Yah, mungkin bilang “gua” sama nggak nyamannya dengan bilang “I” atau “eike” gitu :p)

Tapi, ada satu teori menurut Nenk Epay. Katanya, yang suka ber-saya-saya itu orang Bandung, sementara yang suka ber-aku-aku orang Cimahi. Kalau begitu, pantas saja, karena saya selalu tinggal di Kodya Bandung, bukan di Kotif Cimahi, hahahahaha … (Bagi orang-orang Cimahi, jangan pundung. Nggak tau tuh, itu teorinya si Nenk Epay. Saya mah nggak tau menau ya. Teuing ah. Hihihihiii)

Jadi, sebetulnya nggak perlu dipermasalahkan bukan, aku, saya, dan gua? Suka-suka orang, tergantung nyamannya, betul kan? (Oh, kalau masih dipermasalahkan juga, saya akan menggunakan kata DEWEK saja, sebagai penghormatan bagi leluhur saya yang dari Banten, hahahahaaa)

Keterangan Foto:

Itu foto dewek waktu lagi kecil, udah keren kan ...

Minggu, 02 Desember 2007

Lukisan yang Mengerikaaann!






Minggu lalu, hari Selasa, saya dan Suze Antie diundang untuk menghadiri konferensi pers peringatan 25 tahun Mizan, di R.M. Shinta, depan RRI. Yah, meskipun acara itu sebetulnya hanya makan-makan bagi kami (mungkin kami diundang karena mereka pesan makanannya terlalu banyak, hahahahaaaa).

Karena hari itu termasuk dalam rangkaian 1 tahun menjadi anytime girls, jadi kami bermaksud pergi ke PVJ setelah acara selesai. Tapi sebelumnya, kok pengen ke belakang dulu ya? Ya sudah, daripada ngompol di jalan, lebih baik dilampiaskan di sini saja, mumpung masih ada WC.

Begitu masuk, menutup pintu, membuka celana (ya iyalah ...) dan duduk di kloset, DUG! Tiba-tiba jantung saya berdetak kencang, karena suatu pemandangan di balik pintu. Lukisan seorang perempuan! Tapi, ekspresinya nggak jelas. Legian, ditempelnya tepat di depan kloset.

Jadi, bagaimana menurut teman-teman, melihat ekspresinya yang mengerenyit aneh itu:
1. Apakah perempuan itu mulas-mulas karena diare?
2. Apakah perempuan itu malu karena kepergok sedang telanjang?
3. Apakah perempuan itu baru saja mengalami pelecehan seksual?
4. Apakah perempuan itu memang ekspresinya dari sananya begitu?
5. Apakah perempuan itu mulas-mulas karena mau melahirkan?
6. .... dst, isi sendiri.

(Tapi ya, kalo tiba-tiba mulas saat tengah malam dan pengen kiss-kiss bang bang, serem banget kalo yang nemenin lukisan itu, hihihiiii)

Oiya, pertanyaan tambahan, siapakah nama yang cocok untuk perempuan tersebut?
1. Nyi Uneh
2. Nyi Enok
3. .... dst (isi sendiri)
(yang jelas bukan Nyi Romlah, karena Nyi Romlah sudah memiliki wajah sendiri)

Jumat, 30 November 2007

TIANG RATAPAN, Peringatan 1 Tahun Menjadi Anytime Girl




Satu tahun sudah saya menjadi anytime girl ... (bersama Suze Antie, teman mengikik di pojok ruangan kantor). Meskipun nggak anytime-anytime amat sih, kadang-kadang nggak bisa pergi kalo ada urusan atau lagi piket jawa (jaga warung).

Untuk memperingatinya, ini adalah foto tiang ratapan di depan meja saya di kantor dulu, yang berisi foto-foto manusia yang sudah (dan akan, waktu itu) menjadi ex-tapol Cinambo (meskipun ada yang balik lagi, itu lho ... yang jadi covergirl majalah Playboy di sebelah Sitorus, si Bulek, hihihiii)

Senin, 05 November 2007

Tiga Belas (minus dua) Bocah Tua Nakal ...


Tanpa Ketut, Yana, dan Farkhan

Yah, ini memang bocah-bocah tua nakal, angkatan paling berandal di astronomi, karena prestasi-prestasinya yang membanggakan: satu menghilang dan dua orang pindah ke universitas lain waktu taun kedua, enam dari sepuluh orang kasus sarjana muda, hanya satu orang yang lulus tepat waktu dan IPK-nya di atas tiga, dua oknum dikejar-kejar oleh dosen pembimbingnya (bukan ngejar-ngejar, hehe), ada yang pernah menipu dan mengentuti profesor (yah, memang tanpa sengaja sih kentutnya, tapi tetep aja ... dasar gelo)

Kisah tentang makhluk-makhluk berandal ini bisa dibaca di SINI

Oiya, keterangan foto yang latarnya hijau:
ATAS dari kiri: Ical (yang gondrong), Zaid, Udin
TENGAH dari kiri: Iyam, Tya, Lia, aku
BAWAH dari kiri: Nata, Ina, Vivi

Foto kedua minus Neflia, foto ketiga itu si Ketut, oknum Bali-Tanjungsari tapi berlogat Prabumulih.

Di foto keempat masih ada foto Yana, di belakang si Nata Pehul yang masih pake jilbab, hihihiii .... (karena kulitnya hideung ya maaf, nggak jelas hehehe)

Senin, 22 Oktober 2007

Disfunctional Family


Lupa taun berapa ... kalo nggak salah si Abang masih SMP, rumah masih di Sukahaji

Keluarga yang aneh ... hanya si keren ini yang paling normal dan waras.

Minggu, 19 Agustus 2007

Oh ... si Oranye yang Kucinchaiiiii ...

Mending kalo ditimpuk HP beneran, ini ... ditimpuk bohongan, huuuu ... tapi ya sudahlah, daripada sakit sendiri ditimpuk Kobo di sini, lebih baik nimpuk orang lain juga.

1. Tipe dan Merk HP
Siemens M65, yang katanya antidebu, antiair (cipratan doank), dan antibanting (tapi kalo ada yang sengaja ngebanting, gaplok ku aing! hahaha), dibeli taun 2005

2. Fasilitas 3G
Nggak ada duonkkkkk ... (dengan bangga, hahahaha)


3. Wallpaper
Gambar orang naik sepeda gunung samar2, default dari sononya (males ngeganti-ganti sih, hahahaha)

4. Nomor
Simpati, sejak taun 1998 sampe sekarang nggak ganti-ganti, mau upgrade ke Halo tapi tanggung, nunggu bisa diupgrade ke Halo Hybrid ajah. Tapi karena nggak ganti2 dan gampang diinget itu, jadilah sayah ini pusat informasi (ditambah dengan sedikit sifat embey bocoy juga sih, dewa segala tahu, hahaha)

5. SMS terakhir

Dari T' Nuy, nanyain jurnal

6. Spesifikasi
Yah ... udah disebutkan di atas. Nggak ada 3G, antiair, antidebu, dan antibanting. Pernah kehujanan, pernah kebanting, tapi belum pernah kecemplung, hehehehe

7. On/Off
24 jam nyala, kecuali ... tiba2 abis batre lagi di jalan atau lagi tidur dan baru nyadar pas udah bangun, dan kalo lagi males ditelepon seseorang (hihihi ... jarang banget tapinya)

8. Letak HP
Di tas, di meja, di rak, di dalam bungkus abu-abunya yang bertempel secarik kertas 100% happy, di tempat tidur, di kamar mandi, ah, bisa di mana ajaaa

9. Batere
udah ngedroppppp ... meskipun nggak parah2 amat.

10. Catatan
rekening sendiri, rekening orang lain, catatan utang/piutang warung, catatan2 kecil lain (misal: harus beli sabun cuci piring, lap pel, dll), dll

Nah ... sekarang giliran nimpuk orang lain! (anggota RSJ udah ditimpukin semua yak? Hahaha)
1. Timpuk T' Peni
2. Timpuk Na'
3. Timpuk Boit

ah sudahlah, tiga saja, laki-laki perempuan sama saja, hidup KB!

