Rabu, 03 Desember 2008

Maria Lubis versus Maryam Wahidin

Sebetulnya, di akte kelahiran saya (dan banyak teman yang umurnya sebaya), nggak ada nama marga yang dicantumkan. Di kelas saya (kelas 2 dan 3) waktu SMA juga ada sembilan pemilik marga Batak dan hanya satu orang yang tercantum marganya, si Olip doang (Padahal ada tiga Sirait, satu Lubis, satu Barus, satu Marpaung, satu Ginting, satu Manurung, terus si Ratna apa ya, lupa dia boru apa hihihiiii).

Menurut si Papap, pada masa itu pembuat akte kelahiran melarang pencantuman marga di akte kelahiran, dengan alasan yang agak-agak SARA (ya gitu deh, males ah ceritanya hihihiiii). Jadi, karena nama di sekolah harus sesuai dengan akte kelahiran, marga-marga yang bukan satwa itu terpaksa hilang sementara.

Saat akhirnya memiliki KTP, si Emak mencantumkan marga Lubis di belakang nama saya. Karena KTP yang akhirnya dianggap lebih berlaku daripada akte kelahiran, jadilah nama dengan marga Lubis itu yang dipakai di mana-mana, mulai urusan dengan bank sampai pekerjaan. 

Jauh-jauh hari sebelum “beritu”, saya sudah bilang kepada si Aq, saya nggak akan memakai namanya. Saya akan tetap bermarga Lubis saja, tidak seperti si Emak yang akhirnya ikut memakai nama Lubis di namanya. Si Aq sih santai-santai saja, sepertinya kalau saya ganti nama juga dia mah cuek saja hihihihihiiiiii ….

Bukannya berpikiran atau memiliki harapan buruk, tapi memang ada pengalaman merepotkan yang melibatkan nama gadis dan nama suami itu. Waktu masih kuliah, adik-adik kelas saya mengadakan suatu acara astronomi yang cukup besar. Mereka mengundang pembicara seorang perempuan ilmuwan yang beken. Tapi, ternyata mereka kerepotan mengganti spanduk pada saat-saat terakhir, karena di spanduk itu tercantum nama si ibu dengan nama suami di belakang namanya. Padahal mereka baru saja bercerai. Jadi, si ibu ingin nama gadisnya saja yang dipakai. Waks, kasihan teman-teman yang harus balik lagi ke pembuat spanduk untuk menggantinya! 

Kerepotan lain juga terjadi saat uwak saya meninggal dan istrinya mengurus surat kematian. Karena nama istri uwak saya berbeda (ada yang memakai nama gadis, ada yang memakai marga Lubis) di berbagai surat, KTP, Kartu Keluarga, dan beberapa dokumen lain, jadi urusannya berbelit-belit di kelurahan dan kecamatan.

Jadi, melihat dua pengalaman yang merepotkan ini, saya semakin mantap tidak akan memakai nama suami di belakang nama saya. Yah, kalau disapa “Bu Dindin” sih ya sok wae, hihihihiii …. Yang jelas, nama saya di dokumen-dokumen resmi dan halaman-halaman copyright buku tetap ada Lubisnya. Saya juga nggak berniat menambahkan Wahidin di belakang atau di depan Lubis, seperti nenek saya yang namanya jadi Armia Lubis-Nasution (maksudnya menikah dengan marga Lubis, sementara Ompung sendiri boru Nasution). Ini sih alasannya cetek—malas, kepanjangan. 

Emmm … sebetulnya ada alasan lain sih, yang membuat saya enggan mencantumkan nama si Aq di belakang nama saya. Alasannya lebih cetek lagi, hihihiii …. Soalnya, nama kami itu nggak nyambung kalau disatukan, masa’ jadi Maria Wahidin? Apalagi kalau Masniari-nya dicantumkan, jadi Maria Masniari Wahidin. Ini teh nama Batak atau nama apa? Hahahahaaaaa ….

Karena itu, biarkan saja nanti anak-anak kami yang memakai nama Wahidin di belakang namanya, ibunya mah tetap boru Lubis, kecuali kalau ganti nama jadi Maryam—cocok kan, Maryam Wahidin?

 

*Tapi tentu saja si tante keren ini nggak mau ganti nama, karena sudah ada pemilik nama Maryam di keluarga (istrinya salah satu uwak saya) dan di Astro '97. Hihihihiiiii ....

Jumat, 28 November 2008

TANAMANA? TANAMANA!

Percakapan ini terjadi di sebuah TK di daerah Sarijadi, pada Jumat pagi tanggal 28 November 2008. Hanya suaranya yang terdengar, wujud pelaku percakapan tidak terlihat karena mereka ada di balik pintu.


Anak Laki-Laki (AL): “Tanamana?”

Anak Perempuan (AP): “Apa sih?”

AL: “Tanamana!?”

AP: “Ih, nggak ngerti ih.”

AL: “TANAMANAAAAAA!”

AP: “Ngomong apa sih? Nggak ngerti?”

AL (dengan kesal memperlambat perkataannya, nyaris mengeja): “TAHA NAMANA?”

AP: “Oh …”

 

*TANAMANA ternyata singkatan dari TAHA NAMANA yang ternyata berarti “Saha Namanya”, yang diucapkan oleh lidah cadel seorang anak TK bernama Zaki. “Saha” dalam bahasa Sunda berarti “siapa”.

 

**Percakapan itu membuat seorang tante keren yang mendengarkan dari balik pintu tertawa terbahak-bahak sendirian, sampai ibunya heran kenapa pagi-pagi si tante keren kok sudah agak tidak waras—padahal waras banget sebetulnya. Hihihiiii ….


***Karena nggak ada foto si oknum TANAMANA itu, jadi si tante keren pake fotonya sendiri waktu TK hihihiiii ....

Minggu, 16 November 2008

Dua Anak Muda, Dua Orang Tua

Tiga bulan terakhir ini, dua orang teman saya meninggal. Dua-duanya laki-laki dan sama-sama belum berusia kepala tiga. Yang pertama Upiet alias Maulana Yusuf, teman saya di GPA, yang kedua si Ical yang sudah saya ceritakan di SINI. Dua-duanya sakit. Umur memang nggak bisa diduga. Padahal beberapa hari sebelum mereka meninggal, saya masih bertemu dengan mereka dalam keadaan sehat (dari luarnya sih, kalau dari dalam entah juga ya. Mungkin mereka sudah merasa sakit tapi nggak menampakkannya).

 

Sewaktu saya ulang tahun ketiga puluh (hihii … jujur ah sekarang mah, kan Etty Gadis Jujur), uwak saya, abangnya si papap yang nomor dua—kami memanggilnya Papaya—meninggal pada usia tujuh puluh sembilan. Memang sakitnya sudah lama, dan sebelumnya sudah bolak-balik masuk rumah sakit.

 

Dan empat puluh hari kemudian, tadi pagi, suami uwak saya yang nomor enam—saya memanggilnya Abeh karena mereka nggak punya anak, dan sejak kecil saya sering menginap di rumah mereka—meninggal juga. Umurnya tujuh puluh tiga. Sudah sering bolak-balik rumah sakit juga, hanya yang terakhir ini ternyata parah.

 

Dua anak muda, dua orang tua, dalam tiga bulan.

 

Senin, 03 November 2008

Si Ical, Si Betty, Saudara Sepemuhriman

Saya pertama kali bertemu dengannya waktu pembukaan penataran P4 di Sabuga, sebelas tahun lewat beberapa bulan yang lalu. Saat itu dia masih berambut a la Adi Bing Slamet, dan menambah daftar kekecewaan saya terhadap teman-teman seangkatan hahaha … (Soalnya nggak ada yang gimanaaaaa gitu. Mirip-mirip Otong Koil kek. Hihihiii).

Doski biasanya dipanggil si Ical, dan suka betek kalau namanya ditulis salah—harus Faizal Riza (karena sering ditulis Faisal). Yang agak aneh, dia dari Makassar tapi fasih berbahasa Sunda pergaulan (kasar) dengan si Yana, teman seangkatan kami yang juga dari Bandung. Setelah diusut, ternyata si Ical ini sempat sekolah di SD Banjarsari dan SMP 2 Bandung, lalu balik lagi ke Makassar.

Waktu tahun pertama kami kuliah, pergerakan mahasiswa sudah semakin ramai. Si Ical masuk PSIK (Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan) ITB, bersama seorang teman seangkatan kami yang lain, Iyam. Jelas saja wawasan kebangsaannya kuat. Dan pada tahun pertama ini juga, kami (Ical-Iyam-saya-Tya) sempat jadi artis demo hahaha …. Gara-garanya sih ditugaskan oleh Mas Hasan, ketua Himastron saat itu, untuk mengisi acara musik kampus. Ya sudah, kami nekad dan sok-sokan mengisi dengan band akustikan, menyanyikan lagu-lagu ngaco karya sendiri. Waktu itu masih ada Farkhan yang main gitar juga, tapi setelah manggung pertama kali, dia kapok!

