Rabu, 25 Juni 2008

Tonk 1000 ligir, Can 1000 dak

Terus terang, tulisan ini terinspirasi ANGKREN si papah manggis di SINI. Saya adalah penggemar angkot, malah sekarang juga ngerasa lebih enak naik angkot daripada naik motor (kecuali kalau jauh dan dikejar waktu seperti saat ngantor dulu, atau karena ongkosnya mahal, hihiii …). Karena itu, ada beberapa kejadian berkesan yang pernah saya saksikan atau alami di angkot.


Naik Angkot GRETONG 

Waktu itu saya kelas 3 SMP. Biasa lah … di seragam tercantum nama. Biasanya, nama saya cuma tertulis Maria M, tapi karena sebal, sering disangka bernama Mariam, jadi waktu kelas 3 saya panjangkan nama di seragam itu menjadi Maria Masniari L. Suatu hari saya pulang naik angkot Ciroyom – Sarijadi. Eh, taunya, si kenek berteriak dengan antusias, “Bang, Masniari nih Bang!” ke si sopir. Lalu, dia bertanya-tanya, boru apa saya, kampung di mana, rumah di mana. Hasilnya, GRETONG. Nggak perlu bayar. Gara-gara Masniari, si nama Batak yang dulu saya sebal tapi sekarang saya sukai.


Tonk 1000 ligir, can 1000 dak

Pas SMP juga, angkot Perempatan Gegerkalong (sebetulnya pertigaan sih, tapi sudah dikenal dengan nama Parapatan) – Sarijadi masih kolt yang panjaaang. Isinya banyak, karena memang belum musim motor. Kalau naik kolt yang panjang ini sih sebetulnya yang gampang di pinggir, karena di dekat situ juga ada bel. Atau, kalau mau dekat bel, di kaca dekat sopir juga ada. Plus seringkali ada keneknya. Tapi, kadang-kadang kolt ini nggak ada keneknya. Jadi, kalau kebetulan duduk di tengah, terpaksa minta tolong si penumpang yang duduk di pinggir-pinggir ini untuk memencet bel. Karena saya turun dan naik di dekat pasar (ujung rute angkot), jadi saya seringkali kebagian memencet bel ini karena duduknya bisa milih di pinggir hihihiii …. Dan yang paling berkesan di angkot kolt ini adalah stiker bertuliskan: Tonk 1000 ligir, can 1000 dak (ah, terjemahannya tanya aja sama orang Sunda, hihihihiiiiii).


Ya Tuhan, Beraninya ia!

Ini pengalaman teman GPA saya. Jadi, suatu kali dia naik angkot kebagian di dekat pintu, karena angkotnya penuh. Bareng-bareng teman GPA lainnya juga. Eh, suatu saat, tiba-tiba angkotnya berhenti mendadak. Terus karena nggak seimbang, dia mau jatuh. Daripada malu karena jatuh, mending dia loncat duluan, katanya. Sambil teriak, huaaa! Di angkot itu banyak orang Papua. Seorang Papua yang kaget langsung berteriak, “YA TUHAN, BERANINYA IA!” dengan logatnya yang kental. Yah, meskipun malu, si teman saya itu naik angkot lagi. Teman saya yang satunya nahan ketawa sampai sakit perut. Hahahahahahaa ….


Baybay, Say ...

Kalau yang ini sih pengalaman tante saya. Katanya ya, ada sepasang kekasih yang duduk di depannya pas di angkot. Lalu, angkotnya harus lewat jalan yang bergelombang. Eh, si cewek karena mungkin nggak tahan keguncang-guncang, tiba-tiba kentut. Tuuuut …. Dan kurang ajarnya si cowok, begitu denger ceweknya kentut, dia langsung teriak, “KIRI!” dan kabur ninggalin ceweknya. Hahahahahaaaa ….


Dicurhati Sopir Angkot

Entah karena wajah saya Batak atau entah kenapa, saya sering dicurhatin sopir angkot. Prestasi saya yang paling gemilang adalah dua kali dicurhati sopir yang sama, waktu masih kerja, pulang dari Cinambo. Sopir Cicaheum – Ledeng itu bapak-bapak orang Padang, yang anaknya kuliah di Unisba. Dan dua kali saya dicurhati olehnya, pas ketika saya duduk di depan juga (kan nu geulis calik caket pa’ supir—yang cantik duduk dekat supir, hihiiii).


Marahin Copet

Pengalaman nyaris kecopetan di angkot juga pernah, tapi saat itu kebetulan saya lagi jadi petasan sumbu pendek. Di SINI ceritanya.Hihihiii ….


Jaipongan, Yuk!