Sabtu, 11 Agustus 2007

Mars Sebesar Bulan Purnama? Tetowwww! Ternyata itu BOHONG. Tolong Disebarkan ke Seluruh Penjuru Dunia

Sebetulnya berita ini sudah beredar sejak beberapa tahun yang lalu, dan selalu muncul menjelang atau pas bulan Agustus.

Betul nggak Mars bisa tampak sebesar bulan purnama?
TETOWWWW ...
Ternyata, nggak bener.

Tapi, karena saya sudah jadi astronom murtad, biarkan teman-teman saya yang astronom taubat atau astronom istiqomah saja yang menerangkan, hikhikhik ...

Tulisan yang mengcounter hoax ini bisa dilihat di LANGIT SELATAN DOT COM atau di blog PAK MUTOHA, seorang astronom amatir yang lebih jagoan daripada astronom murtad, hikhikhik ... atau juga di blog PINAH si rambut besar, atau tulisannya PAK T.DJAMALUDDIN, alumnus astro yang sekarang kerja di LAPAN, dan juga tulisannya VIVI.


Selamat membaca, dan tolong sebarkan ke seluruh dunia yak. Terima kasih buanyak ...

Selasa, 31 Juli 2007

Merek yang Mengerikaaan!




Suatu hari, si Papap pulang sambil membawa beberapa bungkus buah tangan dari mahasiswanya, orang Cililin. Ternyata, wajit dan angleng. Saya nggak tahu apa bedanya wajit dan angleng. Katanya sih berhubungan dengan kelapa yang dicampurkan ke dalam adonan atau semacam itu.

Yang mengejutkan adalah mereknya. Ya ampyuuun ... jadi ingat Suzanna, idola saya! Ini dia fotonya. Sengaja nggak ditutupin alamat dan segala macamnya, anggap saja sekalian mempromosikan Wajit Asli Cililin "Cap Potret", melestarikan makanan tradisional, hikhikhik ...

Jumat, 06 Juli 2007

Si Kuping Panjang!

Peristiwa ini terjadi dua hari yang lalu sih, tapi saya baru sempat menuliskannya sekarang. Waktu itu, saya dan Suze Antie sedang menjalankan ritual kami—makan-makan, lalu hotspotan bersama, dan ceting sebelahan hehe …. Seperti biasa, tempat hotspotan kami adalah Ngopi Doeloe yang di belakang Borromeus.

Karena sebelum-sebelumnya posisi kami selalu di meja makan, kali ini kami sepakat mencoba sofa (meskipun posisinya serba salah—bungkuk pegal, duduk di bawah atau jongkok nggak nyaman, dan kalau laptopnya dipangku … panas!) dan duduk bersebelahan. Di sebelah kiri Suze Antie, ada seorang ekspatriat. Di sebelah kanan saya, ada seorang ibu.

Setelah beberapa waktu, si bule berdiri. Si ibu sebelah saya juga siap-siap pergi (ternyata mereka saling mengenal—apakah mungkin mereka juga ceting sebelahan seperti kita ya, Suze? Hohoho …). Sofa sebelah kiri Suze Antie sih berapa kali berganti penghuni, tapi, yang sebelah kanan saya, tetap dikuasai oleh satu pasangan.

Dasar kuping kami ini panjang, ya kedengaran lah apa yang mereka bicarakan. Bukan maksudnya nguping, tapi pasangan di sebelah kanan saya ini suaranya keras. Apalagi si cewek. Awalnya sih, percakapan terdengar biasa saja. Tapi lama-lama … semakin memanas.

Awalnya, si cowok membuka laptopnya, lalu tampaklah perangkat presentasi. Ow, mungkin doi mau sidang. Dugaan ini diperkuat oleh komentar-komentar galak si cewek terhadap perkataan si cowok. Latihan presentasi rupanya. Wajar sih, kalau mau sidang kan harus siap dengan pertanyaan-pertanyaan tajam dan komentar-komentar galak.

Tapi, ternyata di sela-sela latihan, terseliplah komentar-komentar atau perkataan-perkataan galak si cewek yang nggak berhubungan dengan presentasi. Seperti, “Jadi kausebut dirimu ini S2?” dan “Aku tuh udah kerja dobel, ngurusin ginian, ngurusin kamu!” dan “Cuci tanganmu! Lalu lap pake tisyu!” dan lain-lain. Si cowok sih diam saja, nggak membantah atau membalas.

Omigod. Dosa apa aku dan Suze Antie, sampai harus mendengarkan perbincangan domestik seperti ini? Dan mulailah kami cekikikan sambil ceting … seperti yang biasa kami lakukan di kantor dahulu kala … jemari sibuk mengetik, tertawa tertahan, lalu cekikikan bersama … mengikuti suri teladan pujaan kami, bintang film horor legendaris, Suzanna ….

Seperti biasa, dipicu oleh keadaan nggak normal sedikit saja, otak kami berputar cepat, hingga suaranya terdengar berdentang-dentang dengan keras. Dimulai dari: berani nggak kamu tiba-tiba duduk di antara mereka? Ayo kita gelar tiker aja di hadapan mereka! Sambil makan popcorn! Kalo aku segalak gitu sama si Aq, pasti aku akan ditinggalkan begitu saja di sini! Mungkin seperti itu keadaannya kalau kita pacaran sama brondong! Atau paling sedikit cowok sebaya. Untung juga kan, bisa galak-galak? Dan pikiran-pikiran lain yang dipertukarkan via ketikan kilat di YM.

Lalu, si cowok pergi. Yah, semoga saja dia bisa sidang dengan lancar, dengan dukungan ceweknya yang galak tapi penuh perhatian. Setelah beberapa lama … si cowok akhirnya datang kembali.

Suasana kemudian menjadi lebih tenang saat itu. Si cewek juga nggak galak-galak lagi. Tapi, keadaan kembali memanas saat mereka membicarakan tentang beasiswa. Saya nggak tahu bagaimana detailnya, yang jelas menyangkut seorang teman mereka, yang menolak kesempatan beasiswa, atau semacam itu. Si cewek langsung menelepon teman mereka itu, menyuruhnya datang, dengan galak juga!

Sayang, kuping panjang kami harus berhenti berfungsi saat itu. Soalnya, sudah waktunya untuk pulang, setelah berjam-jam menjadi kuncen hingga pantat kami panas. Penasaran juga sih sedikit, apa yang akan terjadi ya? Tapi … sebetulnya nggak niat nguping kok, suerrrr, suerrrrrr! Mungkin sudah digariskan seperti itu, si Mbak yang galak dikaruniai suara keras, dan kami yang keren ini dikaruniai … kuping panjang! Hahahahahaha …


(ayo Suze, kapan lagi kita hotspotan bareng, dan memanjangkan kuping lagi seperti kelinci Playboy? Masih banyak tempat makan di Bandung yang belum kita jajah!)

 

Selasa, 03 Juli 2007

Salon Mariani

Daripada ke salon-salon mahal, saya lebih memilih ke salon dekat rumah saya, namanya Salon Mariani. Mariani ini nama pemiliknya. Gadis Batak, usianya lebih tua setahun dari saya. Dia mengerjakan segala sesuatunya sendiri, mulai dari mengeramasi, menggunting, meng-creambath, memblow, mengeriting, melulur, melakukan facial, hingga menyapu sisa-sisa rambut di lantai.

Biayanya murah. Gunting rambut dengan cuci dan blow saja cuma dua puluh ribu. Apalagi untuk pelanggan, dia mematok harga lima belas ribu saja. Hasil potongannya sih standar lah, tapi sudah memadai untuk orang-orang seperti saya—yang potong rambut bukan untuk mejeng di majalah atau televisi, hehehe ….

Hanya saja, kelebihannya adalah Mariani sendiri. Dia ini ceriwis dan sok akrab dengan para pelanggannya. Tapi, bukan ceriwis dan sok akrab dalam arti negatif—berbicara dengan Mariani menyenangkan. Buktinya, kalau kita sedang “dikerjai” di salonnya, banyak orang yang menyapa Mariani dari luar pintu yang terbuka. “Hai Mar!” “Kakak!” dan sebagainya.

