Rabu, 20 September 2006

Canyoning: Mencoba Menaklukkan Air Terjun







Hiking? Sudah biasa. Rafting? Sudah
banyak operator rafting komersial di berbagai sungai di Indonesia.
Tinggal membayar sejumlah uang, kita bisa langsung menjajal jeram-jeram sungai.
Panjat tebing? Jika malas ke Citatah atau Gunung Parang, di beberapa kota
besar juga sudah banyak dibangun dinding-dinding buatan yang menyerupai tebing.






Jadi, ingin mencoba sesuatu yang
baru? Silakan mencoba canyoning. Sensasi yang dirasakan kira-kira mirip dengan
panjat tebing digabungkan dengan rafting, kegamangan berada di ketinggian
bercampur dengan percikan—bahkan guyuran—air ke tubuh kita langsung.






Canyoning (atau dikenal juga dengan
nama canyoneering) sendiri—sesuai asal katanya, canyon—sebetulnya berarti
perjalanan mengarungi canyon atau air terjun, dengan berbagai cara: berjalan,
merayap, memanjat, melompat, menuruni tebing air terjun dengan tali, dan
berenang. Tapi, kadang-kadang memang sering terjadi pergeseran atau penyempitan
makna. Biasanya sih kalau teman-teman saya mengajak “Canyoning, yuk!” itu
artinya adalah ajakan menuruni sebuah air terjun dengan teknik turun tebing
berupa rapelling dan tali-temali.






Kalau di Bandung sih, biasanya
tempat canyoning yang relatif dekat adalah Curug Ubrug di daerah Parongpong Lembang,
dekat Villa Istana Bunga dan Pusdik Kavaleri (yang banyak kuda-nya). Jalan
masuknya sih lewat Villa Istana Bunga, di dalam kompleks villa ini akan ada
gerbang menuju perkampungan penduduk. Dari situ kita bisa mencapai curug alias
air terjun ini.






Sebelum mulai menuruni air terjun,
hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari tempat untuk memasang pengaman.
Tentu saja pengaman yang dipasang harus betul-betul aman. Biasanya sih
berlapis-lapis, ada yang dipasang ke batu besar, ke batang pohon, atau ke benda
lain yang tentu saja harus kokoh betul. Kadang-kadang juga harus ada seorang
belayer di bagian bawah air terjun. Dan jangan lupa untuk memeriksa pengaman
tubuh kita, apakah harness-nya sudah terpasang sempurna atau carabiner sudah
terkunci. Jangan lupa juga pakai helm! Selain untuk keamanan dan keselamatan
kita, helm ini berguna untuk menahan semburan air. Baju yang dipakai juga
sebaiknya wetsuit untuk berbasah-basah (dan jangan lupa bawa ganti ya, sampai
baju dalam juga—soalnya memang basah sekujur tubuh).






Dan memang betul, sensasi rasanya …
glek! Pertama menjejakkan kaki di bebatuan saja sudah tegang, karena batu-batu
basah terasa licin di kaki. Ketika mulai melangkah turun, tambah tegang lagi,
karena di bagian awal air terjun ini semburan air begitu kuat. Hati-hati juga
jangan sampai jari kita terjepit di antara tali dan batu (soalnya saya pernah
begitu, hikhikhik … moal deui deui). Kalau nggak mau begitu, berarti pijakan
kaki kita harus kuat ke tebing air terjun (jadi tali pengaman nggak akan
menempel di batu). Selama beberapa detik, waktu itu saya merasa sesak napas.
Karena, selain tegang dan takut pegangan saya pada tali terlepas, deru air
terasa membuat tuli dan dorongannya begitu kuat, menampar kepala, wajah,
terutama mata. Tetapi, beberapa saat kemudian, saat sudah agak turun, baru
terasa kenikmatannya. Serangan air sudah mulai mereda dan indra kita sudah bisa
berfungsi kembali—melihat pemandangan indah dari ketinggian dan mendengarkan
percikan air.


canyon






Setelah sampai ke bawah, biasanya
kami turun ke sebuah batu besar di bagian dasar air terjun, nggak pernah
langsung mencebur ke air (saya nggak tahu euy, teman-teman saya sudah ada yang
pernah mencoba langsung mencebur ke air belum ya? Soalnya memang sih, telanjur
basah, hehe). Setelah itu, biasanya muncul dorongan ingin lagi, lagi, dan lagi
…. (dan yang menambah kenikmatan adalah setelahnya, karena biasanya murak bekel
alias makan bekal bersama-sama. Mie kuah instan pun terasa nikmaaaaaaat!)







Mau mencoba?