Waktu itu kami lumayan laku, tapi ya laku di kalangan kampus hehe …. Setiap ada acara musik kampus, kami sering diundang. Sempat juga main di Radio Ganesha dan Radio Chevy (dan direkam di Radio Ganesha), karena saat itu dua radio itu tergolong radio “pemberani” yang sering bikin talk show “penggulingan” orde baru. Prestasi terbesar kami adalah main sepanggung dengan El Pamas (hahaha … masih ingat, grogi banget pas liat Totok Tewel) di acara malam alumni di Jakarta, dan pada malam itu juga Tragedi Trisakti terjadi (dan kami dipulangkan dengan panik oleh panitia, dengan taksi 4848, karena khawatir acaranya diintai oleh intel).

Hasil karya band akustikan kacau ini masih bisa terdengar sampai sekarang. Soalnya, Hymne KM-ITB karya si Ical dan Iyam. Dulu judulnya Demi Tuhan, Bangsa, dan Almamater, sama dengan motto KM-ITB. Sewaktu motto KM-ITB berubah, judulnya juga ikut berubah, jadi Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Tapi saya sering sebal karena orang-orang biasanya lupa bertanya-tanya, siapa sih yang membuat lagu kampus. Seperti lagu Mentari yang diaku-aku lagu kampus (tanpa disebutkan karya Abah Iwan Abdurrachman).

Setelah pergolakan politik mereda, si Ical masih aktif di PSIK. Tapi saat itu juga, kami “terpaksa pulang” ke Himastron, karena Himastron membutuhkan kami (hahaha … GR amat. Tapi memang benar, karena semua anggota pasti sempat ngerasain jadi pengurus, saking sedikitnya!). Si Ical yang sial, harus jadi tumbal angkatan, jadi ketua Himastron. Saat masa kepengurusannya, saya jadi danus kejam yang hobi membubuhkan stempel GOBLOG—bukan LUNAS—di buku utang Himastron (karena para penghuni Himastron saat itu saingan gede-gedean berutang dengan bangga, huh!).

Dengan komposisi tujuh cewek dan enam cowok dari tiga belas orang seangkatan (dan dua cowok rontok duluan di awal, lalu diikuti satu lagi), sungguh mengibakan nasibnya, karena cewek-ceweknya dominan, tukang ledek, dan hobi menjajah. Apalagi si Ical ini emosional dan keras. Tapi kasihan, seringkali dia tak berdaya menghadapi cewek-cewek penjajah, hihiii …. Lagipula, karena dia berambut panjang dan lembut serta berkulit putih mulus, kami sering menjuluki dia Betty (cowok-cowok lain juga dapat julukan).

Di luaran, citranya si Ical ini jantan, garang, gagah. Apalagi pernah jadi korlap demo. Tapi buat kami, dia adalah cowok manis yang lebih cantik daripada kami-kami, hihihiii …. Jadi kalau ada anak-anak jurusan lain yang memuji “Si Ical jantan ya …” kami sering membantah, “Ical? Jantan? Gagah? Halah … dia mah cantik!” (dan seringkali diprotes, karena menurunkan pasaran hahaha.) Yang lebih parah, dia seringkali kami lecehkan—misalnya dia sedang berjongkok sambil merokok di luar kelas, tiba-tiba si Lia berjongkok di sebelahnya dan tersenyum manissss sekali (yah, senyum manisnya Lia, hahaha!), dan tiba-tiba pura-pura mau mencolek dagunya. Atau saat kami iseng beli “minuman anu” untuk mabuk-mabukan di belakang Himastron, kami membelikannya sebotol Kiranti, hahahahahaaa …. Kasihan ya. Waktu giginya ompong pun, saya sempat meledeknya. Soalnya, giginya itu potong karena dia makan jagung, hahaha … saya ledek-ledekin, huh, nggak heroik, kirain berantem dengan siapaaaa gitu.

Saya pernah tanpa sengaja menginap di kamar kostnya di Sangkuriang. Oh, tentu saja setelah dengan sukses mengusirnya supaya tidur di kamar kost penghuni Sangkuriang lainnya (waktu itu ada lima anak astronomi yang ngendon di situ). Waktu itu kami sedang ada lanjutan pembicaraan materi ospek, lalu saya kemalaman dan malas berjalan kaki ke kampus (karena nggak ada angkot kalau sudah malam). Kamarnya rapi. Lebih rapi daripada kamar saya. Kamar mandinya bersih. Dan … peralatan mandinya berjajar lebih banyak daripada peralatan mandi saya. Wow.

Selama berteman—mungkin sudah bukan berteman lagi, tapi bersaudara, sebagai satu disfunctional family yang kacrut, dan sudah merasa muhrim—tentu saja kami sering berantem. Yang sering jadi masalah adalah sifat si Ical yang keras. Darahnya panas. Sampai pernah ada tragedi tangis-tangisan multiangkatan di Himastron pada suatu HUT Himastron. Sampai saya sempat mendiamkannya selama nyaris sebulan karena suatu hari dia meledak di Himastron. Tapi itu akibat saking dekatnya kami. Mirip berantem dengan saudara sendiri.

Si Ical termasuk yang terancam DO pada tahap Sarjana Muda, tapi untungnya dia berkasus di mata kuliah Matriks dan Ruang Vektor, lebih mudah daripada kasus Mekanika Lanjut kami. Dulu Tugas Akhirnya tentang Kosmologi, dan sampai beberapa saat yang lalu dia masih berminat terhadap Kosmologi (dia sempat bilang ingin S2, tapi ngumpulin duit dulu). Selama TA dia sering kami jodoh-jodohkan dengan si Ina, partner TA-nya yang juga seangkatan (dan seringkali keduanya ngambek, hahahaaa).

Setelah lulus, dia sempat menghilang beberapa saat dari pergaulan kami karena bekerja di Jakarta, jadi asisten editor di perusahaannya Raam Punjabi (dan selalu kami ledek, “Dasar perusak moral generasi muda bangsa!” Hahahaaa). Akhirnya dia nggak tahan—mungkin nggak sesuai juga dengan idealismenya—dan kalau nggak salah, sekitar peristiwa tsunami Aceh, dia keluar. Sempat jadi relawan Aceh dan bikin film dokumenter di sana. Dia memang berjiwa sosial, apalagi dia anggota KSR – PMI.

Sepulang dari Aceh, dia kerja di IMTV Bandung. Mulailah dia sering bergaul lagi dengan kami. Apalagi si Ketut juga sudah mulai muncul, setelah puas bertapa di Jatinangor. Semakin lama berteman, ternyata pelecehan kami semakin menjadi-jadi, hahaha …. Saya masih ingat, suatu hari kami kumpul angkatan di Perpustakaan Pusat. Si Ical belum datang-datang. Si Ketut yang kebagian nelepon. Lalu, pas akan menyudahi pembicaraan, kami cewek-cewek ini berseru-seru, “Bilang love you, Tut!” Si Ketut yang memang sama sintingnya menurut, dengan mesra bilang, “Love you ….” Dan kami mendengar seruan “ANJEEEEENG!” dari si Ical, hahahahaaaaaaaa! (Setelahnya kami marah-marahin, karena dia membalas sikap si Ketut yang penuh cinta dengan umpatan, dasar!)

Dia juga yang sering saya ganggu kalau sedang online tengah malam. Kalau id-nya, pcl_astro, tampak kuning, biasanya saya sapa “Hai, Say … Saython …” (Seperti biasa, umpatan-umpatan seperti “ajig” dan “gobod” selalu mewarnai percakapan kami. Seringnya sih dari dia hihiii … tapi buat kami, itu bukan umpatan kasar, itu ekspresi pertemanan akrab saja. Saat online malam-malam ini juga, dia beberapa kali curanmor soal cinta (Sebetulnya bukan dia yang sukarela curanmor sih, saya saja yang hobi mengorek-ngoreknya dengan pertanyaan mendetail. Dan dia selalu menjawab dengan jujur, hihii). Sempat juga saya ancam karena ada tanda-tanda dia mau melangkahi saya menikah duluan, tapi ternyata nggak jadi hahaha …. Sayang waktu saya “beritu” dia nggak datang karena harus pulang ke Makassar. Dan saya ledek-ledekin, “Kenapa sih nggak datang? Patah hati ya? Aaaah … ngaku, pasti patah hati yaaa!” (dan seperti biasa, dia membantah sambil mengumpat-umpat, hahaha ….)

Kami bertemu terakhir kali waktu Lebaran kemarin, hari ketiga, waktu dia beserta Vivi dan Dyno “ngalap berkah” ke rumah saya. Yah, biasa, si Emak yang menyayangi anak-anak kost seringkali open house untuk anak-anak kost yang nggak mudik saat Lebaran (sejak dulu, mulai dari teman-teman si Abang sampai teman-teman saya). Waktu itu lama juga mereka di rumah, bayangkan, dari makan siang sampai makan malam! (Si Emak sih senang, karena ada yang menghabiskan kakaren Lebaran. Soalnya kami sudah bosan, ketupat-opor-rendang melulu, hihiii) Saat itu masih saja saya ledek-ledek. Tapi beberapa tahun terakhir ini, kalau menurut saya sih, sifat emosionalnya sudah berkurang. Kalau soal dia mengumpat-umpat, itu sih karena ledek-ledekan (dan biasanya mengumpat sambil ketawa, kalau dulu bisa marah betulan—tapi semakin dia marah, kami biasanya semakin senang mengganggunya hihiii).