Mungkin selain karena murah, itu yang membuat salon milik Mariani ini banyak pelanggannya. Bayangkan, saya datang ke sana untuk potong rambut pagi-pagi. Eh, ternyata jadwalnya sudah penuh sampai jam tujuh malam! Akhirnya memang harus membuat janji dulu sebelumnya. Si Emak bertanya, kalau buru-buru, kenapa nggak ke salon lain saja di dekat situ juga? Hmmm … lebih baik saya menunggu sampai malam. Bukan apa-apa, saya pernah ke salon lain yang di dekat situ juga. Mungkin potongan rambutnya sama saja sih, tapi ada sesuatu dari Mariani yang nggak dimiliki oleh salon lain itu.

Nggak tahu apa. Saya sendiri nggak bisa mengungkapkannya. Hanya saja, kalau saya menyerahkan kepala saya ke Mariani, saya merasa “dimanusiakan”. Bukan sekadar kepala berambut yang dijadikan objek eksperimen para penata rambut, yang protes atau permintaan khususnya kadang-kadang nggak didengar. Mau coba ke Salon Mariani? Kalau mau ke rumah saya lewat pasar, pasti melihat spanduk kuningnya yang sederhana kok, di dekat Indomaret. Tapi bikin janji dulu ya … hehehe.

 

Catatan

Salon Mariani terdengar cocok kan untuk sebuah salon kecantikan. Nggak seperti Salon Agus, langganannya Sitorus di daerah Cikutra, hahahaha … (Dan ya ampuuuun, Sitorus itu banggaaaa sekali dengan Salon Agus-nya itu! Dasar cewek brengsek, hahahaha)

 

Jumat, 15 Juni 2007

Keluarga Lubis Zaman Dulu




Kemarin, setelah pemakaman Totok Sutan (abangnya si Papap yang no. 8), banyak keluarga yang datang ke rumah, karena dimakamkannya di TPU Cibarunay, deket rumah.

Lalu, si Abang Hakim ngeliat foto ini dan pengen juga. Yasud, saya scan untuk dikirim via email (Bang Hakim, ntar Adek kirim foto yang resolusinya tinggi via email aja). Tapi, iseng posting di sini, karena fotonya ini lumayan ajaib hehehe ....

Foto pertama itu keluarga Lubis lengkap.
Belakang dari kiri: Totok Karel, yang no. 5 (Pontianak); almarhum Paktuo Kota (namanya Mahkota Lubis), anak Ompung yang paling kasep, no. 1 (Surabaya); Totok Agus, no. 4 (Lampung); Papaya, no. 2 (Bandung); almarhum Totok Rawa, bapaknya Abang Hakim, no. 3 (Jakarta); almarhum Ompung Moeis, adiknya Ompung Armia (Bogor); Bou Justi, no. 6, anak Ompung yang paling cantik da cuma satu cewek hehe (Bandung).
Tengah dari kiri: Totok Ikok, no. 7 (Bandung); almarhumah Ompung Armia; almarhum Ompung Hitam (karena di foto rambutnya hitam, hehe ... nama aslinya sih Marah Supi Lubis); almarhum Totok Sutan, no. 8 (Bandung)
Depan: si Papap, no. 10, celeno dengan celana monyetnya, hahahahahaha ...; Totok Bung, no. 9 (Jakarta)

Foto yang kedua, diambil di Bukittinggi. Anak terakhir Ompung baru Totok Ikok (yang digendong Ompung Armia), yang tiga lagi belum ada, jadi fotonya ditempel aja di pinggir hehehe ...

Selasa, 12 Juni 2007

Teman di Kala Menunggu Warung




Foodcourt Sulanjana sekarang diceriakan oleh seorang anak kecil, anaknya ibu pemilik Gelora Seafood, namanya Ajis (sungguh nulisnya gitu, bukan Azis).

Ajis ini aneh ... sering sok akrab sama pengunjung, terus pas pengunjungnya mau pulang, suka nangis hahahahahahaha ....

Tapi lumayan lah, ada teman saat nggak ada kerjaan. Sambil cerewet ngomong entah apa, nggak ngerti (palingan dia ngomong, "bibing! bibing! apa ieu? buaya!"
(bibing = mobil)

Senin, 11 Juni 2007

Waktu kecil ...




Gambar 1: Si kecil berbaju merah ini keren ya ... hahaha

Gambar 2: Itu lagi diceritain oleh Almarhum Mang Undang (yang keliatan bodinya doank). Bonekanya itu buku lho sebenernya, jadi celemeknya bisa dibuka jadi beberapa halaman dan ceritanya tentang si Tudung Merah dalam bahasa Prancis, yang kebetulan namanya MARIA.

Gambar 3: Ini belum bisa duduk sendiri sih sebenernya, jadi sama si Emak ditaro di kursi, langsung dijepret, dan langsung ... miring dengan sukses setelah difoto (edun ya, jadul banget studionya ... di Sukajadi)

Sabtu, 09 Juni 2007

Kata Bapak Sinshe, Saya ini Telmi ....

Tadi pagi, si Emak sudah heboh mandi, mau mengantar Tante Ati ke tempat pijat alternatif di Jl. Diponegoro. Lalu, kata si Emak, kenapa Adek nggak numpang aja naik taksi? Toh Jl. Diponegoro bisa lewat Sulanjana.

Tapi, di tengah jalan, Tante Ati mengajak-ajak, “Cobain aja Dek, siapa tau enak. Nggak sakit kok dipijatnya, nggak kaya’ refleksi.” Ya sudah, oke duech …. 

Setelah agak lama menunggu, bapak “sinshe”-nya datang juga. Masih muda, paling baru 40 taunan lah. Meskipun ada empat orang sebelum kami yang mengantre, karena dipijatnya nggak lama, jadi beberapa saat kemudian, tibalah giliran si Emak, lalu saya. Tante Ati masih menunggu di kursi (karena tempat tidurnya cuma dua).

Waktu si Bapak melihat si Emak, doski langsung bilang, “Ibu ngajar ya?” Lho, kok tau Pak? “Saya bukan paranormal. Kalo bahasa kerennya sih ‘indigo’ hehe …” Oh, begitu toh. Walah, si Bapak bisa baca pikiran nggak ya? Lalu, saat memijat si Emak, doski berkomentar begini, “Kalo saya punya duit banyak, saya mau jadi produser dan bikin film silat dengan bintang film si ibu,” Itu karena badannya si Emak keras-keras, padat (sampai kita capek kalo disuruh mijitin). 

Setelah si Emak selesai, tibalah giliran saya. Si Bapak ternyata langsung tahu masalah saya apa (suka sakit kalo lagi bocor). Terus, pas dipijat-pijat lagi, katanya suka kembung juga (mungkin ya, soalnya sering kentut hikhikhik). Yang paling mengagetkan adalah ketika saya disuruh telungkup dan si Bapak memijat punggung saya. Doski bilang begini sama si Emak, “Bu, anak Ibu ini susah makan ya?” Hah? “Ah nggak kok Pak, dia mah pemakan segala,” tukas si Emak. “Iya, tapi cuma makan yang dia suka aja.” Si Emak nggak menjawab lagi, cuma senyum-senyum. Lalu, si Bapak berkata lagi, “Bu, anak Ibu ini kok kaya’nya agak telat ya?”

HAH? 

“Telat gimana, Pak?” si Emak nanya. “Ya gitu, kalo ditanya suka bengong, susah jawabnya, lama, suka ‘euuuhhhh … euhhhhhh …’. Suka telat mikir.” HAH? Telat mikir? (Hmmm … apakah ini alasan mengapa selalu terjadi peristiwa “dumb and dumber”? Hahahaha) Si Bapak meneruskan memijat saya. “Kaya’nya saluran darah ke otaknya tersumbat nih. Tapi bisa diberesin kok.”

Tadinya agak bete juga dikomentari telmi, tapi mungkin ada benarnya juga kok hikhikhikhik …. Yah, siapa tahu pijatan si Bapak bisa membuat kecerdasan saya bertambah, mendapatkan beasiswa, kuliah lagi, dan seterusnya, hahahaha! (Tapi … kalau saya nggak telat ngejawab atau berkomentar, kasian Sitorus duonk. Saya telmi aja dia sudah dinistakan melulu, apalagi kalo nanti kecerdasan dan keterampilan berbicara saya bertambah! Hahahahahaahahahahaahahaha!)



