Subuh-subuh, saat sedang
enak-enaknya tidur karena badan sudah hangat, saya terbangun oleh suara Aini,
sang danlat SMA yang wajahnya mirip Acha Septriasa tapi berjilbab (hehehe …
mulai lagi deh mirip-miripin orang :p). Setelah sikat gigi dan sholat subuh,
saya mulai merendam-rendam kacang hijau. Sebetulnya sih ada beberapa usul
supaya merendam kacang hijaunya dari malam saja, tapi si Aq bilang “Nanti jadi
toge atuh!” Akhirnya saya memutuskan untuk merendamnya subuh-subuh. Bersama
Avni, saya menyiapkan bubur kacang hijau untuk para calon siswa. Gula merah
ada, santan instan juga sudah ada (hasil ribut-ribut kemarin malam, akhirnya si
Perju yang beli sebelum naik hehehe), jahe tinggal dimemarkan.
Dan ternyata … entah salah
perhitungan atau memang saya yang grogi karena sudah lama nggak “kesurupan dewa
dapur”, saat jam sarapan calon siswa hampir tiba, bubur kacang hijaunya masih
keras. Syukurlah ada sisa nasi semalam, dua kaleng kornet, dan dua bungkus
abon. Sayang nggak ada minyak atau mentega, karena seplastik minyak goreng
milik dapur kemarin sudah dipasrahkan kepada si bapak penjaga bumi perkemahan
karena tadi malam beliau yang memasakkan makan malam. Jadilah Komeng dan Roy
kembali ke warung. Syukurlah masih ada sisa sedikit, jadi bisa bikin nasi
goreng asal (yang kalau dipikir-pikir, kok lebih mirip nasi makanan kucing yang
biasa dibikin si Papap, ya? Hehehe). Jadi, para calon siswa makan itu dulu,
baru makan bubur kacang hijau. Waktu saya coba sih kuahnya enak, kacang
hijaunya juga sudah lunak meskipun nggak pecah-pecah.
Setelah makan (dengan menu yang
sama, minus bubur kacang hijau), para anggota mulai beres-beres. Sementara,
saya masih menyiapkan mie campur bihun goreng instan untuk si Aq. Omen sempat
meledek, “Umay, so sweeeet …” Sebetulnya sih bukan so sweet-so sweet amat, tapi
si Aq mah nggak bakal makan kalau makanannya nggak disorongkan ke depan
hidungnya. Tapi waktu dia makan, sudah waktunya berangkat. Akhirnya saya
tinggalkan saja, katanya nanti si Aq akan menyusul. Ya sudah, saya berangkat
dengan Roy dan Agung Harsa, kira-kira jam 08.30.
Selama setengah jam perjalanan sih
belum terasa capek, karena jalurnya masih relatif datar. Paling-paling hanya
mendaki sedikit, dengan kemiringan paling banyak 30 derajat. Setelah lebih dari
setengah jam … mulai terengah-engah. Syukurlah Roy dan Agung lumayan bersabar
karena membawa “turis”, jadi setiap beberapa meter mendaki, saya istirahat dulu
dengan degup jantung sangat keras, sampai terasa di telinga. Begini nih kalau
fisik sudah nggak begitu fit karena jarang sekali berolahraga, berat badan sudah
bertambah banyak (ya, memang, membuat susah melangkah). Karena Roy membawa
bendera GPA, dia bergegas duluan. Saya cuma ditemani Agung. Awalnya sih masih
bisa mengobrol, tapi lama-lama untuk bersuara pun susah, puihhhh ….
Aduh, nggak enak juga nih sama
Agung. Kasihan kalau dia menunggui saya terus. Saya sudah minta dia duluan
saja, biar saya jalan sendiri. Kalau nggak kuat kan paling-paling balik lagi ke
bawah, hehehe .... Jalurnya nggak sulit kok, tinggal mengikuti jalan setapak.
Tapi Agung nggak mau. Syukurlah beberapa saat kemudian ada suara langkah kaki
di belakang kami—si Aq. Dengan lega, Agung pamit duluan (hahaha … mungkin dia
sangat bersyukur karena nggak usah menunggui saya istirahat).