Sekitar dua minggu lalu, saya sempat mengobrol dengannya di telepon. Waktu itu saya sedang di BSM, dan nemu miniatur planetarium yang sudah lama Vivi cari. Saya sms Vivi, ternyata dia menelepon dengan HP si Ical. Waktu itu si Ical sempat ngajak saya jadi panitia Kongres Ikatan Alumni Astronomi, tapi saya bilang nanti dulu, lagi jadi ibu hamil nih (alasan, padahal males, hihiii). Nggak disangka, ternyata itu pembicaraan terakhir dengannya. Dan masih saya ledek-ledek juga, “Adeeeuh … kencannya ganti, bukan sama Ina lagi, sekarang sama Vivi!” (Si Vivi juga ikutan ngeledek, “Iya nih, ini kami lagi kencan!” dan seperti biasa dia ngomel-ngomel.)

Jumat minggu lalu, saya mendapat sms dari si Coni (yang Sawung), kabarnya Ical masuk RSHS. Waktu itu pikiran saya, si Ical paling-paling sakit DB atau tipp-ex, langganan (dasar anak kost, makannya nggak bener dan hobinya minum kopi banyak-banyak). Saya, Vivi, dan beberapa teman lain sudah berencana menengoknya Sabtu sore, eh, ternyata Sabtu pagi si Coni sms lagi, Ical sudah dibawa ke Makassar.

Yang sempat merasa ada sesuatu itu si Ketut, karena dia sms ke hp Ical, tapi yang bales kakaknya. Ketut sempat sms saya, “Mar, si Ical parah nggak ya? Kok nggak bisa pegang hp?” Lalu saya jawab (sambil bercanda dan menenangkan si Ketut—sebetulnya, lebih menenangkan diri sendiri juga sih), “Mungkin dia operasi kelamin, penghilangan jakun, dan pembesaran payudara Tut, jadi masih belum bisa pegang hp.” Lalu kami masih smsan bercanda gitu.

Eh, tiba-tiba, Jumat pagi kemarin, tiga sms berturut-turut masuk ke hp saya. Dari si Coni, dari si Bona, dan satu lagi dari siapa ya, lupa. Kabarnya, si Ical meninggal pukul 09.30 WITA. Saya langsung nangis dan ngadu sama si Aq, “Adek ngeledekin si Ical melulu, Q ….”

Seharian itu rasanya kelabu. Si Emak juga sedih. Tiap melihat gitar yang ada di rumah juga sedih, karena itu “gitarnya Ical” (yang dulu suka dipakai saat manggung). Sampai sekarang juga, dia masih terbayang-bayang. Sayang sekali saya nggak bisa langsung ke Makassar, tapi saya bertekad, suatu saat saya akan berziarah di makamnya. Dan mudah-mudahan, lagu-lagu rekaman karyanya berhasil dilacak (karena beberapa waktu lalu kami sudah berniat mencarinya, mudah-mudahan masih ada, karena Radio Ganesha sudah pindah).

Itulah si Ical. Bukan teman lagi, dia mah saudara, muhrim. Mudah-mudahan dia damai di sana.

Foto Terakhir Bareng Ical, Bubar Astro '97 di Warung Pasta
(Ical - Lia - Vivi - Ketut - saya)


Selasa, 09 September 2008

Laporan Honeyweek

Saya selalu menjawab “kurang lama, kurang puas,” kalau ditanya “Gimana honeyweeknya?” Soalnya, sebelum pergi si Aq harus kerja rodi dulu nyelesein pesenan tas seminar. Sampai Senin tengah malam dia belum pulang, padahal berangkat hari Selasa. Jadi, entah untung atau sial pesawatnya delay, dari jam 10.55 sampe jam 14.55 (jadi dia masih punya kesempatan istirahat).

Dan ini pengakuan jujur: saya baru pertama kali ke Bali. Si Aq sih udah pernah, tapi udah lama banget, sekitar taun 93an gitu. Dan dia datang dengan ngegembel karena cuma mau menghadiri peresmian Sungai Ayung dan pembentukan FAJI (Federasi Arung Jeram Indonesia). Jadi sama-sama belum punya bayangan mau ke mana aja.

Karena ada sepupunya si Aq, Teh Yeyet, yang sedang tugas di Denpasar, jadi kami dijemput di bandara, langsung menuju hotel The Lokha. Hotelnya keweeen …. Kamar superior aja udah luas, apalagi suite? Eh, karena si Aq kecapean, jadi aklimatisasinya lama. Karena hari Selasa udah datang malam, hari Rabunya dia tidur sampai siang.

Jadi, waktu tiga hari full honeyweek (kan dua hari dalam perjalanan, nggak keitung hihi) itu bener-bener mepet. Lumayan lah, masih sempat ke Ubud dan rafting di Sungai Ayung. Meskipun nggak terlalu “adventure” karena grade sungainya 2 atau 3 (oh, saya malah bersyukur, karena males banget kalo harus kejebur saat rafting … hihihiii), tapi sungainya bagus. Bersih dan di pinggir sungai, ada beberapa tebing yang dipahat. Tadinya mau foto di air terjun, tapi sayang baterai kamera habis, cuma ada foto yang diambil fotografer Sobek doang (lumayan, karena duduk di depan, jadi jelas banget wajah kami). Yang agak menyebalkan, yang seperahu sama kami itu ibu-anak dari Jepang, dan mereka sepanjang perjalanan ngobrooool melulu, nggak pernah ngedayung! Jadi sakit-sakit badan deh hahaha ….

Eh, konyolnya, setelah itu lupa ngecharge baterai lagi. Jadi, setelah itu, dikit banget foto-foto yang ada. Soalnya sudah hilang mood, hihihiii ... (Padahal udah sengaja beli kamera baru sebelumnya hahaha … dasar gaya).

Terus, masih ada lagi kejadian konyol yang menyertai. Ke Tampaksiring tapi karena lupa ngecharge baterai kamera, jadi nggak bisa foto-foto. Malah ditipu beli gelang termahal di dunia, 12 ribu perak, sementara di Sukowati ditawarin seribuan hahaha …. Di Sukowati juga agak ketipu karena nggak bisa nawar (beberapa sih, seperti sendal). Pulang dari Sukowati, ban motor (si Aq pinjem punya Teh Yeyet) bocor. Terus lama lagi nambalnya. Eh … waktu udah mau balik ke Legian, motor Teh Yeyet tiba-tiba ngadat di stopan, dan kami ditabrak mobil dari belakang. Pelan sih, cuma karena ada polisi, jadi urusannya lama. Dan hasilnya, KTP si Aq ditahan.

Tadinya udah khawatir aja, nanti di bandara kan harus periksa KTP. Tapi, entah untung entah sial lagi, Mas Jakfar (suaminya Teh Yeyet) yang mau nganter kami ke bandara ternyata harus ke kantor dulu. Jadi kami datang mepet banget, dan jadi orang terakhir yang boarding. Untungnya, nggak ada pemeriksaan KTP! (Tapi ini jadi berbuntut panjang, karena proses kredit motor baru jadi tertunda, huuuuuuuu)

Terus pake ketipu makan lobster di Legian. Soalnya lobster gede harganya 350 ribeng, hahaha …. Padahal tau gitu mending kita makan sushi aja ya Suze! Hahaha ….

Oh iya, kisah voucher Andong hadiah “beritu” juga aneh (hihi … makanya aku sms Smartie). Sampai seorang pemilik warung makanan Jawa Timuran turun tangan nyariin, tetep nggak ketemu. Lalu malam-malam kami nanya tukang andong beneran di Kuta, si tukang andongnya malah menyarankan kami ke Kepaon, tempat mangkal andong yang lebih banyak hihihiii …. Jadi, voucher itu masih utuh. Mungkin itu pertanda, kami harus balik lagi hahahahaaaa ….

Jadi gitu deh cerita singkatnya. Tapi kisah honeyweek ini menghasilkan suatu hal positif, kami jadi hafal jalan-jalan di Kuta-Denpasar dan sekitarnya. Dan juga menghasilkan tekad, suatu saat kami pasti balik lagi ke Bali. (Kalau saya sih malah pengen tinggal sebulaaaaan aja di Bali. Hihihiii) Selain menjelajah tempat-tempat lain, sekalian nyeberang ke Lombok hehehe …. Foto-foto yang cuma segelintir (dan nggak puguh) ada di SINI.

Senin, 25 Agustus 2008

HONEYWEEK

Menghilang duluuuuu ....