Kamis, 07 Juni 2007

Kepala Ikan Patin di Warung Padang Singgalang Jaya

Duluuuu, waktu masih kuliah, hampir tiap minggu ke Warung Singgalang Jaya di Tubagus Ismail. Menunya, wajib selalu ... kepala ikan patin. Makannya pake tangan, sambil merem melek, dan mencari mata ikan yang paling nikmaaaaatttttttttt ...

Kalo dulu sih, biasanya formasi ke Warung Singgalang Jaya-nya: saya, si Nata Pehul, Coni, dan si Bona. Dan selalu, saya, si Pehul, dan Coni makan gulai kepala ikan patin ini, dan si Bona, yang alergi ikan (bahkan sama kartun Nemo pun doski takut banget) selalu makan sambil matanya berusaha menerawang ke atas dan ke mana-mana.

Karena kumpulan satu orang keren dan tiga orang aneh ini (ya sudah pasti yang keren itu akyu, hahahaha) sudah agak bubaran, karena si Pehul minggat ke Karawaci dan si Coni minggat ke Unpad, trus si Bona pacaran melulu, jadi baru tadi siang saya mengunjungi lagi Singgalang Jaya ini, bersama ... Suze Antie.

Dan tentu saja, menu yang dipilih adalah ... KEPALA PATIN! Hahaha ...

Masih enak sih, tapi sayang nggak senikmat dulu, karena tampaknya si patinnya ini digoreng lebih dulu dan ukurannya lebih kecil. Tapi biarlah, nggak apa-apa, toh yang penting kepala patin Singgalang Jaya tetap berjaya.

Sayang juga fotonya agak kabur, soalnya buru-buru motretnya, keburu laper hahahahaha ...

Selasa, 10 April 2007

All That You Can't Left Behind

Kadang-kadang, barang-barang lama lebih melekat di hati daripada barang-barang baru. Apa pun alasannya, apakah karena ada sejarahnya, kenyamanannya, atau macam-macam lagi. Mungkin kalau dilihat dari usianya, barang-barang itu sudah patut dibuang. Tapi, apa daya, hati sudah telanjur cinta dan setia (halah … naon sih ieu hahaha).

Nah, kalau Louie di sini mendaftar barang-barang impiannya, saya sekarang akan mencoba kebalikannya—mendaftar barang-barang lama yang begitu melekat di hati. Okay, saya mulai dari benda ini.

P1093000

P1093001

Ini adalah kaus angkatan saya, angkatan dua belas, waktu diklatsar GPA. Kaus ini sudah ada kira-kira sejak bulan Juni 1995, saat saya dan teman-teman akan berangkat ke Cicenang untuk digojlok selama sepuluh hari (Tenaaaang, penggojlokannya nggak kaya’ IPDN. Biasa-biasa kok. Cuma penggojlokan setelah diklatsar yang berat, karena lagu penyambutan GPA tiap penutupan diklatsar selalu begini, “Selamat dataaang, nu gelo anyaaaar …” hahaha). Saya masih ingat, salah seorang teman seangkatan saya, Yudi—sekarang sudah jadi letnan satu (atau letnan ya? Hehe) infanteri—yang membelikan secara kolektif (kalau nggak salah di Cihampelas). Warnanya biru, disablon karet warna kuning yang desainnya tahun ’90-an banget, saat Corel Draw, Adobe Photoshop, dan desain a la distro belum mewabah di kalangan anak muda (tapi ya, sampai sekarang kaus-kaus anak PA teteeeep aja nggak a la distro, hahaha …. Heran duech. Padahal apa salahnya ya? Mungkin harus tanya Omen chayank—anak GPA berpenampilan agak militer, berbadan kekar hasil fitness, berwajah mirip Tata Dado tapi sering ngaku mirip Ari Wibowo—yang jadi desainer di salah satu pabrik kaus oblong.).

Setelah melekat di badan selama hampir sepuluh hari dan tanpa pernah dicuci, waktu pulang diklatsar si Emak langsung menyeduhnya (betulan diseduh, karena si Emak mendidihkan air dan merendam semua baju-baju saya ke dalam air mendidih itu, saking bau lumpurnya—dan bau pesing, hahaha). Saya juga nggak pernah memakainya keluar rumah, karena desainnya “nggak banget”, hahaha …. Paling-paling ada perkecualian, dipakai saat sedang di lapangan (kan nggak ketemu banyak orang, cuma anak-anak doang hehe). Jadi lebih sering saya pakai di rumah, jadi baju tidur. Tapi aneh, meskipun harganya murah dan biasa saja, kaus biru ini sangat nyaman. Sampai sekarang, kaus ini sudah berusia hampir 12 tahun dan masih menjadi baju tidur favorit saya. Mungkin gara-gara “diseduh” si Emak juga kali ya, hahaha …. Dan mungkin karena sejarahnya juga, karena dengan kaus biru ini saya sempat jadi “nu gelo anyar”, hahaha! Gara-gara baju biru ini juga, Achiel, teman seangkatan saya, menyebut angkatan dua belas adalah laskar biru—yang diprotes habis-habisan oleh angkatan-angkatan di atas kami, yang bilang kami ini adalah angkatan leho-hangseur (ingus-pesing!) rimba, hahaha!

P1092997

Benda kedua adalah sweter yang mungkin usianya sudah hampir dua puluh tahun. Sweternya biasa saja, tipis, berwarna abu-abu, bertuliskan “University of Amsterdam” warna biru dan sablonannya sudah luntur. Kaus ini oleh-oleh Totok Bung dari Belanda, dan saya juga sudah nggak ingat, sebetulnya untuk siapa oleh-oleh ini (entah untuk si Abang, entah untuk si Papap. Yang pasti si Abang mah nggak akan muat lagi pake sweter ini, hahaha!) Di bagian punggung bawah belakang, sebelah kiri, ada koyakan sedikit—gara-gara kena paku. Ternyata, si Ujang Dandi Birdy pun memiliki sweter bertuliskan sama, “University of Amsterdam” (Cuma kaya’nya punya dia lebih baru, dan sablonannya dua warna, biru-merah). Jadi, seperti layaknya anak-anak SMA yang suka kembar-kembaran, saya sering janjian memakai sweter ini dengan si Ujang Dandi itu. Sampai sekarang, sweter itu masih ada dan masih nyaman sekali. Hanya saja karena tipis, saya jarang memakainya keluar rumah. Paling-paling jadi baju tidur lagi, hehehe …. (Dan, sweter maneh aya keneh nteu? Mun aya keneh, iraha-iraha urang kembaran deui, hahaha!)

P1092993

Benda ketiga adalah sepatu bot suede berwarna cokelat yang tingginya semata kaki. Saya ingat, membelinya awal kelas 3 SMA, tahun 1995. Jadi, usianya hampir sama dengan kaus biru saya, hampir dua belas tahun. Dulu harganya lima puluh ribu perak. Dibandingkan dengan Converse All Stars semata kaki yang sudah berharga sekitar tujuh puluh ribu, sepatu ini masih lebih murah. Merknya Dr. Mocc, yang sering membuat saya geli sendiri—apakah ini ikut-ikutan Doctor Martens? Hahaha …. Tapi biarpun begitu, sepatu ini asyik banget. Solnya tebal dan antibocor. Sebetulnya tali sepatunya sudah koyak sejak dulu, tapi saya ganti dengan yang lebih kuat. Banyak teman saya yang bilang sepatu ini keren (tapi kebanyakan cowok-cowok, hehehe), tapi sayang, sepertinya saat ini merk Dr. Mocc sudah entah ke mana. Solnya pernah copot sekitar setahun yang lalu, saat saya turun angkot di Desa menuju kantor Cinambo, hahaha …. Tapi segera saya jahit lagi, dan ternyata sepatu ini masih antibocor. Hebat!

