Rabu, 28 Mei 2008

Kriminalitas di Kalangan Mahasiswa

Tulisan ini ada di blog friendster lamaaaa, tapi karena teman seangkatan saya mengingatkan kisah ini, jadi tulis lagi aaahhhhh di sini, hihihiiiii ....

Mahasiswa adalah sosok tanggung—baru beranjak dari usia remaja dan memasuki tahap dewasa muda. Sudah jelas, pada usia-usia sebaya mereka, para mahasiswa masih labil. Mereka juga mudah tergoda oleh  pengaruh-pengaruh negatif yang begitu gencar menerpa.

Salah satunya adalah seperti yang pernah saya alami ketika masih duduk di semester tiga. Saat itu, saya dan teman-teman baru saja menyelesaikan TPB (Tahap Persiapan Bersama) di ITB. Mata kuliah di TPB ini hampir seragam untuk semua jurusan, kecuali FSRD, salah satunya mata kuliah Fisika Dasar. Bobot Fisika Dasar ini 4 SKS, dan tentu saja dilengkapi praktikum yang  membosankan—menurut saya. Mungkin ada beberapa teman yang tidak bosan mengikuti praktikum ini, karena banyak mahasiswa-mahasiswa tingkat atas yang jadi asisten lab. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa jurusan Fisika, hanya segelintir yang dari jurusan Teknik Fisika. Dan kebanyakan laki-laki, tidak seperti asisten lab kimia. Tentu saja, lab ini jadi ajang perkecengan dan sarana saling mengincar.

Rupanya, pesona seorang asisten lab telah mencuri hati teman saya. Dua orang sekaligus, lagi. Hebat sekali. Padahal, kalau menurut saya, dia biasa-biasa saja, tipikal “mas-mas ITB” gitu deh. Tapi mungkin kegalakannya (yang menurut teman-teman saya adalah sifat tegas) yang jadi salah satu daya tarik.

Kedua teman saya ini bagaikan musuh dalam selimut—tampak rukun, padahal dalam hati mereka bergelora. Menurut mereka, tidak ada persaingan. Tapi, kami yang ada di sekitar mereka merasakan hawa panas persaingan ini.

Suatu hari, kami menemukan sebuah fakta, yang menjadi pencetus kriminalitas ini. Karena, hal ini menyangkut masa depan salah satu teman kami yang jadi peserta persaingan.

“Neng (nama disamarkan), kami harus memberitahumu sesuatu,” kata kami waktu itu.
“Apa? Apa?” kata si eNeng. Rasa penasaran membuncah di dalam dadanya.
“Kami tahu sesuatu tentang kecenganmu,”
“Apa? Tentang apa? Kenapa?”
“Mmm … nanti deh kami ceritain. Tapi, traktir dulu makan dong,”

Akhirnya, kami semua pergi ke Jalan Ganesha. Di sana banyak jajanan. Setelah memesan batagor dan yoghurt, temanku langsung membayarnya. Kami lalu duduk di meja, di bawah kerindangan pohon-pohon besar.

“Jadi, apa beritanya?” si eNeng tidak sabar.
“Mmm … nyam … nyam …” kami masih asyik menikmati batagor dan yoghurt.
“Ayo doooong! Cerita!”

Ehem. Baiklah.

“Begini Neng, pertama, kami ucapkan terima kasih untuk traktiran batagor dan yoghurtnya,” kami menarik napas dulu, menelan sisa kunyahan yang ada di mulut, lalu mulai lagi, “Lalu, ada yang harus kami sampaikan kepadamu.”
“Apaaaaaa?” rupanya dia mulai tidak sabar.
“Ehem,” kerongkongan perlu dibersihkan terlebih dahulu. “Begini Neng … kecenganmu … jadian … sama si Nona … (nama samaran teman kami yang sama-sama mengeceng si Mas ITB itu).”

“Ya ampuuuuuuuuuuuuuuun … Sialaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!”

Dan kami pun tertawa puas di atas penderitaan teman sendiri.


Moral cerita ini: Jangan cepat teperdaya oleh rayuan maut teman-teman yang mencoba memeras Anda. Terutama untuk hal-hal yang remeh-temeh seperti kecengan dan gebetan. Si Neneng dan si Nona ada di dalam foto seangkatan yang segelintir itu, tapi saya nggak mau bilang yang manaaaahahaahahahaaaaaaaa ....


Sabtu, 24 Mei 2008

Tante-Tante Legendaris di Bandung

Gara-garanya sih, karena akhir-akhir ini sering bergaul dengan seorang TUKUGIL, ibu-ibu tukang kue “gila” yang bernama Ibu Susi alias Teh Uci alias ibutio, yang nyaris di setiap pertemuan selalu membahas tante-tante pengusaha di Bandung (hihii … iseng banget yak).

Yah, Bandung kan kota kecil, apalagi bagi para seleb lokal seperti kami ini (hahaha … huekkk), pergaulannya saling sambung-menyambung menjadi satu. Jadi, bagi anak-anak Bandung yang merasa “gaul”, pasti tahu sosok tante-tante pengusaha ini.