Dadaaaaahhh ....

Teriring ucapan terima kasih terchusus kepada kubugil & friends yang telah membuat minggu madu ini terwujud hihihiiiiii

memang beneran honeyweek, karena nggak sampe sebulan

itu gambar kursi di depan komputer yang akan kosong hingga tanggal 30.

Minggu, 10 Agustus 2008

Kenakalan Pre-Wedding


sedang siap-siap nyobain

Kenakalan ini terjadi tanggal 4 Juli 2008, delapan hari sebelum hari-H. Karena betek, capek, becek, nggak ada ojek, ngurusin hari-H sendirian, si Aq tiba-tiba ngajak ke Pusdik Kavaleri di Parongpong, karena anak-anak Battlefield lagi ngeset bungee trampoline untuk klien mereka (sekalian paintball).

Sebelum para klien datang, kami boleh nyobain main bungee trampoline, dan ternyata setelah klien pulang, ada rombongan Ibu Ira, Mangmak (Makki), Bara, Lana, dan sepupu-sepupunya bergabung.

Kenakalan inilah yang membuat kulit hangus dan melepuh, serta merepotkan seorang dokter kulit di salah satu klinik perawatan kulit ternama ... hihihihiiiiiiiiiii

Kamis, 31 Juli 2008

Selamat Jalan, Surti Sayang ....

Hari ini adalah hari terakhir saya bersama si Surti ….

Surti telah bersama saya delapan tahun, menemani saya ke Bosscha bersama si Nata untuk mengerjakan TA, menjadi pemandu di Observatorium, dan ikut kuliah Materi Antar Bintang. Seringkali ikut menginap bersama saya di kampus, kedinginan di pelataran TI. Juga seringkali menjadi incaran favorit teman-teman saya, terutama Dyno.

Surti yang manis, yang setia mengantar saya, si Emak, si Aq, dan banyak teman saya, tanpa pernah memprotes. Menemani saya pulang tengah malam dan dini hari, tanpa pernah ada masalah.

Surti juga sempat menemani saya dan si Aq ke Cicenang, Ciater, Citarum, dan ke kaki Gunung Burangrang. Pernah juga masuk sedikit ke jalanan menuju Situ Lembang yang berbatu, syukurlah tidak sampai Cicaruk.

Surti juga menderita ketika saya dan si Aq jatuh di Jalan Cihapit sewaktu hujan deras dan jalan licin. Ia juga terluka saat saya diserobot motor nakal di perempatan Jalan Suci - Gasibu, sebelum masuk kantor. Ia juga kesakitan menabrak roda truk ketika saya tergelincir karena menginjak rem belakang terlalu tiba-tiba, di Jalan Cimareme, menuju ke Situ Ciburuy.

Surti yang selama delapan tahun hanya beberapa kali mogok, itu pun karena saluran bensinnya tertutup tanpa sengaja, atau lupa membeli bensin. Meskipun rodanya lumayan sering bocor, tetapi ia begitu tangguh.

Oh, Surti, si hitam legam, mengapa banyak sekali nama tempat yang berawalan Ci- yang saya datangi bersamamu? Hihihiii ….

Yah, Surti sekarang berpindah tangan ke seorang pemilik baru dari Jalan Bungur. Dan kepergiannya tidak sia-sia, karena ia berkorban demi kenyamanan saya, yang sudah seringkali sakit punggung karena terguncang-guncang shockbreakernya yang keras.




Meskipun nanti ada gantinya, saya tidak akan pernah melupakan Surti. Tidak sedetik pun. Surti, aku padamu … dirimu makin ….


Keterangan foto atas: Surti di depan pos satpam SMAN 2 Bandung, saat pemiliknya sedang bertemu teman-teman SMA.

Keterangan foto bawah: Surti dan pemiliknya sang wanita "Jawa" di Cicenang, saat menunggu anak-anak longmarch pulang ke Bandung.

Rabu, 23 Juli 2008

Ada yang Joged di Balik Jendela .... SINTING!

Ini sambungan dari seminggu yang bikin nggak waras.

 

Ketika sampai ke TKP, hal pertama yang saya rasakan adalah … kebelet pipis! (Sebetulnya dari didandanin juga udah kerasa sih, tapi tanggung … hahaha) Dan sialnya, kamar mandi di rumah Hegarmanah yang dalam nggak bisa digunakan, jadi harus ke rumah putih yang ada di belakang.

Setelah lega, saya disuruh masuk ke sebuah kamar untuk menunggu akad nikah. Ceritanya sih dipingit, tapi kamar itu berjendela besar sekali, dan saya bisa melihat rombongan si Aq datang, hahahahaaa …. Tapi sayang, waktu lagi dadah-dadah dari jendela sama Deni Agam—teman si Aq yang ikut motret—kepergok sama tante-tante saya, jadi jendelanya ditutup.

Sewaktu sedang menunggu akad nikah, si Opie, sobat saya dari SMP, muncul. Ternyata, saya harus menunggu agak lama di dalam kamar karena ada sambutan yang agak panjang dari keluarga saya (si Papap) dan keluarga si Aq (diwakili saudaranya). Setelah beberapa menit, akhirnya saya diizinkan keluar dan disuruh duduk di sebelah si Aq yang baru cukur kumis dan jenggot (Makanya, mulai dari keluar kamar sampai duduk di sebelahnya, saya selalu cengar-cengir, karena sejak dulu selalu merasa aneh kalau si Aq cukuran, hahahahaaa).

Si Pengantin yang Pecinya Selalu Miring dan Baru Cukuran

Selama ini, saya sering melihat orang-orang menangis terharu saat rangkaian akad nikah. Tapi, kok saya nggak ya. Apalagi waktu acara “habla-habla” sebelum akad nikahnya. Yang saya rasakan cuma sesak—memaksa saya untuk tetap duduk manis dan tegak—karena nggak biasa memakai korset.

Awalnya sih agak jaim, tapi lama-lama, mata saya jelalatan ke seluruh penjuru ruangan. Sialnya (atau untungnya?) di hadapan saya dan si Aq yang duduk berdampingan, di belakang penghulu dan si Papap, ada jendela besar. Orang-orang bisa menonton akad nikah dari luar jendela.

Mertua yang Pecinya juga Selalu Miring

Nah, di jendela itu, tampak dua sobat saya dari SMP juga, si Tinot dan si Achy. Si Achy—yang mirip Alia Rohali tapi makannya banyak hihii—sih tampak serius mencari-cari seseorang, pasti mencari si Opie yang sudah duluan di dalam. Dia juga terlihat smsan—pasti sms si Opie juga. Di sebelahnya ada si Tinot, seorang oknum ibu-ibu PNS Pajak yang sebetulnya belum ibu-ibu. Awalnya sih dia cuma senyum-senyum dari balik jendela, dan saya balas senyum-senyum lagi.

Lalu, lama-lama semakin parah—dia menjulur-julurkan lidah. Waks, sudah berusaha menahan diri agar tetap jaim, eh … nggak tahan juga, saya balas menjulurkan lidah. Padahal, di hadapan saya dan si Aq, keluarga besarnya si Aq duduk dan menghadap ke arah kami. Mungkin mereka sempat bingung, kenapa ini calon istrinya Dindin tiba-tiba nyengir dan menjulurkan lidah? (Tapi untung nggak ada yang protes, hahahaaa)

Ritual sebelum akad nikah terus berjalan, dan si Tinot tenang kembali. Si Aq sempat bisik-bisik, tangannya basah terus. Untung saya dibekali tisu oleh tante saya, mungkin untuk menyeka air mata—kalau-kalau saya menangis terharu. Eh, jadinya malah habis diminta si Aq (diam-diam, di bawah meja, hihiiii).

Setelah beberapa saat menunduk, saya mendongak lagi dan duerrr … di balik kaca jendela, si oknum PNS berbaju putih itu joged. Dasar sinting, saya hampir tidak bisa menahan tawa. Padahal akad nikah akan segera berlangsung, karena sudah ada yang memasangkan kerudung di kepala saya dan si Aq.

Tapi syukurlah, ketika akad nikah dimulai, oknum itu menghilang dari balik jendela. Eh, tapi dia muncul di dalam ruangan. Untungnya, karena di dalam ruangan banyak saudara, dia sedikit jaim (walaupun patpatnya sempat ditusuk oleh tante saya, karena badannya gede tapi nutupin tante-tante, hahahahaaaa).

Akad nikah berlangsung dengan kilat, tanpa diulang, meskipun suara si Aq gemetaran. Tangannya juga gemetar waktu mau tandatangan buku nikah dan berkas-berkas, sampai diledek oleh si Papap hihihiiii ….

Tangan si Aq masih gemetaran juga, hihihiii

Setelah itu, acara berlanjut dengan sungkeman. Sebetulnya, saya dan si Emak sudah khawatir dengan acara ini, karena banyak yang nggak bisa menahan haru. Saya sih nggak ingin menangis, karena wajah saya cenderung bengkak dan merah-merah dalam waktu lama setelah menangis. Tadinya sudah minta ke tante saya yang ngatur acara, supaya acara ini diskip saja, hihihiii … tapi permohonan saya ditolak, katanya, tenang saja, percayakan kepada Yonie untuk menyulap hidung merah dan mata bengkak supaya tetap segar.