(model foto: Nenk Oey & Cep Gumi, soalnya waktu bongkar-bongkar
foto cuma ada itu euy hiks ... yang di tengah beda motretnya sama yang
di pinggir-pinggir)














Kamis, 14 September 2006

Bandung Historical Walk [Part 3]


Nggak tau masih berfungsi nggak nih

Nah ... ini sesi terakhir. Mulai dari kunjungan kilat ke Toko Sumber Hidangan di Braga, diteruskan dengan makan es krim dan roti di Braga Permai (hmmm ... pengen lagi deh, sayang es krimnya one single scoop gitu, bukan yang pake whipped cream berhias red cherry, hahaha), ngintip dapur Braga Permai, lalu terus menyusur Braga, belok di depan Balaikota, terus ke Jalan Jawa, belok ke Jalan Sumatera, belok lagi ke Taman Lalu Lintas, menyusur Taman Maluku, lalu ... akhirnya sampai di Gedung Sate. Capek juga deh, hahaha ....

Rabu, 13 September 2006

Bona, Semester Baru Jangan Sendu ....




Pertama kali melihat bocah ini di
jurusan Astronomi, perasaan saya sudah nggak enak. Sepertinya tengil, centil,
dan menyebalkan. Tapi, karena beda 4 angkatan dengannya, ya saya cuek saja.
Soalnya, nggak mungkin bakal mengulang kuliah dengan angkatan 2001,
hahahahahaha! (dengan angkatan 2000 pernah sekali, waktu Matriks & Ruang
Vektor, hehehe)








Kebetulan saya nggak ikut waktu
Garden
Party—itu lho, OS-Jur Astro,
hehe—angkatan dia. Soalnya lagi demam waktu itu. Padahal itu tahun kedua saya
jadi swasta, dan seperti biasa para swasta di Himastron sudah selayaknya
menyebalkan (Contohnya, ketika suatu siang teduh dengan angin sepoi-sepoi harus
mendengarkan kisah zaman kekuasaan si Papa Tom dengan suaranya yang
menghipnotis, tanpa boleh tertidur). Sebetulnya sedikit menyesal juga kenapa
saya harus terkapar di rumah pada saat itu, karena saya ingin sekali melihat si
bocah ini disiksa setengah mampus (Setengah mampus di sini, mohon jangan dibaca
dengan persepsi perpeloncoan seperti jurusan-jurusan penuh lelaki seperti
Geologi atau Mesin ya, tapi setengah mampus karena saaangat melatih kekuatan
mental saking menyebalkannya).




Setelah Garden Party, mulailah
makhluk ini sering muncul di Himastron. Penampilannya sih gampang dikenali,
karena dia hobi sekali memakai barang-barang berwarna pink, sama dengan Ira
(salah seorang teman seangkatannya). Lama-lama, jadilah dia dijuluki Bona, dari
nama bagus-bagus Dewi Pramesti Kusumaningrum dengan panggilan Esti (Uh, sok
imut bangettt). Yang pertama kali mencetuskan “Bona” ini adalah si Nata.
Kenapa? You know lah, Bona itu kan
gajah kecil berwarna pink (hahaha … aku nggak menyinggung anatomi lho ya Bon, cuma
ngasih petunjuk :p). Setelah beberapa lama di Himastron, dia mulai akrab dengan
si Coni alias Cowok Nimbrung dan mulai deh, menyuruk-nyurukkan diri ke dalam
pergaulan kakak-kakak kelasnya yang keren-keren ini.








Awalnya, setiap bertemu saya di
Himastron, dia selalu menjerit, “Kakaaaaaaaaa!” jadi ya saya panggil saja dia
Bimbim. Tapi lama-lama, panggilan Bimbim ini memudar. Soalnya, citra “Bona”
begitu kuat melekat pada dirinya.




Yang paling khas dari si Bona ini
adalah … suaranya. Kalau kalian mendengar suaranya tanpa melihat orangnya, pasti
akan menyangka dia seorang anak TK yang tersesat di rimba belantara ITB. Suatu malam,
waktu saya sakit, dia pernah menengok ke rumah bersama Coni dan Nata. Nata
sudah masuk duluan, dia dan si Coni masih ada di ruang kelas TK di bagian depan
rumah. Tiba-tiba, terdengar suara seorang anak membaca doa, “Ya Allah, …” si
Emak langsung berlari ke depan, menyangka ada seorang anak TPA atau TK yang
masuk ke dalam kelas. Atau ketinggalan, belum pulang. Ternyata … bocah itu sedang
cengar-cengir di kegelapan bersama si Coni. Hahaha, disangka anak TK!