Yang pertama adalah Tante Hendra. Saya sudah tahu si Tante ini sejak SMP, sejak mulai senang main-main dan jalan-jalan. Entah siapa nama sebenarnya, tapi beliau adalah tante-tante pemilik Taman Bacaan Hendra di Jalan Sabang, dekat Cihapit. Mungkin si Oom yang namanya Hendra, saya kurang tahu juga. Dulu, waktu saya SMP hingga kuliah, si Tante ini setia menjaga taman bacaan miliknya, bersama sang suami dan anak perempuannya. Sebetulnya ada dua karyawan TB Hendra yang setia, hingga saya kuliah pun masih belum ganti, satu bapak-bapak, satu ibu-ibu.

Taman Bacaan Hendra ini adalah taman bacaan beken seBandung Raya, karena paling lengkap pada zamannya—mulai dari komik dan novel serial komik jadul, komik Jepang, komik Eropa, buku terjemahan, buku karya pengarang Indonesia, hingga majalah-majalah. Anggotanya tersebar dari seluruh penjuru Bandung. Nggak melebih-lebihkan, tapi memang betul, karena saya saja berasal dari daerah Sarijadi, dan teman saya dari daerah Buahbatu, sama-sama pernah menjadi anggota taman bacaan ini. Entah, saat ini si Tante Hendra masih ada nggak ya, karena sudah lama sekali saya nggak berkunjung ke sana. Kartu anggotanya pun sudah hilang.

Di seberang Taman Bacaan Hendra, ada sebuah toko kertas dan kerajinan yang bernama Toko Tidar. Nah, ada seorang tante juga di Toko Tidar ini, saya nggak tahu juga namanya—sebut saja Tante Tidar. Wuah, saya senaaang sekali kalau main ke Toko Tidar. Soalnya, banyak kertas-kertas daur ulang yang bagus-bagus, hiasan-hiasan yang lucu, bahan baku kerajinan yang unik-unik, hingga yang sudah jadi produk, misalnya bingkai foto, stationery, atau jam dinding.

Toko Tidar ini memiliki jam buka yang aneh, karena ada jam istirahatnya—siang sampai sore. Beberapa kali saya kecewa karena sudah niat jauh-jauh main ke Toko Tidar, ternyata tutup (nggak belajar dari pengalaman dan sering lupa jam bukanya). Gosipnya sih si Tante Tidar hobi tidur siang, hihihiiii …. Tante Tidar ini pula yang menjadi pelanggan pertama kuenya ibutio (Teh Uci, sepertinya asyik kalau pengalaman pertama bisnis kuenya diceritakan hehehe).

Tante berikutnya adalah Tante Yosiko. Sama, ini juga saya nggak tahu namanya. Disebut Tante Yosiko karena beliau memiliki toko kertas dan stationery yang bernama Yosiko di Balubur—dulu dekat Kebon Bibit, sekarang pindah ke lokasi baru dekat Gelapnyawang. Waktu itu saya bimbingan SR di SD Kebon Bibit, jadi sudah pasti harus sering membeli kertas dan pensil. Dan toko langganannya ya Yosiko ini. Barangnya lengkap dan lebih murah, apalagi dibandingkan dengan Gramedia atau toko-toko lainnya.

Dulu, si Tante sudah hafal dengan belanjaan kami, kertas gambar berukuran A2, pensil beragam jenis (mulai dari sekian H hingga sekian B), dan penghapus. Tapi, sejak terdampar di Astronomi dan nggak butuh kertas gambar, saya mulai jarang mengunjungi Tante Yosiko. Paling sekali-sekali saja. Sejak pindah ke Pasar Balubur baru, saya nggak pernah lagi melihat si Tante jaga di tokonya. Lagipula, saya semakin jarang ke Balubur, karena memang jarang ada perlu. Dan dulu, para pembimbing SR itu sempat bergosip (yang sudah pasti ngarang), jika Tante Yosiko itu musuhan sama Tante Tidar, hihihiiiii … Asal (Gara-gara persaingan menjual kertas).

Akhir-akhir ini, saya tahu satu tante lagi, yaitu Tante Sedjati, pemilik Toko Sedjati yang menjual bahan-bahan kue, di daerah dekat Stasiun Hall. Gara-garanya sih karena sejak ngewarung sering membeli mayones, saus, dan sambal literan. Paling murah ya di Sedjati—bisa beda tiga belas ribu dengan harga supermarket! Tante Sedjati ini keren banget (menurut kesaksian ibutio juga), karena hafal harga-harga di luar kepala. Nggak perlu melihat contekan. Nggak perlu berpikir dan mengingat-ingat lama. Begitu kita tanya, “Anu harganya berapa?” Tante Sedjati langsung menjawabnya.