Tapi ternyata, sungkeman juga nggak terlalu mengharukan. Soalnya, pertama, saya dan si Aq pasti harus numpang dulu di rumah ortu kami—karena si Aq anak tunggal, ibunya tinggal sendirian, dan saya juga anak “tunggal”, karena si Abang nggak tinggal di rumah. Jadi, pamitan juga nggak serius-serius amat, toh pasti kami pulang lagi ke rumah, hihihiiii …. Yang kedua, soalnya terpaksa harus sungkem kepada si Abang yang cengengesan dengan jenaka. Gimana mau terharu, dia cengar-cengir dengan ekspresi meledek waktu saya sungkeman (si Aq juga pasti ngerasa aneh harus sungkem sama teman TK-nya, hahahahaaaa).


Bagaimana Bisa Terharu Kalau Harus Sungkem kepada Orang Ini?


Jadi, kata siapa akad nikah harus bertangis-tangisan? Tentu tidak. Apalagi, kalau dihadiri oleh seorang oknum PNS yang joged di balik jendela. Dasar sinting!


Ini dia geng SMP: baju putih berselendang si ibu-ibu oknum PNS, lalu neng Nobi, dan di sebelah kiri saya duplikat Alia Rohali yang makannya banyak.

Sabtu, 05 Juli 2008

RARA MENDUT: SEBUAH TRILOGI

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Y. B. Mangunwijaya
Betapa kuasa seorang raja manusia bisa membuat kehidupan banyak orang menjadi porak poranda. Tidak hanya raja yang sebenarnya, tetapi juga raja-raja kecil di sekelilingnya. Alangkah mudahnya merenggut kebebasan seseorang yang awalnya merdeka, bahkan mencabut nyawa seseorang hanya demi kehormatan, kedudukan, atau sekadar ego dan nafsu manusia.

Rara Mendut adalah salah satunya. Gadis pantai jelita yang menganggap lautan luas adalah taman bermainnya direnggut begitu saja oleh kekuasaan seorang Adipati Pragola. Dan dia harus bernasib sebagai harta rampasan, ketika Tumenggung Wiraguna, panglima tua Kerajaan Mataram, menaklukkan sang Adipati yang dianggap memberontak dan membawanya ke ibukota kerajaan Mataram. Mulailah kehidupan Mendut sebagai hiasan Puri Wirogunan.

Mendut berusaha mencari akal untuk mengulur-ulur waktu agar tidak diperistri oleh sang Tumenggung. Ketika menjual lintingan tembakau untuk membayar “upeti” yang diminta Tumenggung sebagai syarat, dia bertemu dengan cinta sejatinya, Pranacitra, seorang pemuda dari Pekalongan. Tetapi, nasib sepasang kekasih itu berakhir tragis. Keris Tumenggung Wiraguna sendiri yang mengakhiri nyawa keduanya.

Kesedihan mendalam karena kehilangan Mendut dirasakan oleh Genduk Duku, dayang sekaligus sahabatnya. Terlahir dari ayah yang berasal dari Bima, terkenal sebagai penakluk kuda, dan ibu dari kalangan puri, Genduk Duku tumbuh menjadi seorang gadis perkasa yang pandai pula menaklukkan kuda. Dia lebih beruntung daripada Mendut, karena menikah dengan pria pilihannya sendiri.

Tetapi, seperti umumnya perempuan Mataram saat itu, hidupnya pun pahit. Suaminya tercinta juga tewas di tangan sang Tumenggung Wiraguna. Sama seperti Mendut dan Pranacitra, nyawa-nyawa terenggut hanya karena nafsu dan rasa malu sang Tumenggung. Genduk Duku terpaksa membesarkan putrinya, Lusi Lindri, sendirian.

Ketika Lusi Lindri beranjak dewasa, dia dititipkan di puri Tumenggung Singaranu. Karena kegagahan dan keluwesannya, ibunda raja Mataram tertarik untuk mengambilnya sebagai anggota Trinisat Kenya, pasukan elite perempuan yang bertugas sebagai pengawal pribadi sang raja, Sunan Amangkurat I. Tetapi, ternyata dia bertemu dengan seorang lelaki perwira pemberontak yang akhirnya menjadi suaminya. Mereka mengungsi ke pegunungan untuk bersembunyi dari kejaran prajurit Mataram.

Tiga perempuan itu yang menjadi tokoh utama trilogi Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, yang berdasarkan kisah dalam Babad Tanah Jawi dan sumber-sumber lain. Dan ada juga tokoh-tokoh perempuan lain dalam kisah ini, seperti dua perempuan perkasa, Nyai Singabarong—perempuan saudagar ibu kekasih Mendut, Pranacitra—dan Bendara Eyang Pahitmadu, kakak perempuan Tumenggung Wiraguna yang bersimpati kepada Mendut dan sempat melindungi Duku beserta suaminya.

Rama Mangun yang lahir di Ambarawa, 6 Mei 1929, menuliskan kisah ini dengan mengalir. Meskipun tebal, karena tiga buku dijadikan satu, Rama Mangun bisa membuat para pembaca untuk terus melanjutkan membaca, karena penasaran akan nasib para perempuan perkasa tersebut. Sayang sekali, masih ada beberapa kesalahan ketik—yang meskipun tidak fatal, tetapi cukup mengganggu—terutama di buku Lusi Lindri. Selain itu, banyak sekali catatan kaki yang sebetulnya tidak terlalu penting, karena istilah-istilah tersebut—meskipun dalam bahasa Jawa—sudah lazim dikenal dalam bahasa Indonesia. Tetapi, secara keseluruhan, buku ini layak untuk menjadi koleksi.


Jumat, 04 Juli 2008

Ada Telepon dari si ANSWER

Setting 1: di sebuah tempat lapang, bukan bengkel, tapi di tempat itu sedang ada mobil Land Rover yang sedang dibongkar. Si Bos yang sedang membongkar mobil, anak-anak buahnya membantu.

Bos: Ambilin kunci tujuh belas.

Salah seorang anak buahnya pergi dengan kebingungan, mencari kunci tujuh belas.

Bos: Lama-lama amat sih!

Anak buah: Iya bos, tenang.

Akhirnya si anak buah kembali.

Membawa TUJUH BELAS BUAH kunci untuk ngebengkel!

 

Setting 2: di rumah seseorang, bukan bengkel juga, dan juga ada sebuah mobil Land Rover juga yang sedang dibongkar. Yang ngebengkel sih segelintir, tapi penggembiranya banyak.

Yang ngebengkel: Tolong euy, kunci inggris!

Salah seorang penggembira berinisiatif menolong. Dia berjongkok lama di dekat kotak perkakas.

Penggembira: Nggak ada.

Yang ngebengkel: Ada!

Penggembira: Nggak ada, ada juga yang MADE IN CHINA!

Ah … hahahaa ….

 

Setting 3: di rumah seseorang, masa-masa HP belum seumum saat ini. HP milik seseorang berdering. Temannya yang mendengar.

Si teman: Hei, ada telepon!

Pemilik HP: Ti saha? (dari siapa?)

Si teman: Ieu buru, aya telepon ti si ANSWER! (ini cepet, ada telepon dari si ANSWER!)

Hahahahahahhahaaaaa ….

 

Semua itu adalah kejadian nyata, akibat berbelas-belas tahun bergaul dengan orang-orang sinting.

Gambar entah dari mana, si Aq yang download, udah ada di my documents, hihihii

Rabu, 25 Juni 2008

Tonk 1000 ligir, Can 1000 dak

Terus terang, tulisan ini terinspirasi ANGKREN si papah manggis di SINI. Saya adalah penggemar angkot, malah sekarang juga ngerasa lebih enak naik angkot daripada naik motor (kecuali kalau jauh dan dikejar waktu seperti saat ngantor dulu, atau karena ongkosnya mahal, hihiii …). Karena itu, ada beberapa kejadian berkesan yang pernah saya saksikan atau alami di angkot.


Naik Angkot GRETONG 

Waktu itu saya kelas 3 SMP. Biasa lah … di seragam tercantum nama. Biasanya, nama saya cuma tertulis Maria M, tapi karena sebal, sering disangka bernama Mariam, jadi waktu kelas 3 saya panjangkan nama di seragam itu menjadi Maria Masniari L. Suatu hari saya pulang naik angkot Ciroyom – Sarijadi. Eh, taunya, si kenek berteriak dengan antusias, “Bang, Masniari nih Bang!” ke si sopir. Lalu, dia bertanya-tanya, boru apa saya, kampung di mana, rumah di mana. Hasilnya, GRETONG. Nggak perlu bayar. Gara-gara Masniari, si nama Batak yang dulu saya sebal tapi sekarang saya sukai.