Karena mereka (si Coni dan Bona)
ini semakin lama semakin mendesak-desakkan diri ke dalam pergaulan, akhirnya ya
jadi akrab. Sempat juga dia dijuluki Ceni alias Cewek Nimbrung, tapi julukan
ini juga nggak bertahan lama. Akhirnya, kita jadi sering nangkring di
Himastron, bertengger di pelataran belakang Himastron sambil ngeceng
burung-burung dari kebun binatang, makan pisang panggang dan indomie rebus di
Dago, jalan-jalan berkeliling Bandung,
dan macam-macam lagi. Kalau makan di warung Padang
paling seru, apalagi kalau di Warung Padang Singgalang di Tubagus Ismail.
Biasanya saya, Nata, dan si Coni makan gulai kepala ikan patin, yang membuat si
Bona amat sebal dan ngeri, karena dia takut ikan! (Sungguh aneh, bahkan
menonton Finding Nemo yang lucu pun nggak mau!)




Acara-acara nangkring ini pula yang
membuat terbentuknya Goerita Malam, band aneh dengan personil-personil yang
aneh juga, yang hobi menyanyikan lagu-lagu Indonesia zaman dahulu tapi
sok-sokan sudah go international (manggung di hadapan profesor tamu dari
Belanda dan Jerman di Observatorium Bosscha sudah termasuk kan? Hahaha) dan
pernah mengiringi Tante Henny Purwonegoro di acara pensiun Babe. Awalnya sih,
pulang dari warung pisang panggang di Dago itu (Padaloma) kami menyanyikan
lagu-lagu perjuangan. Keras-keras, karena sudah tengah malam ini, kampus sepi. Lama-lama,
lagu-lagu perjuangan berganti menjadi lagu-lagu Indonesia Romantik, kebanyakan
karya Ismail Marzuki. Dari situ tercetusnya ide untuk mendirikan band aneh.
Kebetulan nggak berapa lama dari waktu itu, ada acara di gerbang ITB (aduh saya
lupa euy, naon nya?). Akhirnya kita jadi manggung juga dengan tiga lagu, Juwita
Malam, Payung Fantasi, dan Kopral Jono (yang belum berubah menjadi bencong,
hahaha).






Sebagai personil Goerita Malam, si
Bona ini selain vokalis juga adalah pemain flute. Ciri khas Bona jika bermain
flute adalah … jika konsentrasi terganggu, flute-nya nggak bunyi (biasanya
karena tertawa, hahaha … ya sudah jelas lah!). Dan anehnya, kalau sedang
menyanyi, hilanglah suara cempreng yang menyebalkan itu. Berganti dengan husky
voice
yang menggoda, hahaha. Selain kursus flute, dia juga sempat les balet (oh
noooo … Bon, please duech. Meskipun waktu TK juga aku ikut balet, tapi sekarang,
Bon? Hahaha). Mungkin bakat seni ini sudah terpupuk sejak kecil, waktu ssst …
dia sempat jadi artis cilik (sayang saya nggak tahu nama trio-nya apa, tapi
penasaran ingin menonton videoklipnya dan tertawa puas, hahahahahahahahaha!).
Dan mungkin ini juga yang membuat dia punya banyak referensi gaya
aneh, yang pernah dipraktikkan saat pertama kali Goerita Malam manggung
hahahahaha ….






Keanehan demi keanehan semakin
bertumpuk, terutama saat dia main ke Pasar Simpang bersama si Nata. Ceritanya
bisa dibaca di sini. Padahal ibunya pengusaha restoran yang sukses lho, dengan
sop buntut yang terkenal. Hubungan dekat dengan ibunya ini juga sering jadi bahan
ledekan, soalnya dia manja, hahahaha! Suatu kali, dia pernah menerima telepon
dari rumah. Yang pertama bicara adalah kakaknya. Biasa deh, dengan kakak cowok kan
sering berantem. Lama-lama, dia bertanya, “Mama mana?” Setelah ibunya yang
berbicara di seberang sana, tiba-tiba
suaranya berubah drastis! (yah, mirip anak TK lagi, hahaha). Sepandai-pandainya
menutupi, tetap saja hal-hal memalukan ini bisa diketahui oleh khalayak.
Seperti saat dia salah mengirim sms untuk ibunya ke nomor hp si Abang, yang
isinya “Mamaku chayank, … dst., dsb. … (hahaha … nanti aku dimusuhin ah kalau
ditulis di sini isinya apa).