Yang ini pengalaman paling dahsyat (menurut saya sih) yang pernah saya alami di angkot. Waktu itu, saya masih bimbingan senirupa. Kebetulan si Abang nggak bawa mobil, jadi kami pulang bersama naik angkot (kan si Abang pembimbing di bimbingan itu juga, hihihiii). Selain kami, ada seorang penduduk Sarijadi juga yang ikut pulang, teman bimbingan saya sekaligus kakak kelas SMA, Novi yang cantik jelita (dulu mah waktu SMA saya takuuut sama dia … jutek. Saya kelas 1, dia kelas 3 lagi. Tapi pas bareng bimbingan, ternyata bisa dikurangajari, hahaha). Dari Balubur, kami naik angkot Cicaheum – Ledeng ke arah Ledeng. Angkotnya penuh. Saya dan si Abang kebagian duduk di sebelah dalam, sementara Neng Novi nan cantik jelita ini duduk pas di belakang sopir. Waktu naik, angkot sudah terdengar berisik lagu jaipongan yang penuh blaktikpuk suara kendang.

Eh, waktu angkotnya maju, mulailah si bapak yang duduk di samping sopir menari jaipongan! Dengan heboh! Wuah, gerakan tangannya ke mana-mana, mungkin sampai kena-kena ke si sopir. Si sopirnya sih cuek, tapi Neng Novi mati gaya, hihihiii …. Bayangkan, sepanjang perjalanan Balubur – Gerlong, si bapak itu nggak berhenti jaipongan, di depan matanya! Saya dan si Abang berusaha nahan ketawa karena si bapak itu, ditambah ekspresinya Novi. Mungkin dia juga pengen ketawa, tapi takut si bapak marah, karena si bapak itu jaipongannya heboh, sampai muter ke segala arah. Akhirnya, pas kami turun dari angkot, huaaaaaaaaaaaa … ngakak sengakak-ngakaknya!


Sasakala Kiaracondong Macet

Terakhir, ini ada sasakala Kiaracondong macet (sasakala = legenda, Kiaracondong = daerah di Bandung yang terkenal macet selalu). Entah siapa yang menciptakan, saya mendengar dari si Abang. Konon, dulu Kiaracondong itu masih kosong. Hanya ada sawah luaaaaas banget. Sayang banyak hama tikus. Sampai para petani kewalahan. Lalu, mereka mendapat akal: mencari kucing untuk membasmi hama tikus. Lama-lama, populasi kucing semakin meningkat. Para petani memutar otak lagi. Solusinya, memelihara anjing supaya kucing-kucing takut. Eh … ternyata, anjing-anjing ini pun semakin lama semakin baaaaanyaaaakkkk. Apa ya, yang bisa menguranginya? Akhirnya, diputuskan: Kiaracondong harus ditinggali banyak orang Batak. Ehhhhh, semakin lama, semakin baaaaanyak orang Batak yang beranak-pinak. Dan jadilah Kiaracondong macet, karena orang-orang Batak itu pada jadi sopir angkot! Hihihiii ….

 

(Sasakala ini nggak SARA kan, soalnya yang posting juga Batak, hihihiiiiiiiiiiii)


Gambar dicomot dari www.metro.net

 

Minggu, 15 Juni 2008

MEKJUT oh ... MEKJUT


"Pap, kalau Adek DO, Adek mau kursus kue di Nyonya Liem, ya.”


Begitu yang saya bilang kepada si Papap waktu sempat terganjal kasus di tahap sarjana muda. Si Papap sih seperti biasa, manggut-manggut doang. Dan syukurlah, saya memiliki seorang abang yang aneh, SMA saja lima tahun, kuliah full tujuh tahun, jadi prestasi saya di sekolah tidak akan dibanding-bandingkan dengan prestasi si abang, hahahahahahaaaaaa! 

Di sekolah gajah yang bukan Way Kambas itu, ada tiga tahap evaluasi—TPB, Sarjana Muda, dan Sarjana. Kalau IPK < 2.00 dalam setiap tahap atau ada nilai mata kuliah E (pada tahap Sarjana sih D), dadaaaah …. Dan masing-masing tahap ada masa maksimalnya, seperti TPB maksimal dua tahun, Sarjana Muda maksimal lima tahun, dan Sarjana maksimal tujuh tahun (dulu, sekarang lebih ketat lagi).

Yah, angkatan saya memang angkatan paling ganjil dibandingkan angkatan-angkatan lain—nyaris kriminil semua (bukan kriminal). Bayangkan, dari tiga belas orang yang ada, dikurangi tiga pada tahap TPB (sekarang, yang satu sudah jadi sarjana hukum, yang satu sarjana politik, yang satu lagi entah ke mana), ada enam orang yang kasus sarmud. Lebih dari setengah dari yang tersisa!