Kehadiran si Aq ternyata nggak
membantu juga, hahahaha …. (yah, beginilah nasib “old-married” couple,
hahahahaha. Sama sekali nggak nambahin semangat, malah dikentutin melulu sama
si Aq, seballl!) Tetap saja, beberapa menit sekali saya berhenti dengan napas
memburu. Apalagi ketika menghadapi banyak tanjakan “maut”, yang membuat kaki
berada di lutut dan lutut berada di kepala! Kira-kira, rata-rata kemiringannya
lebih dari 60 derajat deh. Energi untuk bersuara betul-betul sudah terkuras,
jadi kebanyakan sih saya cengar-cengir, sementara si Aq meledek terus. Tapi,
setidaknya keinginan untuk turun kembali jadi terhapus, karena dipikir-pikir
sudah tanggung juga.
Setelah ditunggui, diledek,
dikentuti, kadang-kadang didorong dan ditarik, sedikit dibohongi (“Dek! Tuh
liat, di atas udah terang! Bentar lagi puncak!” hahaha … tipuan yang berlaku
sepuluh tahun yang lalu itu mah, sama dengan tipuan klasik “Di puncak nanti ada
yang jualan lotek sama teh botol, lhoo …”), akhirnya sampai ke sebuah puncak
juga. Tapi, nggak ada anak-anak. Dan sebalnya, ada plang penunjuk arah
bertuliskan “Puncak” yang mengarah ke jalan setapak menurun. Oh noooo … yang
betul saja, mau ke puncak kok turun dulu sih? Ya sudah, saya jalani saja lagi.
Nggak lama kemudian, ada satu puncak lagi, tapi si Aq menunjuk, di kejauhan terlihat
Agung dan Roy sedang mendaki tanjakan gersang bertanah merah. Lagi-lagi oh
noooo …. Tapi dalam hati sih bersyukur, karena perjalanan sudah sebentar lagi.
Selain itu, banyak bonus berupa pemandangan indah dari ketinggian, Situ Lembang
yang airnya sedang surut pun terlihat jelas.
Akhirnya, setelah baju basah oleh
keringat, kulit perih tersengat matahari (kebetulan lagi nggak punya sunblock,
hiks …), debar jantung nggak keruan, dan betis terasa hampir bucat, sampailah
saya dan si Aq ke puncak Gunung Burangrang. Ini betul-betul puncak! Saat itu
waktu menunjukkan sekitar pukul 11.30an. Ternyata, waktu yang saya perlukan
untuk sampai puncak Gunung Burangrang hanya sekitar tiga jam (atau tiga
setengah jam lah …)! Takjub juga sih sama kemampuan diri sendiri, karena merasa
sudah nggak fit sama sekali! Agung juga bilang, “Kirain Umay turun lagi tadi,
ternyata nyampe juga.” Hehehe … iya Gung, saya juga heran.
Setelah berfoto-foto di titik
triangulasi (Gunung Burangrang, 2050 mdpl—meter dari permukaan laut), rombongan
kami pindah ke puncak “bohong” yang satu, untuk melaksanakan ritual
pra-pendidikan dasar: adu panco. Mulai dari pertandingan antarcalon siswa, lalu
perwakilan anggota. Pemenang dari calon siswa adalah Bisuk (aneh ya namanya),
sementara dari perwakilan anggota adalah Perju (Mau tau nggak nama lengkap
Perju? Siap-siap … Perjuangan Hidup Nasional Nainggolan hahaha …Beneran,
sungguh, ini nama aslinya). Setelah adu panco selesai dan para siswa serta
anggota masih beristirahat, saya dan Agung memutuskan untuk turun duluan.
Curi-curi start gitu bok, soalnya perjalanan turun gunungnya harus mendaki
beberapa kali dulu, hehehe …. Hadi juga bergabung bersama kami. Si Aq entah di
mana, sepertinya dia jalan-jalan dulu ke jalur di seberang titik triangulasi.
Perjalanan turun memang tidak
seberat pendakian—jantung dan paru-paru tidak terlalu keras bekerja, tapi lutut
dan jari-jari kaki yang menahan. Hanya saja, karena medannya curam, kami
seringkali terpeleset waktu menjejak pasir yang kering—apalagi Agung, yang
terkenal sebagai Agung Labil, hahaha. Di tengah jalan, Hadi memutuskan untuk
menunggu rombongan, karena dia harus jadi petugas jalur. Saya dan Agung
meneruskan perjalanan. Eh, di tengah jalan kami disusul si Aq lagi. Kali ini dia
langsung melesat ke depan, menyalip kami (entah karena menganggap saya nggak
terlalu repot lagi dalam perjalanan turun, entah curi-curi start juga hehehe).