Satu lagi keanehan dari Bona,
setiap semester baru dia sering gelisah. Sampai-sampai si Nata membuatkan sebuah
slogan untuknya, berbunyi “Semester Baru Jangan Sendu”. Syukurlah tampaknya
semester ini dia sudah nggak begitu sendu, karena akhirnya lulus sarmud
jugaaaa! (Horeeee … selamat ya Boooon!) Dia juga termasuk salah seorang trio
Libra di Himastron (ulang tahunnya 4 Oktober, Ayu Louie 5 Oktober, dan saya 6
Oktober). Herannya, kepribadian tiga trio Libra ini saaangat berbeda-beda. Meskipun
sama-sama baik hati (hahaha, betul kaaaaan?), Bona ini saaangat moody. Sering
ada acara batal gara-gara dia sedang nggak mood. Tapi dia baik hati, selalu
siap menolong jika ada teman yang tertimpa musibah.






Masih banyak sih tentang Bona yang
nggak bisa ditulis di sini. Seperti tentang kisah-kisah cintanya yang
menyedihkan (padahal sih banyak orang yang bersedia mengadopsinya sebagai
pacar, huuuu!), kesukaannya terhadap kopi dingin yang dibeli di Circle K, kegilaannya
terhadap lagu-lagu swing jazz, dan banyak lagi.











Jadi Bon, ini kan
masih semester baru. Semester baru, jangan sendu, okeyyyyy!






Keterangan foto:


1. Duet sama Tante Henny di Bosscha

2. Show di pelataran depan Himastron bersama Cuppy si Cumi-Cumi, Atep, dan Onah

3. Ini dia ... Semester Baru Jangan Sendu! (foto bututnya itu bikinan si Nata
ya? Jadi kalo butut ya maklum aja hahahahahahaha!)






Senin, 11 September 2006

Bandung Historical Walk [Part 2]




Ini bagian kedua: dari makam "Dalem Bandung", yaitu sang Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II beserta keluarga, lalu perjalanan berlanjut ke Banceuy, lalu ke Braga

Minggu, 10 September 2006

Bandung Historical Walk [Part 1]




Ini foto-foto dari titik start di Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika, titik nol kota Bandung, Savoyy Homann, Ruko Padang, Gedung PLN, sampai di Pendopo Alun-Alun Bandung.

Karena kameranya pocket, ya beginilah hasilnya, tapi lumayan kan daripada nggak ada, hehehehe ...

Kamis, 07 September 2006

BURANGRANG [PART2]









Subuh-subuh, saat sedang
enak-enaknya tidur karena badan sudah hangat, saya terbangun oleh suara Aini,
sang danlat SMA yang wajahnya mirip Acha Septriasa tapi berjilbab (hehehe …
mulai lagi deh mirip-miripin orang :p). Setelah sikat gigi dan sholat subuh,
saya mulai merendam-rendam kacang hijau. Sebetulnya sih ada beberapa usul
supaya merendam kacang hijaunya dari malam saja, tapi si Aq bilang “Nanti jadi
toge atuh!” Akhirnya saya memutuskan untuk merendamnya subuh-subuh. Bersama
Avni, saya menyiapkan bubur kacang hijau untuk para calon siswa. Gula merah
ada, santan instan juga sudah ada (hasil ribut-ribut kemarin malam, akhirnya si
Perju yang beli sebelum naik hehehe), jahe tinggal dimemarkan.




Dan ternyata … entah salah
perhitungan atau memang saya yang grogi karena sudah lama nggak “kesurupan dewa
dapur”, saat jam sarapan calon siswa hampir tiba, bubur kacang hijaunya masih
keras. Syukurlah ada sisa nasi semalam, dua kaleng kornet, dan dua bungkus
abon. Sayang nggak ada minyak atau mentega, karena seplastik minyak goreng
milik dapur kemarin sudah dipasrahkan kepada si bapak penjaga bumi perkemahan
karena tadi malam beliau yang memasakkan makan malam. Jadilah Komeng dan Roy
kembali ke warung. Syukurlah masih ada sisa sedikit, jadi bisa bikin nasi
goreng asal (yang kalau dipikir-pikir, kok lebih mirip nasi makanan kucing yang
biasa dibikin si Papap, ya? Hehehe). Jadi, para calon siswa makan itu dulu,
baru makan bubur kacang hijau. Waktu saya coba sih kuahnya enak, kacang
hijaunya juga sudah lunak meskipun nggak pecah-pecah.






Setelah makan (dengan menu yang
sama, minus bubur kacang hijau), para anggota mulai beres-beres. Sementara,
saya masih menyiapkan mie campur bihun goreng instan untuk si Aq. Omen sempat
meledek, “Umay, so sweeeet …” Sebetulnya sih bukan so sweet-so sweet amat, tapi
si Aq mah nggak bakal makan kalau makanannya nggak disorongkan ke depan
hidungnya. Tapi waktu dia makan, sudah waktunya berangkat. Akhirnya saya
tinggalkan saja, katanya nanti si Aq akan menyusul. Ya sudah, saya berangkat
dengan Roy dan Agung Harsa, kira-kira jam 08.30.