Satu orang berkasus dalam mata kuliah Matriks dan Ruang Vektor dari jurusan Matematika (yah, saya juga ikut kuliah ini LIMA kali, dan akhirnya cuma dapat C, hahaha). Lima orang lagi, termasuk saya, tersangkut di mata kuliah MEKJUT.

Sumprit, bukan jorang atau parno, MEKJUT memang ada, MEKanika lanJUT. Kalau dalam mata kuliah Mekanika yang dipelajari adalah mekanika klasik Newtonian, di MEKJUT kami belajar tentang mekanika yang lebih rumit, mekanika Lagrangian, Hamiltonian, dan sebagainya (oh, jangan tanya apa isinya … saya juga sudah lupaaaa hahahaha).

Masalahnya, MEKJUT ini adalah mata kuliah dari jurusan Fisika, bukan dari jurusan Astronomi. Di jurusan Fisika sendiri, MEKJUT ini mata kuliah pilihan, tapi diwajibkan untuk mahasiswa Astronomi. Oh, kejam nian! Soalnya, yang mengambil mata kuliah pilihan ini umumnya adalah mahasiswa Fisika yang berminat belajar fisika teoretis—dan mereka biasanya pintar-pintar. Bagaimana nasib distribusi nilai kami? Huh.

Selain itu, isi MEKJUT sebenarnya juga diulas di mata kuliah jurusan Astronomi sendiri, di Geometri Alam Semesta. Oh, sungguh nama yang menakutkan. Seperti mata kuliah berjudul Benda Kecil dalam Tata Surya. Hihihiii ….

Nah, ada lagi masalahnya. Mata kuliah Matriks dan Ruang Vektor biasanya diberikan saat Semester Pendek. Jadi, si teman saya yang berkasus itu sudah agak selamat lah, paling-paling dia harus berusaha keras agar nilainya minimal C nanti. Sementara, MEKJUT ini kuliah pilihan yang paling diikuti oleh paling banyak lima belas orang mahasiswa. Mana mau jurusan Fisika menyelenggarakan semester pendek hanya untuk kami-kami ini?

Selain itu, dosen MEKJUT ini, sang ketua jurusan Fisika pada masa itu, adalah seorang dosen keras hati. Sebenarnya beliau baik (dan ganteng—menurut salah seorang teman saya yang juga berkasus. Halahhh!), tapi sulit dibujuk. Maka, mulailah kami bolak-balik—ke dosen wali, ke ketua jurusan, ke sekretaris jurusan, kembali ke jurusan Fisika, menemui si bapak dosen MEKJUT, bertemu dengan Pak Yeye—petugas TU Fisika, dipingpong lah.

Entah kenapa ya, saya sih waktu itu merasa benar-benar percaya diri. Saya berpikir, yang bener aje, masa jurusan rela kalau setengah angkatan 97 DO semua? Hihihii .... Tapi, ada salah seorang teman saya yang oh, panik setengah mati. Di mana-mana, air matanya bercucuran. Di depan ketua dan sekretaris jurusan, di depan si bapak dosen MEKJUT, mungkin juga di depan Pak Yeye (hmm … orangnya sama dengan si Neneng yang kami tipu harus traktir batagor itu, hihihiii).

Akhirnya, betul dugaan saya—kami semua mendapat kesempatan untuk ujian perbaikan. Syukurlah, saya mendapat nilai D! (Hahaha … nilai D aja bangga. Tapi memang, Listrik Magnet juga D, saya biarkan saja. Kimia 1 dan Kimia 2 juga begitu, ah, biar saja, daripada gatal-gatal, hihihiiiii) Sayang, di antara kami berlima, ternyata ada seorang teman yang meskipun dapat D, tapi IPK-nya benar-benar jauh dari 2.00. Jadi, hanya kami berempat yang lolos, bersama seorang teman yang berkasus Matriks dan Ruang Vektor itu.

Syukurlah, nilai-nilai saya jauh lebih membaik di tahap Sarjana (Kosmologi aja dapet A! Tapi sumprit, nggak inget sama sekali isinya, hahahahahaaaaa), meskipun perjuangan menyelesaikan Tugas Akhir sangat berat juga (haha … ini ada di kisah lain yang sudah diceritakan duluuuu).

Yang mengibakan sih si teman saya yang bercucuran air mata itu. Padahal dia yang berpendapat jika Bapak Dosen MEKJUT itu ganteng. Sampai lulus kuliah, dia nggak pernah mau lewat di depan gedung Fisika! Lebih baik jalan memutar. Sungguh aneh.

Yah, nggak jadi deh, kursus kue di Nyonya Liem. Hihihiiii ….

 

(Tulisan ini tuh request dari si Nata Pehul, yang juga berkasus MEKJUT bersama-sama saya, dan juga sialnya berpartner dengan saya di mata kuliah MATERI ANTAR BINTANG yang sudah saya ceritakan juga. Idihhh!)