P1092991

Benda keempat adalah sepatu trekking merk Adidas berwarna biru-kelabu yang saya beli sekitar tahun 2000. Saya lupa nama serinya apa, pokoknya nama-nama eksotis mirip nama Indian atau Afrika gitu deh. Sepatu ini untuk trekking biasa sih, bukan untuk naik gunung yang serius seperti ekspedisi. Tapi terbukti, sepatu ini sangat nyaman untuk dipakai ke mana-mana—mau naik gunung, mau sekadar leuleuweungan, atau bahkan sekadar jalan-jalan di atas aspal (dan di lantai mal, hahaha). Kelemahannya sama dengan suede cokelat Dr. Mocc saya, solnya pernah lepas. Tapi segera saya jahitkan di tukang sol yang agak bagusan, yang suka ada di mal—hasilnya memang jadi agak aneh sih, karena jahitannya tampak di samping sol. Tapi ternyata kekuatannya jadi lebih dahsyat. Entah kenapa, sepatu ini begitu nyaman di kaki saya. Mungkin karena ukurannya yang aneh—nomor 38 2/3. Beneran lho! Saya menemukannya di sebuah toko sepatu sport di Jalan Trunojoyo Bandung, di bagian anak-anak. Sepatu ini adalah nomor paling besar untuk anak-anak (ukuran bule kali ye). Dan harganya lebih murah dibandingkan sepatu trekking untuk dewasa.

P1092988

Benda kelima adalah sepatu lari Reebok model klasik, berwarna biru muda. Sebetulnya ini adalah sepatu Reebok klasik ketiga yang pernah saya miliki. Sepatu pertama saya berwarna biru tua, kalau nggak salah saya berikan kepada orang lain karena agak sempit, kira-kira tahun ’98. Yang kedua berwarna cokelat—kembar tiga dengan si Abang dan si Bona! Hahaha …. Saya membelinya sekitar tahun 2002 atau 2003. Cuma, sebetulnya saya nggak terlalu suka warna cokelatnya, karena membuat penampilan saya yang sudah dekil menjadi lebih dekil lagi, hehe. Jadi, waktu saya menemukan sepatu berseri sama dengan warna biru muda, saya langsung menjual si cokelat ke si Antjheu. Harganya lumayan jatuh sih, tapi nggak apa-apa, saya telanjur jatuh cinta sama si biru muda ini. Sepatu ini ringan sekali untuk dipakai lari. Tapi, kalau melihat penampilan sepatu saya yang masih bagus ini, sudah jelas terbukti … bahwa saya jarang lari, hahaha! Meskipun baru berusia sekitar 4 tahun, tapi karena sejak tahun ’98 saya sudah jatuh cinta dengan Reebok seri klasik ini, jadi rasanya sepatu ini sudah saya miliki lama sekali.

Benda keenam adalah pensil mekanik Rottring warna kuning, yang saya miliki sejak sekitar tahun 2000. Dulu saya sering sekali kehilangan alat tulis. Bahkan pernah satu kotak pensil seharga hampir dua ratus ribu hilang sekaligus (soalnya ada beberapa rapido berbagai ukuran di dalamnya, hiks!) Tapi, lama-lama saya jadi jarang kehilangan alat tulis. Dan sudah sekitar tujuh tahun pensil Rottring kuning itu sudah menemani saya. Sekarang, merk Rottring di tubuh pensilnya sudah hilang, mungkin sudah terkikis jari saya sendiri. (Si Antjheu juga sempat kagum karena pensil ini awet sekali. Dia sih sudah berapa kali ganti pensil, dan sempat membeli pensil bersamaan dengan saya membeli si kuning ini)

P1093003

Sebetulnya, kalau bongkar-bongkar kamar sih pasti banyak lagi barang-barang yang usianya sudah lama dan amat saya sayangi. Misalnya sehelai bandana “madusa” (Made in USA, maksudnya, hehe) warna merah tua (Memang beda, kualitas madusa dengan bandana lokal. Bandana madusa bersablon bolak-balik dan jenis kainnya lembut, enak dipakai sebagai penutup muka saat naik motor, nggak bikin sesak. Kalau bandana lokal bikin sesak napas). Atau sehelai kemeja kotak-kotak cokelat yang dibeli di Otista Shopping Heaven (yang sekarang sudah pindah tiga kali, ke Cibadak dulu, baru ke Tegalega, kemudian ke Gedebage). Atau jaket Killy biru-kuning yang saya beli dari si Aru (dia juga hasil berburu ke Cibadak, haha). Atau selimut merah saya yang hangat. Tapi sepertinya cukup enam barang dulu deh, nanti tulisan ini panjang sekali!


Catatan
Judul "All That You Can't Left Behind" saya ambil dari tempelan gambar di meja si Abang, karena komputer saya ada di kamar si Abang hehehe ...

Selasa, 27 Maret 2007

Petasan Sumbu Pendek

Entah kenapa, mungkin karena capek atau memang sifat ini sebetulnya sudah ada di dalam diri, beberapa waktu ini saya jadi petasan sumbu pendek. Disulut bentar, langsung meledak. (Padahal, saya ini perempuan penyabar lhuwokh, hahahahaha)

Yang pertama adalah ketika saya akan menendang (betulan lho!) salah seorang oknum (nggak perlu disebut namanya di sini lah, hahaha). Kebetulan, hubungan pertemanan saya dengan dia memang aneh, seringnya berantem, dan berantemnya mirip anak SD, hahaha .... Soalnya, saya sering sekali meledek dia dan dia selalu berusaha membalas. Tapi apa daya, sepertinya dia tidak pernah berhasil mengalahkan lidah yang sudah dilatih silat sejak kecil ini, jadi dia membalas dengan main fisik. Ini yang membuat saya bete. Soalnya dia menonjok-nonjok saya dengan keras. Padahal kan saya gampang memar. Akhirnya saya tonjok lagi dengan lebih keras. Lalu, pada satu kesempatan serius, dia tiba-tiba menyuntrukkan kepala saya (padahal saya sedang berbicara serius lho. Bukan dengan teman-teman, lagi. Makanya saya makin sebal).

Sialnya, saya dan dia sama-sama terikat jadwal acara selama dua hari penuh. Sewaktu akhir acara, akhirnya kesabaran saya habis juga. Waktu dia menonjok saya, saya tonjok lagi dengan keras. Lalu saya berseru, "Lama-lama aku tendang juga!" Seorang saksi mata yang melihat sampai berkomentar begini, "Maneh enyaan rek najong si eta nya Mar?" (Kamu betulan mau nendang dia ya Mar? Bener, Ud, ku urang rek ditajong basa eta teh, ngan teu wasa, bisi ceurik, hahaha). Garing ya? Anak SD-an banget hahahaha ....

Kasus kedua adalah ketika saya pulang dari Sulanjana. Kebetulan si Aq nggak menjemput, jadi saya pulang naik angkot. Turun di Karang Setra, saya ganti angkot dengan Ciroyom - Sarijadi. Eh ... malam-malam begitu, di Gegerkalong Hilir supirnya ngebut banget, susul-susulan dengan angkot Ciroyom - Sarijadi lainnya! Dengan geram saya berteriak, "KIRI!" Padahal masih jauh. Orang-orang seangkot langsung menoleh ke arah saya. Saya turun dari angkot sambil mengentakkan kaki. Lalu ketika membayar, saya bentak sopirnya, "NYAWA, PAK!" Dia tidak berkomentar apa-apa, langsung menginjak gas lagi. Gara-gara itu, saya terpaksa menunggu angkot berikutnya cukup lama, hiks ....

Kali ketiga petasannya meledak adalah ketika saya sedang menuju ke Sulanjana. Karena bus Antapani - KPAD (haha ... naik bus itu lagi deh) nggak lewat-lewat, saya naik Stasiun Hall - Sarijadi, lalu turun di Pasirkaliki dan ganti angkot Caringin - Sadangserang sampai Balubur. Ada empat penumpang di angkot Caringin - Sadangserang itu: saya (duduk di posisi kenek), seorang mahasiswi yang duduk di kanan saya, lalu dua mahasiswi yang duduk di seberang saya. Di awal Jalan Wastukencana, ada seorang Aa-Aa naik. Lalu seorang Aa lagi naik di mulut Jalan Linggawastu. Setelah itu, di depan Prodia ada dua orang cowok lagi naik. Salah satu cowok ini membuang-buang ludah, katanya mual. Tapi dia membuang ludah di jendela pas di belakang saya. Mahasiswi di sebelah saya sepertinya sudah mencium gelagat, dia langsung turun dari angkot. Malah dia sudah berjalan sebelum angkotnya berhenti. Saya bergeser ke kanan. Eh, si Aa itu meludah-ludah lagi ke jendela di belakang saya. Si Aa yang di depan berkata begini, "Teh, itu bajunya kena ludah, dilap pake tisyu aja." Tapi saya sudah mulai curiga, jadi saya membentak si Aa-Aa yang meludah tadi. "KENAPA NGGAK NGELUDAH KE PINTU! LEBIH DEKET DARIPADA KE JENDELA!" Saat itu, dua mahasiswi di depan saya langsung minta berhenti dan turun. Tadinya saya masih ingin membentak si Aa tadi, tapi tiba-tiba ada sesuatu terlintas di benak ... saya harus pindah dari angkot itu!