Tonk 1000 ligir, can 1000 dak

Pas SMP juga, angkot Perempatan Gegerkalong (sebetulnya pertigaan sih, tapi sudah dikenal dengan nama Parapatan) – Sarijadi masih kolt yang panjaaang. Isinya banyak, karena memang belum musim motor. Kalau naik kolt yang panjang ini sih sebetulnya yang gampang di pinggir, karena di dekat situ juga ada bel. Atau, kalau mau dekat bel, di kaca dekat sopir juga ada. Plus seringkali ada keneknya. Tapi, kadang-kadang kolt ini nggak ada keneknya. Jadi, kalau kebetulan duduk di tengah, terpaksa minta tolong si penumpang yang duduk di pinggir-pinggir ini untuk memencet bel. Karena saya turun dan naik di dekat pasar (ujung rute angkot), jadi saya seringkali kebagian memencet bel ini karena duduknya bisa milih di pinggir hihihiii …. Dan yang paling berkesan di angkot kolt ini adalah stiker bertuliskan: Tonk 1000 ligir, can 1000 dak (ah, terjemahannya tanya aja sama orang Sunda, hihihihiiiiii).


Ya Tuhan, Beraninya ia!

Ini pengalaman teman GPA saya. Jadi, suatu kali dia naik angkot kebagian di dekat pintu, karena angkotnya penuh. Bareng-bareng teman GPA lainnya juga. Eh, suatu saat, tiba-tiba angkotnya berhenti mendadak. Terus karena nggak seimbang, dia mau jatuh. Daripada malu karena jatuh, mending dia loncat duluan, katanya. Sambil teriak, huaaa! Di angkot itu banyak orang Papua. Seorang Papua yang kaget langsung berteriak, “YA TUHAN, BERANINYA IA!” dengan logatnya yang kental. Yah, meskipun malu, si teman saya itu naik angkot lagi. Teman saya yang satunya nahan ketawa sampai sakit perut. Hahahahahahaa ….


Baybay, Say ...

Kalau yang ini sih pengalaman tante saya. Katanya ya, ada sepasang kekasih yang duduk di depannya pas di angkot. Lalu, angkotnya harus lewat jalan yang bergelombang. Eh, si cewek karena mungkin nggak tahan keguncang-guncang, tiba-tiba kentut. Tuuuut …. Dan kurang ajarnya si cowok, begitu denger ceweknya kentut, dia langsung teriak, “KIRI!” dan kabur ninggalin ceweknya. Hahahahahaaaa ….


Dicurhati Sopir Angkot

Entah karena wajah saya Batak atau entah kenapa, saya sering dicurhatin sopir angkot. Prestasi saya yang paling gemilang adalah dua kali dicurhati sopir yang sama, waktu masih kerja, pulang dari Cinambo. Sopir Cicaheum – Ledeng itu bapak-bapak orang Padang, yang anaknya kuliah di Unisba. Dan dua kali saya dicurhati olehnya, pas ketika saya duduk di depan juga (kan nu geulis calik caket pa’ supir—yang cantik duduk dekat supir, hihiiii).


Marahin Copet

Pengalaman nyaris kecopetan di angkot juga pernah, tapi saat itu kebetulan saya lagi jadi petasan sumbu pendek. Di SINI ceritanya.Hihihiii ….


Jaipongan, Yuk!

Yang ini pengalaman paling dahsyat (menurut saya sih) yang pernah saya alami di angkot. Waktu itu, saya masih bimbingan senirupa. Kebetulan si Abang nggak bawa mobil, jadi kami pulang bersama naik angkot (kan si Abang pembimbing di bimbingan itu juga, hihihiii). Selain kami, ada seorang penduduk Sarijadi juga yang ikut pulang, teman bimbingan saya sekaligus kakak kelas SMA, Novi yang cantik jelita (dulu mah waktu SMA saya takuuut sama dia … jutek. Saya kelas 1, dia kelas 3 lagi. Tapi pas bareng bimbingan, ternyata bisa dikurangajari, hahaha). Dari Balubur, kami naik angkot Cicaheum – Ledeng ke arah Ledeng. Angkotnya penuh. Saya dan si Abang kebagian duduk di sebelah dalam, sementara Neng Novi nan cantik jelita ini duduk pas di belakang sopir. Waktu naik, angkot sudah terdengar berisik lagu jaipongan yang penuh blaktikpuk suara kendang.

Eh, waktu angkotnya maju, mulailah si bapak yang duduk di samping sopir menari jaipongan! Dengan heboh! Wuah, gerakan tangannya ke mana-mana, mungkin sampai kena-kena ke si sopir. Si sopirnya sih cuek, tapi Neng Novi mati gaya, hihihiii …. Bayangkan, sepanjang perjalanan Balubur – Gerlong, si bapak itu nggak berhenti jaipongan, di depan matanya! Saya dan si Abang berusaha nahan ketawa karena si bapak itu, ditambah ekspresinya Novi. Mungkin dia juga pengen ketawa, tapi takut si bapak marah, karena si bapak itu jaipongannya heboh, sampai muter ke segala arah. Akhirnya, pas kami turun dari angkot, huaaaaaaaaaaaa … ngakak sengakak-ngakaknya!


Sasakala Kiaracondong Macet

Terakhir, ini ada sasakala Kiaracondong macet (sasakala = legenda, Kiaracondong = daerah di Bandung yang terkenal macet selalu). Entah siapa yang menciptakan, saya mendengar dari si Abang. Konon, dulu Kiaracondong itu masih kosong. Hanya ada sawah luaaaaas banget. Sayang banyak hama tikus. Sampai para petani kewalahan. Lalu, mereka mendapat akal: mencari kucing untuk membasmi hama tikus. Lama-lama, populasi kucing semakin meningkat. Para petani memutar otak lagi. Solusinya, memelihara anjing supaya kucing-kucing takut. Eh … ternyata, anjing-anjing ini pun semakin lama semakin baaaaanyaaaakkkk. Apa ya, yang bisa menguranginya? Akhirnya, diputuskan: Kiaracondong harus ditinggali banyak orang Batak. Ehhhhh, semakin lama, semakin baaaaanyak orang Batak yang beranak-pinak. Dan jadilah Kiaracondong macet, karena orang-orang Batak itu pada jadi sopir angkot! Hihihiii ….

 

(Sasakala ini nggak SARA kan, soalnya yang posting juga Batak, hihihiiiiiiiiiiii)


Gambar dicomot dari www.metro.net

 

Minggu, 15 Juni 2008

MEKJUT oh ... MEKJUT


"Pap, kalau Adek DO, Adek mau kursus kue di Nyonya Liem, ya.”


Begitu yang saya bilang kepada si Papap waktu sempat terganjal kasus di tahap sarjana muda. Si Papap sih seperti biasa, manggut-manggut doang. Dan syukurlah, saya memiliki seorang abang yang aneh, SMA saja lima tahun, kuliah full tujuh tahun, jadi prestasi saya di sekolah tidak akan dibanding-bandingkan dengan prestasi si abang, hahahahahahaaaaaa! 

Di sekolah gajah yang bukan Way Kambas itu, ada tiga tahap evaluasi—TPB, Sarjana Muda, dan Sarjana. Kalau IPK < 2.00 dalam setiap tahap atau ada nilai mata kuliah E (pada tahap Sarjana sih D), dadaaaah …. Dan masing-masing tahap ada masa maksimalnya, seperti TPB maksimal dua tahun, Sarjana Muda maksimal lima tahun, dan Sarjana maksimal tujuh tahun (dulu, sekarang lebih ketat lagi).

Yah, angkatan saya memang angkatan paling ganjil dibandingkan angkatan-angkatan lain—nyaris kriminil semua (bukan kriminal). Bayangkan, dari tiga belas orang yang ada, dikurangi tiga pada tahap TPB (sekarang, yang satu sudah jadi sarjana hukum, yang satu sarjana politik, yang satu lagi entah ke mana), ada enam orang yang kasus sarmud. Lebih dari setengah dari yang tersisa!

Satu orang berkasus dalam mata kuliah Matriks dan Ruang Vektor dari jurusan Matematika (yah, saya juga ikut kuliah ini LIMA kali, dan akhirnya cuma dapat C, hahaha). Lima orang lagi, termasuk saya, tersangkut di mata kuliah MEKJUT.

Sumprit, bukan jorang atau parno, MEKJUT memang ada, MEKanika lanJUT. Kalau dalam mata kuliah Mekanika yang dipelajari adalah mekanika klasik Newtonian, di MEKJUT kami belajar tentang mekanika yang lebih rumit, mekanika Lagrangian, Hamiltonian, dan sebagainya (oh, jangan tanya apa isinya … saya juga sudah lupaaaa hahahaha).