Di perjalanan turun, saya hanya beristirahat satu kali untuk makan biskuit
cokelat.
Selama perjalanan turun gunung, tak
henti-hentinya saya merasa lebih takjub dan lebih heran. Kok bisa ya, saya
memaksa diri mendaki gunung terjal ini. Dan heran juga, kok waktu yang
diperlukan sejak berangkat sampai kembali ke basecamp nggak lama-lama amat.
Sungguh aneh.
Kira-kira jam 1 lewat, kami sudah
sampai ke bumi perkemahan. Rasanya nikmat sekali berjalan di jalur datar dengan
pohon-pohon pinus di kiri-kanan, meskipun kaki saya terasa cenut-cenut. Sampai
di basecamp, si Aq sudah terkapar di bawah pohon, hahaha. Saya dan Agung juga
ikut terkapar setelah membuka sepatu. Kira-kira dua puluh menit kemudian, para
calon siswa dan anggota muncul. Kami lalu makan. Waktu makan ini, si Aq mencoba
bubur kacang hijau buatan saya. Dia langsung protes, karena kacang hijaunya masih
keras, hahahaha! Si Soe Hok Tau juga mencoba, dan komentarnya begini, “Hebat
ini mah bubur kacang ijo teh, nyakrek kieu May,” (nyakrek = crunchy). Tapi
meskipun begitu, dia menghabiskan dua gelas (“Soalna lapar,” begitu alasannya).
Itu dia akibatnya karena grogi, sudah lama nggak going outdoor, hahaha ….
Acara setelah makan dan istirahat
adalah pelantikan siswa. Karena bertugas sebagai tukang potret, saya nggak ikut
upacara. Dan, seperti biasa—meskipun sudah berlatih dan gladiresik, upacara
anak-anak GPA seringkali kacau, hahaha … (kalau ketahuan anak Paskibra pasti
diprotes, tapi meskipun saya mantan Paskibra SMP, saya nggak protes). Prof,
anak SMA yang jadi komandan instruktur, salah memberi perintah geser.
Seharusnya geser dua langkah ke kiri, eh … malah dua langkah ke kanan. Jadi
terpaksa dikurangi lagi dengan perintah geser empat langkah ke kiri (dan
setelah itu si Prof diledek, katanya otaknya sudah terlalu penuh jadi perintah
sederhana saja nggak bisa, hahaha). Waktu itu para instruktur yang harusnya
tampil berwibawa itu terpaksa menunduk dan menahan diri supaya nggak tertawa.
Dasar, sejak dulu kebiasaan!
Nah, sekarang waktunya beres-beres.
Mohon maaf, karena sudah capek banget, saya nggak ikutan ya (hahaha … sok
swasta begini). Akhirnya, kami pulang juga. Dan seperti perjalanan pergi,
sekarang saya dan si Aq terguncang-guncang lagi di atas si Surti. Dan sial …
kok bawaan kami lebih banyak ya? Ternyata, si Aq memasukkan sleeping bag-nya ke
dalam ransel saya, yang digantung di “dada” si Surti hanya milik saya saja. Di
perjalanan kami kembali mampir di minimarket Parongpong, membeli minum karena
haus sekali. Lalu, si Aq mengajak saya mampir ke rumah Iduy—teman SMP-nya—untuk
melihat pesanan sepatu. Ough … padahal sudah capek berat. Di rumah Iduy juga rasanya
ingin tidur (meskipun Opi, istrinya Iduy menawarkan saya tidur bersama Au’,
tapi kan celana saya kotor banget!).
Akhirnya, sekitar jam 5 sore sampai
di rumah juga. Saya langsung mandi dan keramas. Si Aq juga mandi dan setelah
itu dia cukuran (sungguh aneh, kok turun gunung langsung cukuran ya? Hehe).
Sebelum pulang, si Roy sudah
mengajak-ngajak, “Sebelum puasa ke Ciremai lho May,” Saya bujuk-bujuk supaya
nanti saja setelah lebaran, karena pasti banyak kakaren dan bekal dari parsel.
Tapi, seharusnya sih … latihan fisik duluuuuuu! Berbahaya jika nekad berangkat
dengan modal jadi turis doang mah, kecuali kalau menyewa porter hahahaha!