Saya langsung ikut turun, tetapi karena amarah masih menggelegak di kepala, saya hanya pindah ke kursi depan yang kosong. Di depan Pasar Kembang Wastukencana, salah seorang dari mereka memberikan sesuatu, "Teh, Teh, ini jatuh," ternyata dompet recehan saya yang sudah dekil, isinya juga hanya sekitar empat ribuan. Dengan sebal saya terima saja tanpa bilang terima kasih. Di depan Unisba mereka semua turun. Bapak sopirnya langsung menghela napas lega. "Neng, kirain teh bukan copet. Kalo tau copet mah nggak akan diangkut," kata si Bapak. HAH, KOMPLOTAN COPET? Saya baru sadar! Saya langsung berkomentar, "Iya Pak, kalau receh mah mereka nggak mau." Buktinya, dompet receh saya utuh, tak berkurang uangnya! Dan baru setelah itu hati saya berdebar. Ternyata saya tadi membentak copet. Untung, entah kenapa, saya bagaikan digerakkan untuk turun. Coba kalau masih duduk di belakang. Mungkin saya sudah kehilangan banyak.

Beberapa hari kemudian, saya baca di Kompas Bandung: Komplotan Copet dengan Modus Pura-Pura Muntah Tertangkap. Saya langsung tertawa puas sambil mengangkang ... hehehe, nggak ding. Jahat juga ya, menertawakan penderitaan orang. Tapi hati ini lega, karena saya sebal mereka berusaha mencopet, meludahi kaus saya lagi. Dan ada kepuasan karena sempat membentak mereka, hahaha ....

Kasus keempat adalah ketika saya akan belanja ke Gelael dari Sulanjana. Hari itu panas sekali. Waktu sedang menunggu jalan sepi sebelum menyeberang, saya menguap. Padahal cukup sopan lho, saya menutup mulut dengan tangan dan tidak bersuara. Eh, tahu-tahu ada dua orang Aa-Aa di belakang mobil Blazer yang terbuka meledek (dalam bahasa Sunda: ngalelewe), "Huaaaahhhhhhhh ...." Rasanya darah langsung naik ke kepala. Saya datangi mereka dan langsung bertanya. "Ada apa?" Mereka pura-pura bego, "Apa? Nggak tahu." Saya desak lagi. "TADI APA-APAAN?" "Nggak kok ... nggak." Lalu saya tinggalkan mereka sambil mengumpat-umpat.

Hahaha ... gila ya. Saya sampai takjub sendiri, dari mana datangnya kenekadan itu (bukan keberanian lho, itu mah kenekadan. Apalagi yang membentak copet hahaha). Tapi, meskipun ingin mencegah ledakan ini sering-sering terjadi, saya punya satu keinginan: belajar umpatan bahasa Batak. Kenapa? Supaya bisa mengumpat sopir-sopir angkot Batak yang seenaknya mempertaruhkan jiwa penumpang!
(Maksudnya bukan hanya sopir-sopir Batak saja lho yang begitu. Tapi karena saya menguasai bahasa Sunda ya saya bisa mengumpat dalam bahasa itu, kalau ada sopir orang Sunda. Atau bahkan umpatan bahasa Jawa.) Umpatan yang lebih dahsyat daripada sekadar "Bodat" lah, hehehe ....

Kamis, 01 Februari 2007

Toloooong, Saya Ingin Bangun Pagiiiiiiiiiiiiii



Dari
dulu, saya susah sekali bangun pagi. Nggak tahu kenapa, tapi mau bangun sebelum
matahari terbit itu terasa sesulit mengerjakan ujian Astronomi Bola atau Fisika
Kuantum hehehe ….





Waktu TK
sih saya sudah agak lupa, tapi saya ingat jarang telat gara-gara nggak bisa
bangun pagi. Soalnya TK saya dekat rumah, di Jalan Jurang, dan masuknya juga
jam delapan. Setelah masuk SD, saya juga jarang telat. Soalnya diantar-jemput
Emak pakai motor, karena rumah saya sudah cukup jauh (rumah di Sukahaji,
sekolah di Sejahtera). Begitu pindah ke Sarijadi, saya jadi sering telat.
Soalnya, hampir tiap hari saya numpang mobil Nita, teman sejak TK sekaligus
tetangga. Nah, Nita ini orangnya santaaaaiii … banget. Saya sudah misuh-misuh
sendiri, tapi dia masih santai. Jadi, waktu SD saya belum merasakan susahnya
bangun pagi.





Beranjak
SMP, saya mulai susah bangun pagi. Tapi masih bisa bangun kalau mendengar
alarm. Apalagi masa SMP itu saya ikut Paskibra, yang tiap hari Minggu harus
berkumpul di sekolah atau balaikota jam enam pagi! Sampai-sampai si Emak atau
si Papap (saya lupa siapa) pernah mengeluh, “Dek, kalo nyari ekskul itu jangan
yang ngerepotin.” Soalnya, jarak rumah saya ke SMP 5 di Jalan Sumatra lumayan
jauh. Dan subuh-subuh masih susah angkot. Kalau hari-hari biasa sih naik
angkot, tapi khusus kalau mau latihan, saya pasti minta antar.





Waktu
masuk SMA kebiasaan nggak bisa bangun pagi lumayan tambah parah. Biasalah,
namanya juga remaja (dan abadi sampai sekarang, hikhikhik). Kadang-kadang
begadang nonton televisi. Atau kemarinnya main sampai sore, lalu pulang ke
rumah dengan capek dan tidurnya butuh lebih banyak. Kalau dulu waktu SMP masuk
jam 7 saya berangkat dari rumah jam 6.15 (paling telat 6.20 lah) dan sampai
sekolah jam 6.45an, waktu SMA saya berangkat dari rumah jam 6.40an dan sampai
sekolah jam 7 pas, seringkali lewat 5 menit—tapi tetap selamat, soalnya bel SMA
2 bunyinya panjang, hehehe …. Padahal SMA 2 kan lebih dekat daripada SMP 5 dari
rumah saya. Waktu naik kelas 3, kebiasaan ini sedikit berubah—karena tempat
duduknya rebutan! Kalau datang pagi-pagi bisa ngetek tempat yang enak, tentu
saja di bangku belakang (dengan alasan “alergi kapur” hahaha), di barisan depan
meja guru, karena guru malah nggak akan bisa ngeliat kita sedang apa di sana
hehehe …. Kalau telat sedikit ya paling geser ke depan paling banyak dua bangku
atau ke samping. Duduknya juga asal, terserah mau duduk dengan siapa, tapi
seringnya sih sama Neng Olip sesama mojang Batak tea (ada delapan Batak
bermarga di kelas Fis 1! Hahaha …). Yang sering telat sih Neng Gantine, si Njum
yang sekarang sudah beranak dua. Biasanya dia duduk sendirian (soalnya jumlah
muridnya ganjil, 47 orang) pas di bangku depan guru, hahaha! Datang pagi-pagi ini
juga menghasilkan hobi baru, yaitu jajan gehu panas di kantin, plus bacang,
plus susu ultra, teh botol kalau nggak punya duit, plus sosis (edan ya
sarapannya hahaha), plus vicks biru (ini mah si Antjheu, saya mah nggak).





Setelah
lulus SMA dan sempat jadi pengangguran terselubung sebelum UMPTN (sekitar dua
bulanan), semakin parah lagi. Apalagi waktu bimbingan seni rupa, karena
pulangnya malam, kadang-kadang main dulu ke mana-mana, kadang-kadang terus
tambahan ke mana, dan lain-lain. Apalagi pagi-paginya capek, bukan karena SSC,
tapi karena terlalu sering beredar dengan si Dandi Endul dan Oki hahahaha ….
Dasarrr!