Masalahnya, MEKJUT ini adalah mata kuliah dari jurusan Fisika, bukan dari jurusan Astronomi. Di jurusan Fisika sendiri, MEKJUT ini mata kuliah pilihan, tapi diwajibkan untuk mahasiswa Astronomi. Oh, kejam nian! Soalnya, yang mengambil mata kuliah pilihan ini umumnya adalah mahasiswa Fisika yang berminat belajar fisika teoretis—dan mereka biasanya pintar-pintar. Bagaimana nasib distribusi nilai kami? Huh.

Selain itu, isi MEKJUT sebenarnya juga diulas di mata kuliah jurusan Astronomi sendiri, di Geometri Alam Semesta. Oh, sungguh nama yang menakutkan. Seperti mata kuliah berjudul Benda Kecil dalam Tata Surya. Hihihiii ….

Nah, ada lagi masalahnya. Mata kuliah Matriks dan Ruang Vektor biasanya diberikan saat Semester Pendek. Jadi, si teman saya yang berkasus itu sudah agak selamat lah, paling-paling dia harus berusaha keras agar nilainya minimal C nanti. Sementara, MEKJUT ini kuliah pilihan yang paling diikuti oleh paling banyak lima belas orang mahasiswa. Mana mau jurusan Fisika menyelenggarakan semester pendek hanya untuk kami-kami ini?

Selain itu, dosen MEKJUT ini, sang ketua jurusan Fisika pada masa itu, adalah seorang dosen keras hati. Sebenarnya beliau baik (dan ganteng—menurut salah seorang teman saya yang juga berkasus. Halahhh!), tapi sulit dibujuk. Maka, mulailah kami bolak-balik—ke dosen wali, ke ketua jurusan, ke sekretaris jurusan, kembali ke jurusan Fisika, menemui si bapak dosen MEKJUT, bertemu dengan Pak Yeye—petugas TU Fisika, dipingpong lah.

Entah kenapa ya, saya sih waktu itu merasa benar-benar percaya diri. Saya berpikir, yang bener aje, masa jurusan rela kalau setengah angkatan 97 DO semua? Hihihii .... Tapi, ada salah seorang teman saya yang oh, panik setengah mati. Di mana-mana, air matanya bercucuran. Di depan ketua dan sekretaris jurusan, di depan si bapak dosen MEKJUT, mungkin juga di depan Pak Yeye (hmm … orangnya sama dengan si Neneng yang kami tipu harus traktir batagor itu, hihihiii).

Akhirnya, betul dugaan saya—kami semua mendapat kesempatan untuk ujian perbaikan. Syukurlah, saya mendapat nilai D! (Hahaha … nilai D aja bangga. Tapi memang, Listrik Magnet juga D, saya biarkan saja. Kimia 1 dan Kimia 2 juga begitu, ah, biar saja, daripada gatal-gatal, hihihiiiii) Sayang, di antara kami berlima, ternyata ada seorang teman yang meskipun dapat D, tapi IPK-nya benar-benar jauh dari 2.00. Jadi, hanya kami berempat yang lolos, bersama seorang teman yang berkasus Matriks dan Ruang Vektor itu.

Syukurlah, nilai-nilai saya jauh lebih membaik di tahap Sarjana (Kosmologi aja dapet A! Tapi sumprit, nggak inget sama sekali isinya, hahahahahaaaaa), meskipun perjuangan menyelesaikan Tugas Akhir sangat berat juga (haha … ini ada di kisah lain yang sudah diceritakan duluuuu).

Yang mengibakan sih si teman saya yang bercucuran air mata itu. Padahal dia yang berpendapat jika Bapak Dosen MEKJUT itu ganteng. Sampai lulus kuliah, dia nggak pernah mau lewat di depan gedung Fisika! Lebih baik jalan memutar. Sungguh aneh.

Yah, nggak jadi deh, kursus kue di Nyonya Liem. Hihihiiii ….

 

(Tulisan ini tuh request dari si Nata Pehul, yang juga berkasus MEKJUT bersama-sama saya, dan juga sialnya berpartner dengan saya di mata kuliah MATERI ANTAR BINTANG yang sudah saya ceritakan juga. Idihhh!)

Rabu, 28 Mei 2008

Kriminalitas di Kalangan Mahasiswa

Tulisan ini ada di blog friendster lamaaaa, tapi karena teman seangkatan saya mengingatkan kisah ini, jadi tulis lagi aaahhhhh di sini, hihihiiiii ....

Mahasiswa adalah sosok tanggung—baru beranjak dari usia remaja dan memasuki tahap dewasa muda. Sudah jelas, pada usia-usia sebaya mereka, para mahasiswa masih labil. Mereka juga mudah tergoda oleh  pengaruh-pengaruh negatif yang begitu gencar menerpa.

Salah satunya adalah seperti yang pernah saya alami ketika masih duduk di semester tiga. Saat itu, saya dan teman-teman baru saja menyelesaikan TPB (Tahap Persiapan Bersama) di ITB. Mata kuliah di TPB ini hampir seragam untuk semua jurusan, kecuali FSRD, salah satunya mata kuliah Fisika Dasar. Bobot Fisika Dasar ini 4 SKS, dan tentu saja dilengkapi praktikum yang  membosankan—menurut saya. Mungkin ada beberapa teman yang tidak bosan mengikuti praktikum ini, karena banyak mahasiswa-mahasiswa tingkat atas yang jadi asisten lab. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa jurusan Fisika, hanya segelintir yang dari jurusan Teknik Fisika. Dan kebanyakan laki-laki, tidak seperti asisten lab kimia. Tentu saja, lab ini jadi ajang perkecengan dan sarana saling mengincar.

Rupanya, pesona seorang asisten lab telah mencuri hati teman saya. Dua orang sekaligus, lagi. Hebat sekali. Padahal, kalau menurut saya, dia biasa-biasa saja, tipikal “mas-mas ITB” gitu deh. Tapi mungkin kegalakannya (yang menurut teman-teman saya adalah sifat tegas) yang jadi salah satu daya tarik.

Kedua teman saya ini bagaikan musuh dalam selimut—tampak rukun, padahal dalam hati mereka bergelora. Menurut mereka, tidak ada persaingan. Tapi, kami yang ada di sekitar mereka merasakan hawa panas persaingan ini.

Suatu hari, kami menemukan sebuah fakta, yang menjadi pencetus kriminalitas ini. Karena, hal ini menyangkut masa depan salah satu teman kami yang jadi peserta persaingan.

“Neng (nama disamarkan), kami harus memberitahumu sesuatu,” kata kami waktu itu.
“Apa? Apa?” kata si eNeng. Rasa penasaran membuncah di dalam dadanya.
“Kami tahu sesuatu tentang kecenganmu,”
“Apa? Tentang apa? Kenapa?”
“Mmm … nanti deh kami ceritain. Tapi, traktir dulu makan dong,”

Akhirnya, kami semua pergi ke Jalan Ganesha. Di sana banyak jajanan. Setelah memesan batagor dan yoghurt, temanku langsung membayarnya. Kami lalu duduk di meja, di bawah kerindangan pohon-pohon besar.

“Jadi, apa beritanya?” si eNeng tidak sabar.
“Mmm … nyam … nyam …” kami masih asyik menikmati batagor dan yoghurt.
“Ayo doooong! Cerita!”

Ehem. Baiklah.

“Begini Neng, pertama, kami ucapkan terima kasih untuk traktiran batagor dan yoghurtnya,” kami menarik napas dulu, menelan sisa kunyahan yang ada di mulut, lalu mulai lagi, “Lalu, ada yang harus kami sampaikan kepadamu.”
“Apaaaaaa?” rupanya dia mulai tidak sabar.
“Ehem,” kerongkongan perlu dibersihkan terlebih dahulu. “Begini Neng … kecenganmu … jadian … sama si Nona … (nama samaran teman kami yang sama-sama mengeceng si Mas ITB itu).”

“Ya ampuuuuuuuuuuuuuuun … Sialaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!”

Dan kami pun tertawa puas di atas penderitaan teman sendiri.


Moral cerita ini: Jangan cepat teperdaya oleh rayuan maut teman-teman yang mencoba memeras Anda. Terutama untuk hal-hal yang remeh-temeh seperti kecengan dan gebetan. Si Neneng dan si Nona ada di dalam foto seangkatan yang segelintir itu, tapi saya nggak mau bilang yang manaaaahahaahahahaaaaaaaa ....


Sabtu, 24 Mei 2008

Tante-Tante Legendaris di Bandung

Gara-garanya sih, karena akhir-akhir ini sering bergaul dengan seorang TUKUGIL, ibu-ibu tukang kue “gila” yang bernama Ibu Susi alias Teh Uci alias ibutio, yang nyaris di setiap pertemuan selalu membahas tante-tante pengusaha di Bandung (hihii … iseng banget yak).

Yah, Bandung kan kota kecil, apalagi bagi para seleb lokal seperti kami ini (hahaha … huekkk), pergaulannya saling sambung-menyambung menjadi satu. Jadi, bagi anak-anak Bandung yang merasa “gaul”, pasti tahu sosok tante-tante pengusaha ini.