Selama setengah jam perjalanan sih
belum terasa capek, karena jalurnya masih relatif datar. Paling-paling hanya
mendaki sedikit, dengan kemiringan paling banyak 30 derajat. Setelah lebih dari
setengah jam … mulai terengah-engah. Syukurlah Roy dan Agung lumayan bersabar
karena membawa “turis”, jadi setiap beberapa meter mendaki, saya istirahat dulu
dengan degup jantung sangat keras, sampai terasa di telinga. Begini nih kalau
fisik sudah nggak begitu fit karena jarang sekali berolahraga, berat badan sudah
bertambah banyak (ya, memang, membuat susah melangkah). Karena Roy membawa
bendera GPA, dia bergegas duluan. Saya cuma ditemani Agung. Awalnya sih masih
bisa mengobrol, tapi lama-lama untuk bersuara pun susah, puihhhh ….






Aduh, nggak enak juga nih sama
Agung. Kasihan kalau dia menunggui saya terus. Saya sudah minta dia duluan
saja, biar saya jalan sendiri. Kalau nggak kuat kan paling-paling balik lagi ke
bawah, hehehe .... Jalurnya nggak sulit kok, tinggal mengikuti jalan setapak.
Tapi Agung nggak mau. Syukurlah beberapa saat kemudian ada suara langkah kaki
di belakang kami—si Aq. Dengan lega, Agung pamit duluan (hahaha … mungkin dia
sangat bersyukur karena nggak usah menunggui saya istirahat).






Kehadiran si Aq ternyata nggak
membantu juga, hahahaha …. (yah, beginilah nasib “old-married” couple,
hahahahaha. Sama sekali nggak nambahin semangat, malah dikentutin melulu sama
si Aq, seballl!) Tetap saja, beberapa menit sekali saya berhenti dengan napas
memburu. Apalagi ketika menghadapi banyak tanjakan “maut”, yang membuat kaki
berada di lutut dan lutut berada di kepala! Kira-kira, rata-rata kemiringannya
lebih dari 60 derajat deh. Energi untuk bersuara betul-betul sudah terkuras,
jadi kebanyakan sih saya cengar-cengir, sementara si Aq meledek terus. Tapi,
setidaknya keinginan untuk turun kembali jadi terhapus, karena dipikir-pikir
sudah tanggung juga.






Setelah ditunggui, diledek,
dikentuti, kadang-kadang didorong dan ditarik, sedikit dibohongi (“Dek! Tuh
liat, di atas udah terang! Bentar lagi puncak!” hahaha … tipuan yang berlaku
sepuluh tahun yang lalu itu mah, sama dengan tipuan klasik “Di puncak nanti ada
yang jualan lotek sama teh botol, lhoo …”), akhirnya sampai ke sebuah puncak
juga. Tapi, nggak ada anak-anak. Dan sebalnya, ada plang penunjuk arah
bertuliskan “Puncak” yang mengarah ke jalan setapak menurun. Oh noooo … yang
betul saja, mau ke puncak kok turun dulu sih? Ya sudah, saya jalani saja lagi.
Nggak lama kemudian, ada satu puncak lagi, tapi si Aq menunjuk, di kejauhan terlihat
Agung dan Roy sedang mendaki tanjakan gersang bertanah merah. Lagi-lagi oh
noooo …. Tapi dalam hati sih bersyukur, karena perjalanan sudah sebentar lagi.
Selain itu, banyak bonus berupa pemandangan indah dari ketinggian, Situ Lembang
yang airnya sedang surut pun terlihat jelas.






Akhirnya, setelah baju basah oleh
keringat, kulit perih tersengat matahari (kebetulan lagi nggak punya sunblock,
hiks …), debar jantung nggak keruan, dan betis terasa hampir bucat, sampailah
saya dan si Aq ke puncak Gunung Burangrang. Ini betul-betul puncak! Saat itu
waktu menunjukkan sekitar pukul 11.30an. Ternyata, waktu yang saya perlukan
untuk sampai puncak Gunung Burangrang hanya sekitar tiga jam (atau tiga
setengah jam lah …)! Takjub juga sih sama kemampuan diri sendiri, karena merasa
sudah nggak fit sama sekali! Agung juga bilang, “Kirain Umay turun lagi tadi,
ternyata nyampe juga.” Hehehe … iya Gung, saya juga heran.