Masuk
kuliah, wah, wah, makin parah! Bukan karena banyak tugas (ih sumprit, setahun
saya kuliah di Unpar, perasaan jarang banget ngerjain tugas hahaha … paling
yang kerasa cuma sekali, ngerjain tugas bahasa Indonesia doang), tapi karena
kebanyakan main di Hegarasih. Apalagi Hegarasih tempat nangkring anak-anak GPA
itu buka sampai larut malam, baru bubar kalau Paman Agus Quwu sang empunya
tempat beres-beres. Apalagi jarang kuliah pagi, seringnya siang atau sore. Ya
jelas, makin enak bangun siang.





Setelah
pindah kuliah ke Astronomi, hmmm … sudah bisa ditebak, ya tambah parah lagi.
Waktu TPB sih memang belum ada pengamatan dan lain-lain. Paling-paling, tiap
hari Sabtu biasanya jam delapan malam sudah mengantuk berat, sampai-sampai saya
sering ketiduran waktu si Aq ada di rumah. Soalnya, hari Sabtu itu jadwal mata
kuliah olahraga yang cuma 1 SKS, tapi menyebalkan seperti 4 SKS. Setelah mulai
sering ada acara himpunan, semakin sering begadang. Apalagi kalau tidur di
Himastron. Wah … ada yang masih ngerjain tugas, ada yang ngegame di komputer,
ada yang nonton tivi, ada yang main gitar, ada yang lagi diskusi entah apa,
lampunya terang, jadi membuat suasana enak untuk begadang. Lalu, tingkat empat
ada kuliah Laboratorium Astronomi, karena harus begadang untuk pengamatan. Tapi
dulu waktu Lab-As ini pengamatannya nggak sesering sekarang-sekarang kok. Jadi
pemandu dan penceramah di Bosscha juga nggak begitu bikin sering begadang,
karena biasanya jam sembilan sudah beres semua (sudah termasuk makan bersama di
Ruang Baca, hehehe).





Saya
mulai insomnia parah waktu TA, Tugas Akhir yang Teu Anggeus-Anggeus (soalnya
kerjaannya main The Sims dan buron terus dari Roni, hahaha). Mungkin karena
suasana yang enak itu setelah tengah malam, nggak banyak keributan dan
lain-lain, saya terbiasa begadang sampai jam dua atau jam tiga pagi. Kacau
beliau nih jadwal tidur. Waktu saya beberapa bulan menghuni himpunan juga
begitu, karena seperti yang sudah saya ceritakan di atas, Himastron baru bisa
tenang setelah lewat tengah malam. Apalagi waktu saya ternyata menderita
pembengkakan kelenjar tiroid (gondok gitu lhuwokh, mungkin gara-gara gondok
melulu sama seseorang? Atau banyak orang? Hahaha …), yang konon membuat si
penderitanya selalu merasa tidurnya nggak cukup. Lumayan seram juga sih waktu
sebelum operasi, karena saya seringkali ingin bangun tapi nggak bisa bangun.
Bukannya “tindihen” atau “eureup-eureup” ya, tapi memang nggak bisa bangun itu
karena belum puas tidur.





Anehnya,
setelah operasi saya juga masih susah bangun. Dulu waktu siaran juga sempat
tersiksa, soalnya sering siaran jam enam pagi (siarannya bukan keresek-keresek
dari jam dua belas malem sampe jam enam pagi kok, weeeekkkkkk). Kebiasaan ini
terus berlanjut hingga saya bekerja. Wah, jungkir balik deh tiap pagi. Mending
waktu kantor saya masih di Yodkali, karena pulang pergi naik motor. Masuk jam
setengah delapan, bisa bangun jam setengah tujuh dan pergi jam tujuh. Waktu ada
perubahan jam masuk, jadi jam delapan, saya bisa lebih santai lagi.





Saya
semakin jungkir balik setelah pindah kantor ke Cinambo. Aduh bok, masuk jam
delapan, kalau telat dikasih memo, malas naik motor di antara bis-bis antarkota
dari Cicaheum, jadi harus naik angkot dan pergi dari rumah jam setengah tujuh.
Waduh … bisa bangun jam setengah enam saja sudah suatu prestasi. Seringnya sih
jam enam. Waktu untuk siap-siap hanya setengah jam—termasuk mandi, menyiapkan
bekal makan pagi, makan siang, memakai kerudung yang seringkali memakan waktu
paling lama. Itulah alasan kenapa saya nggak pernah memakai kerudung yang
bervariasi jaman kerja dulu—karena memang nggak ada waktu, hahaha! Malah
akhir-akhir lebih enak memakai kerudung kaus yang praktis.





Setelah
dua tahun lebih jungkir balik dalam siksaan harus bangun pagi dan siap-siap ke
kantor dalam waktu singkat, saya pensiun dini (hehehe … pensiun siiiih, tapi
seperti yang Suz Antie bilang, “Guncangkan saja pohon uangnya!” hahahahaha!).
Awal-awal berhenti bekerja, saya masih bisa bangun sekitar jam enam. Tapi
lama-lama, saya semakin asyik bekerja pada malam hari hingga lewat tengah
malam, karena sudah sepi. Mulailah jam tidur saya bergeser lagi. Dulu waktu
masih ngantor biasanya paling lambat jam sebelas sudah tidur, sekarang jam dua
belas, jam satu, jam dua, dan yang paling parah adalah minggu ini, jam tiga.
Bangun jam berapa? Tentu saja anak perempuan Emak satu-satunya ini tidak
seperti anak perempuan baik-baik lainnya—bangun jam delapan, jam sembilan,
bahkan pernah jam setengah sebelas!





Seminggu
terakhir ini saya mencoba mengembalikan lagi jadwal tidur yang lumayan “benar”
(karena hasilnya saya banyak kecolongan melewatkan kegiatan pagi—makanya saya
nggak pernah berhasil lari pagi, karena memang nggak bisa bangun). Berbagai
cara sudah saya coba, mulai dari sudah berbaring-baring sejak jam sepuluh,
nonton tivi, baca buku, mandi air hangat, minum susu hangat, eh … tetap saja
nggak bisa tidur. Bahkan saya sampai titip obat tidur yang ada di iklan-iklan
tivi ke si Emak. Tadinya si Emak takut saya kecanduan, tapi sebagai gadis Batak
yang keras kepala, saya meyakinkan si Emak bahwa saya nggak akan kecanduan.
Akhirnya si Emak membelikan obat tidur itu, dengan harapan anak perempuannya
bisa bangun pagi. Tapi, kemarin, waktu saya coba minum, tetap saja mata ini
nyalang dan melotot hingga jam dua pagi! (Mungkin juga salah waktu ya, soalnya
minumnya jam sebelas malam, hehehe) Pagi-paginya malah lebih susah bangun,
kalau nggak ditelepon si Antjheu saya nggak akan bangun. Padahal janji datang
ke seminar si Bona jam sembilan, lalu mau terus ke Cicaheum. Sampai di kampus
sudah jam sepuluh, saya pikir seminarnya si Bona sudah selesai, jadi saya
memutuskan untuk langsung ke Cicaheum. Saya SMS si Bona minta maaf nggak datang
seminar, janji datang sidang saja, eh … dasar duodol, seminarnya ternyata hari
Jumat hahaha (untung Jumat ya Bonz, hikhik). Sepanjang perjalanan itu kepala
saya cenut-cenut karena mengantuk. Di angkot juga sempat tidur-tidur ayam,
apalagi karena angkotnya ngetem (huuuuuuuu …).





Nah, hari
ini saya minum obat itu jam sembilan malam. Tapi sampai saat ini, jam sebelas,
saya baru mengantuk sedikit. Mudah-mudahan sih bisa segera tidur, dan besok
bangun lebih pagi. Kalau nggak bisa juga, yah … apa mau dikata, mungkin betul
kata Emak, saya ini memang kebluk hahaha ….
Tapi kebluk itu kan kalau tidurnya juga masih sore ya. Kalau saya kan
insomnia—entah karena banyak pikiran (anjissss … gaya! Hahaha) atau terlalu
lelah (sepertinya malah sama sekali nggak lelah, jadi badannya belum capek
hehehe). Seharusnya sih, insomnia ini bisa dimanfaatkan bagi hal-hal positif,
yang lebih produktif. Tapi, karena saya nggak berminat ikut pengamatan bersama
para astronom genjring di Bosscha, mungkin saya akan melamar pekerjaan jadi
satpam pub dangdut aja duech, hahahahahahahahaha ….