Sama seperti Toko Tidar, saya senaaaang sekali kalau berkunjung ke Toko Sedjati. Meskipun malas di perjalanan (karena Stasiun Hall sering macet). Membayangkan berkilo-kilo (berkuintal-kuintal, mungkin) cokelat, mentega, keju, keju krim, krim kocok, terigu, kenari, mayones, dan bahan-bahan makanan lainnya, serta takjub melihat deretan botol esens dan berbagai bahan makanan. Ada juga mesin pembuat fondue (yang sampai sekarang masih membuat saya penasaran), beragam cetakan, loyang, serta segala macam yang berhubungan dengan kue-kue dan masak-masak!

Uh, tapi amit-amit dah kalau kita berkunjung ke Sedjati saat bulan puasa. Penuh sesak! Orang-orang antre membeli bahan kue, baik porsi besar maupun untuk dimakan sendiri. Kuncinya datang ke Sedjati hanya satu: jangan banyak omong. Tulis saja pesanan kita di kertas, berikan kepada si Tante atau para pramuniaga, lalu tunggu, sambil memerhatikan bahan-bahan makanan yang berderet—atau mengamati sibuknya mbak-mbak pramuniaga yang menakar bahan-bahan. Setelah pesanan kita siap, pramuniaga biasanya memberikan kertas kita ke si Tante atau kasir asistennya, dan mereka mulai menghitung. Hanya cukup mengucapkan terima kasih—kecuali kalau barang yang kita pesan nggak ada dan para pramuniaga menawarkan alternatif lain (misalnya “ABC lagi kosong, Del Monte mau nggak?).

Di bidang katering, ada lagi seorang tante, tapi perkecualian, yang ini beken dengan panggilan “Ibu”—Ibu Tony. Ibu Tony ini adalah istri seorang dosen ITB yang berbisnis katering, dan paling terkenal di seantero Bandung. Sampai-sampai tercetus, “Kalau ke kawinan yang kateringnya Ibu Tony, harus makan masakan lidahnya!” (Bukan lidah Ibu Tony, pastinya, hihiii). Dan Ibu Tony ini juga yang membuat si Antjheu suatu hari berhasil membujuk saya menemaninya ke kawinan, karena suaminya berhalangan, dengan iming-iming, “Temenin gua, KATERINGNYA BU TONY, MAR!” Hahahaaaa!

Ada satu lagi tante yang sempat saya lihat menunggui tokonya, yaitu Tante di Toko Sumber Hidangan, yang menjual kue-kue legendaris yang terkenal sejak zaman Belanda. Sampai sekarang, saya masih penasaran ingin minum kopi di sana, sayang waktu wisata kuliner di Braga bersama Suze Antie waktu itu, kafe Sumber Hidangan sedang tutup dan baru buka sore hari, jadi kami hanya beli kue dan selai kacang untuk dibawa pulang. Jadi, gosipnya, Tante Sumber Hidangan ini punya jadwal tidur siang yang sama dengan Tante Tidar, hihihiiiii ….

Sebetulnya sih, pasti masih banyak tante-tante pengusaha di Bandung ini. Hanya saja, yang menurut saya paling legendaris (dan saya tahu) ya para tante di atas. Saya juga nggak tahu apakah para tante itu masih ada atau sudah meninggal (kecuali Tante Sedjati, karena baru beberapa minggu saya belanja di sana, Ibu Tony, karena masih aktif berbisnis katering, dan Tante Sumber Hidangan, karena terakhir ke sana masih ada).

Kalau ada yang mengenal para tante tersebut, mohon maaf ya kalau saya sering menggosipkan mereka, ngawur lagi hihihiiii …. Yah, digosipkan itu berarti tandanya mereka memang terkenal dan legendaris. Sebetulnya juga masih banyak tante-tante lainnya, seperti Tante Teko (pemilik kafe Teko di daerah Ciumbuleuit), Tante Reading Lights (pemilik toko buku Reading Lights di Siliwangi), hingga Tante-Tante Dharma Wanita ITB yang mengelola kantin GKU Barat (hikhikhik … dulu sering dimarahi tante-tante ini, “Taruh saja uangnya di situ, Sayang!” “Sebentar, Sayang, sabarrrrrr!”). Tapi kalau diabsen semua, ya capeeeeek!

Saya juga sering bertanya-tanya, apakah saya bisa jadi tante legendaris Bandung seperti mereka? (Menurut saya, yang kemungkinan besar jadi tante legendaris Bandung itu adalah Teh Uci dan Teh Echy, hihihiiii) Mudah-mudahan saja!

 

Catatan

Oh, tentu saja fotonya WAJIB foto Ny. Hj. Romlah, pengusaha angleng dan wajit dari Cililin. Sudah terbukti, Tante Romlah memang legendaris. Meskipun Cililin agak “nyingcet” dari Bandung, Tante Romlah JUARA!

Catatan Tambahan
Maaf, lupa mencantumkan satu calon tante legendaris di Bandung: Tante Boit sang juragan Omuniuum, hahahahahaaa ....