Setelah berfoto-foto di titik
triangulasi (Gunung Burangrang, 2050 mdpl—meter dari permukaan laut), rombongan
kami pindah ke puncak “bohong” yang satu, untuk melaksanakan ritual
pra-pendidikan dasar: adu panco. Mulai dari pertandingan antarcalon siswa, lalu
perwakilan anggota. Pemenang dari calon siswa adalah Bisuk (aneh ya namanya),
sementara dari perwakilan anggota adalah Perju (Mau tau nggak nama lengkap
Perju? Siap-siap … Perjuangan Hidup Nasional Nainggolan hahaha …Beneran,
sungguh, ini nama aslinya). Setelah adu panco selesai dan para siswa serta
anggota masih beristirahat, saya dan Agung memutuskan untuk turun duluan.
Curi-curi start gitu bok, soalnya perjalanan turun gunungnya harus mendaki
beberapa kali dulu, hehehe …. Hadi juga bergabung bersama kami. Si Aq entah di
mana, sepertinya dia jalan-jalan dulu ke jalur di seberang titik triangulasi.






Perjalanan turun memang tidak
seberat pendakian—jantung dan paru-paru tidak terlalu keras bekerja, tapi lutut
dan jari-jari kaki yang menahan. Hanya saja, karena medannya curam, kami
seringkali terpeleset waktu menjejak pasir yang kering—apalagi Agung, yang
terkenal sebagai Agung Labil, hahaha. Di tengah jalan, Hadi memutuskan untuk
menunggu rombongan, karena dia harus jadi petugas jalur. Saya dan Agung
meneruskan perjalanan. Eh, di tengah jalan kami disusul si Aq lagi. Kali ini dia
langsung melesat ke depan, menyalip kami (entah karena menganggap saya nggak
terlalu repot lagi dalam perjalanan turun, entah curi-curi start juga hehehe).
Di perjalanan turun, saya hanya beristirahat satu kali untuk makan biskuit
cokelat.






Selama perjalanan turun gunung, tak
henti-hentinya saya merasa lebih takjub dan lebih heran. Kok bisa ya, saya
memaksa diri mendaki gunung terjal ini. Dan heran juga, kok waktu yang
diperlukan sejak berangkat sampai kembali ke basecamp nggak lama-lama amat.
Sungguh aneh.






Kira-kira jam 1 lewat, kami sudah
sampai ke bumi perkemahan. Rasanya nikmat sekali berjalan di jalur datar dengan
pohon-pohon pinus di kiri-kanan, meskipun kaki saya terasa cenut-cenut. Sampai
di basecamp, si Aq sudah terkapar di bawah pohon, hahaha. Saya dan Agung juga
ikut terkapar setelah membuka sepatu. Kira-kira dua puluh menit kemudian, para
calon siswa dan anggota muncul. Kami lalu makan. Waktu makan ini, si Aq mencoba
bubur kacang hijau buatan saya. Dia langsung protes, karena kacang hijaunya masih
keras, hahahaha! Si Soe Hok Tau juga mencoba, dan komentarnya begini, “Hebat
ini mah bubur kacang ijo teh, nyakrek kieu May,” (nyakrek = crunchy). Tapi
meskipun begitu, dia menghabiskan dua gelas (“Soalna lapar,” begitu alasannya).
Itu dia akibatnya karena grogi, sudah lama nggak going outdoor, hahaha ….






Acara setelah makan dan istirahat
adalah pelantikan siswa. Karena bertugas sebagai tukang potret, saya nggak ikut
upacara. Dan, seperti biasa—meskipun sudah berlatih dan gladiresik, upacara
anak-anak GPA seringkali kacau, hahaha … (kalau ketahuan anak Paskibra pasti
diprotes, tapi meskipun saya mantan Paskibra SMP, saya nggak protes). Prof,
anak SMA yang jadi komandan instruktur, salah memberi perintah geser.
Seharusnya geser dua langkah ke kiri, eh … malah dua langkah ke kanan. Jadi
terpaksa dikurangi lagi dengan perintah geser empat langkah ke kiri (dan
setelah itu si Prof diledek, katanya otaknya sudah terlalu penuh jadi perintah
sederhana saja nggak bisa, hahaha). Waktu itu para instruktur yang harusnya
tampil berwibawa itu terpaksa menunduk dan menahan diri supaya nggak tertawa.
Dasar, sejak dulu kebiasaan!






Nah, sekarang waktunya beres-beres.
Mohon maaf, karena sudah capek banget, saya nggak ikutan ya (hahaha … sok
swasta begini). Akhirnya, kami pulang juga. Dan seperti perjalanan pergi,
sekarang saya dan si Aq terguncang-guncang lagi di atas si Surti. Dan sial …
kok bawaan kami lebih banyak ya? Ternyata, si Aq memasukkan sleeping bag-nya ke
dalam ransel saya, yang digantung di “dada” si Surti hanya milik saya saja. Di
perjalanan kami kembali mampir di minimarket Parongpong, membeli minum karena
haus sekali. Lalu, si Aq mengajak saya mampir ke rumah Iduy—teman SMP-nya—untuk
melihat pesanan sepatu. Ough … padahal sudah capek berat. Di rumah Iduy juga rasanya
ingin tidur (meskipun Opi, istrinya Iduy menawarkan saya tidur bersama Au’,
tapi kan celana saya kotor banget!).