Catatan
Pertama



Karena
ini ditulis dua hari yang lalu, jadi saya akan melaporkan kejadian kemarin dan
hari ini. Kemarin, ternyata tetap saja saya bangun jam delapan pagi. Lalu,
masih cenut-cenut dan setengah mabuk saya pergi ke rumah si Aq, lalu ke SMA 2
untuk ketemu Aini. Malamnya, sekitar jam 10 saya sudah mengantuk, dan saya
bilang kepada si Aq, "Q, Adek kapok minum obat itu lagi." (dan
seperti biasa, dia mah hobinya ngetawain, seballll ....) Akhirnya, jam 12 malam
si Aq pulang dan saya langsung tidur.





Besoknya
(berarti hari ini, tadi pagi), saya tetap bangun jam sembilan! Itu pun karena
si Antjheu menelepon, "Gua udah ada di depan rumahmu, masuk lewat
mana?" (dia bingung karena banyak anak TK) Setelah bangun, masih teler
juga. Gilaaa ... kapok ah, saya nggak akan makan obat sialan itu lagi!





Catatan
Kedua



Meskipun
ternyata seminar si Bona jadinya hari Jumat, tetap saja saya nggak bisa
menghadirinya karena saya bangun jam sembilan (dan seminarnya mulai jam sembilan
hehehe). Akhirnya saya telepon si Bona (setelah sebelumnya nelepon Onah untuk
nanya seminarnya Bona udah selesai belum, soalnya kalau ditelepon di tengah
seminar, gile aje Ndro, hehehe) dan minta maaf plus janji akan datang waktu dia
sidang. (Gimana mau langsing kalo minta upeti permintaan maaf berupa kebab
berukuran super XXL, huuuuuuu!)

Catatan Ketiga

Karena multiply dari rumah saya susah dibuka (khususnya pake laptop si papap), jadi terpaksa postingan ini tertunda beberapa hari. Dan selama beberapa hari itu, saya mencoba ctm (manjur, setengah jam kemudian langsung ngantuk tapiiiiii ... bibir ini terasa tebal, seperti Angelina yang bukan Sondakh, tetapi Jolie, dan tetep aja besok paginya nggak bisa bangun!)

Catatan Keempat

Prestasi saya yang paling dahsyat adalah melek sampai jam empat seperempat. (Orang lain sih ada yang kuat banget sampe jam enam atau bahkan nggak tidur lagi, kaya' si Aq.) Hasilnya, besok siangnya saya merasa blo'on, otak ini serasa susah mencerna semua yang terjadi dalam hidup saya hari itu ... Ohhhhhhhhhhhhhh, menyebalkan!



Senin, 15 Januari 2007

TIA

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Kembangmanggis
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 979-686-865-2
280 halaman


Dari semua buku remaja karya penulis lokal yang pernah saya baca, baik yang sudah sukses difilmkan maupun yang akan segera difilmkan, yang distempel “bestseller” atau dicap laku banget, nggak ada yang bisa mengalahkan satu buku ini dalam penilaian saya. Buku apa sih?

Judulnya singkat saja: TIA. Mungkin remaja-remaja jadul sempat tahu, karena buku tipis ini pernah diterbitkan di majalah HAI sebagai cerbung pada sekitar tahun 1985-an. Bukan berarti saya remaja jadul juga ya, malah belum lahir tahun segitu sih. Nggak ding, tapi saya sudah lumayan berakal lah (umur enam atau tujuh tahun) untuk bisa membaca dan mencerna sebuah cerbung dan menantikan lanjutannya setiap Selasa, setelah si Abang selesai membaca majalahnya. Setelah tahun demi tahun berlalu, saya sampai rela mengangkut koleksi majalah tuanya si Aq ke rumah, untuk memeriksa satu demi satu, apakah ada cerbung Tia atau nggak. Ternyata, penantian saya terjawab suatu hari, saat buku ini diterbitkan ulang pada tahun 2002, setelah pernah diterbitkan sebagai buku pada tahun 1985. Tujuh belas tahun!

Apa sih yang menarik dari buku ini? Kok bisa segitunya saya menantinya? Pertama, buku itu betul-betul membawa sebagian hati saya ketika masih kecil. Yang kedua, baru isi bukunya. Dibandingkan dengan kisah-kisah remaja masa kini yang serbamodern, ideal, dan bagaikan mimpi, TIA hadir dengan segala kewajarannya. Tokoh, setting, peristiwa, betul-betul mungkin terjadi dalam kehidupan nyata (meskipun mungkin saja ada tokoh-tokoh buku lain yang mungkin ada juga dalam kehidupan nyata—meskipun saya ragu apakah betul seideal itu).

Kisah dalam buku ini sederhana saja, tentang Tia, seorang gadis remaja kelas 2 SMA, berusia enam belas tahun, yang sebentar lagi berulang tahun ketujuh belas dan bertanya-tanya, apakah dia sudah bisa dibilang dewasa atau belum. Dia adalah anak tunggal yang manja, lugu, badung, suka ngambek, sayang binatang, dan kapten tim voli sekolahnya. Lalu, Tia bertemu dengan seorang teman sepupunya (yang tinggal di paviliun rumahnya), Dion yang ganteng, cerdas, tapi playboy. Mereka sempat berpacaran, sebelum akhirnya terpisah karena kesalahpahaman dan akhirnya bertemu kembali. Sederhana kan? Bahkan memang agak klise.

Tapi di tangan Kembangmanggis, kisah sederhana ini dipoles dengan sangat menarik lewat penggambaran karakter tokoh, setting, dan penceritaan. Ada karakter Tia dan Dion, juga ada Fira, sahabat Tia yang pintar tetapi blo’on (lho?). Ada ibu yang tergila-gila etika dan sopan santun, serta ada ayah yang humoris dan Arifin, saudara sepupu Tia yang sangat sayang kepada adik sepupunya ini. Suasana kota Bogor juga diceritakan secara indah, mulai dari rumah Tia yang berpaviliun selayaknya rumah-rumah tua, sekolah Tia yang kuno, luak yang masih bisa bersarang di antara rimbunnya pepohonan Kebun Raya Bogor, tukang asinan, sampai hujan kapuk yang romantis. Tidak ada kata-kata muluk yang berat, hanya ada pengungkapan jalan pikiran seorang gadis remaja yang berusaha keras untuk bisa disebut dewasa.

Satu-satunya kekurangan buku ini hanya alur yang melompat di dekat akhir kisah, yaitu saat Tia melanjutkan kuliah ke Bandung dan betul-betul berpisah dari Dion. Entah mengapa, Kembangmanggis menyingkat bagian ini dan tidak menceritakannya secara lebih dalam, sehingga pembaca tidak tahu bagaimana pergulatan emosi Tia selama beberapa tahun itu.

Selain TIA, Kembangmanggis sendiri pernah menulis juga sebuah buku berjudul Burung-Burung Kecil, yang sempat mendapat penghargaan sebagai novelet terbaik majalah Femina. Sang penulis yang alumnus FSRD ITB dan—tentu saja—sudah tidak remaja ini sempat muncul di televisi, sebagai pengusaha restoran dan kafe pai apel dan makaroni panggang di kota Bogor. Selain itu, namanya juga pernah tercantum sebagai aktivis saat kuliah pascasarjana Filsafat UI.

Saya nggak tahu, apakah Kembangmanggis masih menulis atau tidak. Tapi menurut saya, dia adalah salah seorang penulis bagus di Indonesia, yang bertutur dengan gayanya sendiri yang lugas dan realistis. Mudah-mudahan sih Kembangmanggis berkarya lagi.

Satu lagi, mudah-mudahan buku ini suatu saat bisa difilmkan, dengan setting kota Bogor yang romantis hehehehe ….