Terus terang, tulisan ini terinspirasi ANGKREN si papah manggis di SINI. Saya adalah penggemar angkot, malah sekarang juga ngerasa lebih enak naik angkot daripada naik motor (kecuali kalau jauh dan dikejar waktu seperti saat ngantor dulu, atau karena ongkosnya mahal, hihiii …). Karena itu, ada beberapa kejadian berkesan yang pernah saya saksikan atau alami di angkot.
Waktu itu saya kelas 3 SMP. Biasa lah … di seragam tercantum nama. Biasanya, nama saya cuma tertulis Maria M, tapi karena sebal, sering disangka bernama Mariam, jadi waktu kelas 3 saya panjangkan nama di seragam itu menjadi Maria Masniari L. Suatu hari saya pulang naik angkot Ciroyom – Sarijadi. Eh, taunya, si kenek berteriak dengan antusias, “Bang, Masniari nih Bang!” ke si sopir. Lalu, dia bertanya-tanya, boru apa saya, kampung di mana, rumah di mana. Hasilnya, GRETONG. Nggak perlu bayar. Gara-gara Masniari, si nama Batak yang dulu saya sebal tapi sekarang saya sukai.
Pas SMP juga, angkot Perempatan Gegerkalong (sebetulnya pertigaan sih, tapi sudah dikenal dengan nama Parapatan) – Sarijadi masih kolt yang panjaaang. Isinya banyak, karena memang belum musim motor. Kalau naik kolt yang panjang ini sih sebetulnya yang gampang di pinggir, karena di dekat situ juga ada bel. Atau, kalau mau dekat bel, di kaca dekat sopir juga ada. Plus seringkali ada keneknya. Tapi, kadang-kadang kolt ini nggak ada keneknya. Jadi, kalau kebetulan duduk di tengah, terpaksa minta tolong si penumpang yang duduk di pinggir-pinggir ini untuk memencet bel. Karena saya turun dan naik di dekat pasar (ujung rute angkot), jadi saya seringkali kebagian memencet bel ini karena duduknya bisa milih di pinggir hihihiii …. Dan yang paling berkesan di angkot kolt ini adalah stiker bertuliskan: Tonk 1000 ligir, can 1000 dak (ah, terjemahannya tanya aja sama orang Sunda, hihihihiiiiii).
Ya Tuhan, Beraninya ia!
Ini pengalaman teman GPA saya. Jadi, suatu kali dia naik angkot kebagian di dekat pintu, karena angkotnya penuh. Bareng-bareng teman GPA lainnya juga. Eh, suatu saat, tiba-tiba angkotnya berhenti mendadak. Terus karena nggak seimbang, dia mau jatuh. Daripada malu karena jatuh, mending dia loncat duluan, katanya. Sambil teriak, huaaa! Di angkot itu banyak orang Papua. Seorang Papua yang kaget langsung berteriak, “YA TUHAN,
Kalau yang ini sih pengalaman tante saya. Katanya ya, ada sepasang kekasih yang duduk di depannya pas di angkot. Lalu, angkotnya harus lewat jalan yang bergelombang. Eh, si cewek karena mungkin nggak tahan keguncang-guncang, tiba-tiba kentut. Tuuuut …. Dan kurang ajarnya si cowok, begitu denger ceweknya kentut, dia langsung teriak, “KIRI!” dan kabur ninggalin ceweknya. Hahahahahaaaa ….
Entah karena wajah saya Batak atau entah kenapa, saya sering dicurhatin sopir angkot. Prestasi saya yang paling gemilang adalah dua kali dicurhati sopir yang sama, waktu masih kerja, pulang dari Cinambo. Sopir Cicaheum – Ledeng itu bapak-bapak orang Padang, yang anaknya kuliah di Unisba. Dan dua kali saya dicurhati olehnya, pas ketika saya duduk di depan juga (kan nu geulis calik caket pa’ supir—yang cantik duduk dekat supir, hihiiii).
Pengalaman nyaris kecopetan di angkot juga pernah, tapi saat itu kebetulan saya lagi jadi petasan sumbu pendek. Di SINI ceritanya.Hihihiii ….
Yang ini pengalaman paling dahsyat (menurut saya sih) yang pernah saya alami di angkot. Waktu itu, saya masih bimbingan senirupa. Kebetulan si Abang nggak bawa mobil, jadi kami pulang bersama naik angkot (kan si Abang pembimbing di bimbingan itu juga, hihihiii). Selain kami, ada seorang penduduk Sarijadi juga yang ikut pulang, teman bimbingan saya sekaligus kakak kelas SMA, Novi yang cantik jelita (dulu mah waktu SMA saya takuuut sama dia … jutek. Saya kelas 1, dia kelas 3 lagi. Tapi pas bareng bimbingan, ternyata bisa dikurangajari, hahaha). Dari Balubur, kami naik angkot Cicaheum – Ledeng ke arah Ledeng. Angkotnya penuh. Saya dan si Abang kebagian duduk di sebelah dalam, sementara Neng Novi nan cantik jelita ini duduk pas di belakang sopir. Waktu naik, angkot sudah terdengar berisik lagu jaipongan yang penuh blaktikpuk suara kendang.
Eh, waktu angkotnya maju, mulailah si bapak yang duduk di samping sopir menari jaipongan! Dengan heboh! Wuah, gerakan tangannya ke mana-mana, mungkin sampai kena-kena ke si sopir. Si sopirnya sih cuek, tapi Neng Novi mati gaya, hihihiii …. Bayangkan, sepanjang perjalanan Balubur – Gerlong, si bapak itu nggak berhenti jaipongan, di depan matanya! Saya dan si Abang berusaha nahan ketawa karena si bapak itu, ditambah ekspresinya Novi. Mungkin dia juga pengen ketawa, tapi takut si bapak marah, karena si bapak itu jaipongannya heboh, sampai muter ke segala arah. Akhirnya, pas kami turun dari angkot, huaaaaaaaaaaaa … ngakak sengakak-ngakaknya!
Terakhir, ini ada sasakala Kiaracondong macet (sasakala = legenda, Kiaracondong = daerah di Bandung yang terkenal macet selalu). Entah siapa yang menciptakan, saya mendengar dari si Abang. Konon, dulu Kiaracondong itu masih kosong. Hanya ada sawah luaaaaas banget. Sayang banyak hama tikus. Sampai para petani kewalahan. Lalu, mereka mendapat akal: mencari kucing untuk membasmi hama tikus. Lama-lama, populasi kucing semakin meningkat. Para petani memutar otak lagi. Solusinya, memelihara anjing supaya kucing-kucing takut. Eh … ternyata, anjing-anjing ini pun semakin lama semakin baaaaanyaaaakkkk. Apa ya, yang bisa menguranginya? Akhirnya, diputuskan: Kiaracondong harus ditinggali banyak orang Batak. Ehhhhh, semakin lama, semakin baaaaanyak orang Batak yang beranak-pinak. Dan jadilah Kiaracondong macet, karena orang-orang Batak itu pada jadi sopir angkot! Hihihiii ….
(Sasakala ini nggak SARA kan, soalnya yang posting juga Batak, hihihiiiiiiiiiiii)
Gambar dicomot dari www.metro.net