Akhirnya, sekitar jam 5 sore sampai
di rumah juga. Saya langsung mandi dan keramas. Si Aq juga mandi dan setelah
itu dia cukuran (sungguh aneh, kok turun gunung langsung cukuran ya? Hehe).






Sebelum pulang, si Roy sudah
mengajak-ngajak, “Sebelum puasa ke Ciremai lho May,” Saya bujuk-bujuk supaya
nanti saja setelah lebaran, karena pasti banyak kakaren dan bekal dari parsel.
Tapi, seharusnya sih … latihan fisik duluuuuuu! Berbahaya jika nekad berangkat
dengan modal jadi turis doang mah, kecuali kalau menyewa porter hahahaha!









Rabu, 06 September 2006

BURANGRANG [PART 1]




Ajakan naik gunung lagi ternyata sulit
ditolak. Padahal “hanya” Gunung Burangrang, di sebelah utara kota Bandung. Acara
sebetulnya sih adalah pembukaan pra-pendidikan & latihan dasar GPA, intinya
sih pelantikan siswa baru (Mau jadi siswa aja dilantik. Nanti ada lagi
pelantikan anggota muda, lalu setelah menempuh beberapa tahap pendidikan
lanjutan lagi baru ada pelantikan anggota penuh, ough … syukurlah sudah
melewati masa-masa itu, hehehe).






Rencana sudah disiapkan seminggu
sebelumnya, dengan mengajukan cuti pada hari Senin, tanggal 4 September
kemarin. Acara naik gunungnya sih hari Minggu, 3 September, tapi kami akan
mulai bermalam di area dekat Bandrek yang sekarang jadi bumi perkemahan. Karena
di formulir cuti kantor saya ada isian “Alasan cuti” (sungguh aneh, padahal kan
cuti itu hak pribadi ya, nggak usah ditanya alasannya apa hehehe), saya
mengisinya dengan “Acara keluarga”. Betul kan, nggak bohong-bohong amat? Acara
dengan keluarga besar GPA, hahahahaha …. Selain itu, sebetulnya cuti hari Senin
tersebut adalah karena saya takut bangun terlambat karena hari Minggunya
terlalu capek.






Karena sudah lama nggak
“leuleuweungan”, saya agak grogi juga waktu mengepak barang-barang. Padahal
cuma mau pergi dua hari satu malam. Mana nggak punya ransel yang lumayan besar
lagi (minimal 45 literan), hanya ada beberapa daypack yang besarnya tanggung.
Apalagi musim kemarau, pasti pada malam dan menjelang subuh dingin sekali,
hiiii … makanya saya memaksa diri membawa jaket bahan polartech yang tebal,
padahal volumenya besar. Sebetulnya sih barang-barang saya cukup di satu
daypack, tapi … OMG, saya belum membawa perbekalan. Jadi, dengan terpaksa saya
membawa lagi satu daypack untuk diisi perbekalan, ditambah dengan satu camelbag
kecil untuk dipakai si Aq. Hiks, sungguh kemping yang nggak praktis. Dan
ternyata, waktu saya sampai di sekretariat GPA di SMA 2, si Aq menunjukkan
sebuah kantong plastik besar berwarna hitam yang berisi dua buah sleeping bag.
Hahahaha … memalukan! Maenya anak PA babawaanana angkaribung (masa’ anak PA bawa
barang-barangnya ribet dan nggak praktis, gitu bok)!






Setelah para calon siswa dan
anggota yang masih SMA pergi dengan angkot carteran jurusan Stasiun – Lembang
jam 1 siang, si Aq muncul dengan si Surti tercinta. Jadilah kami menggantungkan
plastik hitam berisi sleeping bag di bagian dalam “dada” si Surti, si Aq
menggendong daypacknya yang juga penuh di depan, saya menggendong sebuah
daypack di punggung dan menyelipkan sebuah daypack di depan. Tadinya sempat
ragu-ragu, bisa nggak ya Grand Astrea ’96 yang sudah butut sampai dengan
selamat di basecamp? Belum-belum, baru sampai di Parongpong, pantat saya sudah
sakit-sakit dan pegal. Untunglah ada minimarket, jadi kami mampir dulu di situ,
membeli minum dan sempat makan burger. Setelah itu, lanjut lagi!






Ketika melewati Plang Komando, hati
saya mulai berdebar-debar. Jalan batu gitu bok, belum diaspal. Si Surti mampu
nggak ya? Apalagi dia menanggung beban yang berat di punggungnya. Makin ke
atas, jalan makin jelek, batu-batunya semakin besar. Malah ada yang
sebesar-besar kepala bayi. Hiii …. Di tengah jalan, si Aq mengambil jalan
memotong lewat perkampungan penduduk. Ough, yang ini juga sama saja. Karena
musim kemarau, debunya banyak sekali! Setelah keluar dari jalan setapak penuh
debu itu, kami melewati lagi jalan berbatu. Sampai akhirnya tiba di Bandrek,
dan kami membelok ke kiri (kalau terus sih ke Situ Lembang). Setelah melihat
mobil Jimny Jangkrik-nya si Soe Hok Tau alias Rere, si Aq terus mengemudikan si
Surti ke jalan menanjak yang berpasir halus. Di tengah jalan, hampir saja
jatuh! Untung refleks kami masih agak bagus, jadi saya segera melompat turun
dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Piuh ….






Sampai di basecamp, setelah
menurunkan barang-barang dari motor, kami langsung membantu anak-anak
mendirikan flysheet. Setelah beres, saya sempat jalan-jalan sebentar di sekitar
situ. Nggak terasa, kok tiba-tiba matahari sudah terbenam ya. Setelah maghrib,
anggota melakukan uji coba game ice breaking untuk para calon siswa. Tentu saja
sambil tertawa seperti setengah gila. Lalu, setelah para calon siswa makan dan
menjalani sesi game, mulailah sesi api unggun sekaligus perkenalan. Sayang
anggota yang datang nggak terlalu banyak, calon siswanya juga cuma enam orang
(sisanya terganjal beberapa hal, seperti izin orangtua dan katanya ada yang
sakit). Setelah itu, kami siap-siap … tidur! Ya iya lah tidur, besok pagi mau
trekking
! Apalagi karena penanggung jawab dapur ternyata nggak datang, jadilah
saya merelakan diri untuk mengurus sarapan anak-anak (nggak tanggung ya,
rasanya! Hahahaha).






Urusan tidur juga sedikit
merepotkan, karena harus “berebut lapak”. Lagipula udara dingin sekali, jadi
flysheet di dekat dapur nggak ada peminatnya. Yang banyak diminati sih di
sekitar api unggun, lumayan agak hangat soalnya, meskipun kadang-kadang bau
asap—jika angin berembus dari arah tertentu. Syukurlah kebagian tempat di dekat
api unggun. Hiii … dinginnya, padahal saya sudah memakai jaket polartech dan
menyelubungkan sleeping bag sampai kepala. Yang lumayan nikmat sih di sebelah
flysheet kami, soalnya bertengger sebuah tenda dome. Cuma nggak enak kalau mau
kudeta, soalnya bukan anak-anak GPA, tapi alumnus SMA 2 tahun 2003 yang memang
ikut kemping bersama kami. Yang menyebalkan, banyak pengunjung lain yang
ribuuuut menyanyi-nyanyi dengan keras (Ough, yang paling membuat kesal adalah
karena mereka menyanyikan lagu Nidji berulang-ulang, yang judulnya “Hapus Aku”
itu lho. Very annoying, karena lagu itu jadi terngiang-ngiang di telinga.
Huekkkkkkkk).






Setelah “uyek-uyekan” selama
beberapa lama, gelisah dan sedikit gatal-gatal, agak grogi karena besok harus
bangun pagi untuk masak bubur kacang hijau dan … mendaki Burangrang. Karena
saya termasuk PA “murtad” (perasaan banyak “murtad”-nya gini ya, astronom juga
“murtad” hahaha), saya belum pernah ke Burangrang! Memalukan! Selain itu,
pengalaman terakhir saya naik gunung itu hampir enam tahun yang lalu, waktu
perintisan jalur Selatan Gunung Halimun (kalau “leuleuweungan” ringan sih
sering, misalnya ke Situ Lembang, atau jalan kaki dari Sukawana ke Tower
Tangkuban Parahu lalu balik lagi ke Sukawana). Tapi akhirnya saya merasa nyaman
juga dan … segera tertidur.









Bersambung ya, takut kepanjangan
kan males bacanya (selain itu ngetiknya juga capek, hahahaha)












Anak-Anak Batak Main Judi




Foto ini diambil waktu Arya, keponakanku yang kiyut & menggemaskan, ulang tahun ke-1, 22 April 2005.
Main domino alias gaple-nya ini sumpeh, nggak benerrr (karena ada yang masih belum menguasai betul konsep bilangan, hehehe), cuma karena serius banget, jadi salah seorang oom menyimpan duit recehan di dekat-dekat mereka, hahahaha!