Yang pertama adalah Tante Hendra. Saya sudah tahu si Tante ini sejak SMP, sejak mulai senang main-main dan jalan-jalan. Entah siapa nama sebenarnya, tapi beliau adalah tante-tante pemilik Taman Bacaan Hendra di Jalan Sabang, dekat Cihapit. Mungkin si Oom yang namanya Hendra, saya kurang tahu juga. Dulu, waktu saya SMP hingga kuliah, si Tante ini setia menjaga taman bacaan miliknya, bersama sang suami dan anak perempuannya. Sebetulnya ada dua karyawan TB Hendra yang setia, hingga saya kuliah pun masih belum ganti, satu bapak-bapak, satu ibu-ibu.

Taman Bacaan Hendra ini adalah taman bacaan beken seBandung Raya, karena paling lengkap pada zamannya—mulai dari komik dan novel serial komik jadul, komik Jepang, komik Eropa, buku terjemahan, buku karya pengarang Indonesia, hingga majalah-majalah. Anggotanya tersebar dari seluruh penjuru Bandung. Nggak melebih-lebihkan, tapi memang betul, karena saya saja berasal dari daerah Sarijadi, dan teman saya dari daerah Buahbatu, sama-sama pernah menjadi anggota taman bacaan ini. Entah, saat ini si Tante Hendra masih ada nggak ya, karena sudah lama sekali saya nggak berkunjung ke sana. Kartu anggotanya pun sudah hilang.

Di seberang Taman Bacaan Hendra, ada sebuah toko kertas dan kerajinan yang bernama Toko Tidar. Nah, ada seorang tante juga di Toko Tidar ini, saya nggak tahu juga namanya—sebut saja Tante Tidar. Wuah, saya senaaang sekali kalau main ke Toko Tidar. Soalnya, banyak kertas-kertas daur ulang yang bagus-bagus, hiasan-hiasan yang lucu, bahan baku kerajinan yang unik-unik, hingga yang sudah jadi produk, misalnya bingkai foto, stationery, atau jam dinding.

Toko Tidar ini memiliki jam buka yang aneh, karena ada jam istirahatnya—siang sampai sore. Beberapa kali saya kecewa karena sudah niat jauh-jauh main ke Toko Tidar, ternyata tutup (nggak belajar dari pengalaman dan sering lupa jam bukanya). Gosipnya sih si Tante Tidar hobi tidur siang, hihihiiii …. Tante Tidar ini pula yang menjadi pelanggan pertama kuenya ibutio (Teh Uci, sepertinya asyik kalau pengalaman pertama bisnis kuenya diceritakan hehehe).

Tante berikutnya adalah Tante Yosiko. Sama, ini juga saya nggak tahu namanya. Disebut Tante Yosiko karena beliau memiliki toko kertas dan stationery yang bernama Yosiko di Balubur—dulu dekat Kebon Bibit, sekarang pindah ke lokasi baru dekat Gelapnyawang. Waktu itu saya bimbingan SR di SD Kebon Bibit, jadi sudah pasti harus sering membeli kertas dan pensil. Dan toko langganannya ya Yosiko ini. Barangnya lengkap dan lebih murah, apalagi dibandingkan dengan Gramedia atau toko-toko lainnya.

Dulu, si Tante sudah hafal dengan belanjaan kami, kertas gambar berukuran A2, pensil beragam jenis (mulai dari sekian H hingga sekian B), dan penghapus. Tapi, sejak terdampar di Astronomi dan nggak butuh kertas gambar, saya mulai jarang mengunjungi Tante Yosiko. Paling sekali-sekali saja. Sejak pindah ke Pasar Balubur baru, saya nggak pernah lagi melihat si Tante jaga di tokonya. Lagipula, saya semakin jarang ke Balubur, karena memang jarang ada perlu. Dan dulu, para pembimbing SR itu sempat bergosip (yang sudah pasti ngarang), jika Tante Yosiko itu musuhan sama Tante Tidar, hihihiiiii … Asal (Gara-gara persaingan menjual kertas).

Akhir-akhir ini, saya tahu satu tante lagi, yaitu Tante Sedjati, pemilik Toko Sedjati yang menjual bahan-bahan kue, di daerah dekat Stasiun Hall. Gara-garanya sih karena sejak ngewarung sering membeli mayones, saus, dan sambal literan. Paling murah ya di Sedjati—bisa beda tiga belas ribu dengan harga supermarket! Tante Sedjati ini keren banget (menurut kesaksian ibutio juga), karena hafal harga-harga di luar kepala. Nggak perlu melihat contekan. Nggak perlu berpikir dan mengingat-ingat lama. Begitu kita tanya, “Anu harganya berapa?” Tante Sedjati langsung menjawabnya.

Sama seperti Toko Tidar, saya senaaaang sekali kalau berkunjung ke Toko Sedjati. Meskipun malas di perjalanan (karena Stasiun Hall sering macet). Membayangkan berkilo-kilo (berkuintal-kuintal, mungkin) cokelat, mentega, keju, keju krim, krim kocok, terigu, kenari, mayones, dan bahan-bahan makanan lainnya, serta takjub melihat deretan botol esens dan berbagai bahan makanan. Ada juga mesin pembuat fondue (yang sampai sekarang masih membuat saya penasaran), beragam cetakan, loyang, serta segala macam yang berhubungan dengan kue-kue dan masak-masak!

Uh, tapi amit-amit dah kalau kita berkunjung ke Sedjati saat bulan puasa. Penuh sesak! Orang-orang antre membeli bahan kue, baik porsi besar maupun untuk dimakan sendiri. Kuncinya datang ke Sedjati hanya satu: jangan banyak omong. Tulis saja pesanan kita di kertas, berikan kepada si Tante atau para pramuniaga, lalu tunggu, sambil memerhatikan bahan-bahan makanan yang berderet—atau mengamati sibuknya mbak-mbak pramuniaga yang menakar bahan-bahan. Setelah pesanan kita siap, pramuniaga biasanya memberikan kertas kita ke si Tante atau kasir asistennya, dan mereka mulai menghitung. Hanya cukup mengucapkan terima kasih—kecuali kalau barang yang kita pesan nggak ada dan para pramuniaga menawarkan alternatif lain (misalnya “ABC lagi kosong, Del Monte mau nggak?).

Di bidang katering, ada lagi seorang tante, tapi perkecualian, yang ini beken dengan panggilan “Ibu”—Ibu Tony. Ibu Tony ini adalah istri seorang dosen ITB yang berbisnis katering, dan paling terkenal di seantero Bandung. Sampai-sampai tercetus, “Kalau ke kawinan yang kateringnya Ibu Tony, harus makan masakan lidahnya!” (Bukan lidah Ibu Tony, pastinya, hihiii). Dan Ibu Tony ini juga yang membuat si Antjheu suatu hari berhasil membujuk saya menemaninya ke kawinan, karena suaminya berhalangan, dengan iming-iming, “Temenin gua, KATERINGNYA BU TONY, MAR!” Hahahaaaa!

Ada satu lagi tante yang sempat saya lihat menunggui tokonya, yaitu Tante di Toko Sumber Hidangan, yang menjual kue-kue legendaris yang terkenal sejak zaman Belanda. Sampai sekarang, saya masih penasaran ingin minum kopi di sana, sayang waktu wisata kuliner di Braga bersama Suze Antie waktu itu, kafe Sumber Hidangan sedang tutup dan baru buka sore hari, jadi kami hanya beli kue dan selai kacang untuk dibawa pulang. Jadi, gosipnya, Tante Sumber Hidangan ini punya jadwal tidur siang yang sama dengan Tante Tidar, hihihiiiii ….

Sebetulnya sih, pasti masih banyak tante-tante pengusaha di Bandung ini. Hanya saja, yang menurut saya paling legendaris (dan saya tahu) ya para tante di atas. Saya juga nggak tahu apakah para tante itu masih ada atau sudah meninggal (kecuali Tante Sedjati, karena baru beberapa minggu saya belanja di sana, Ibu Tony, karena masih aktif berbisnis katering, dan Tante Sumber Hidangan, karena terakhir ke sana masih ada).

Kalau ada yang mengenal para tante tersebut, mohon maaf ya kalau saya sering menggosipkan mereka, ngawur lagi hihihiiii …. Yah, digosipkan itu berarti tandanya mereka memang terkenal dan legendaris. Sebetulnya juga masih banyak tante-tante lainnya, seperti Tante Teko (pemilik kafe Teko di daerah Ciumbuleuit), Tante Reading Lights (pemilik toko buku Reading Lights di Siliwangi), hingga Tante-Tante Dharma Wanita ITB yang mengelola kantin GKU Barat (hikhikhik … dulu sering dimarahi tante-tante ini, “Taruh saja uangnya di situ, Sayang!” “Sebentar, Sayang, sabarrrrrr!”). Tapi kalau diabsen semua, ya capeeeeek!

Saya juga sering bertanya-tanya, apakah saya bisa jadi tante legendaris Bandung seperti mereka? (Menurut saya, yang kemungkinan besar jadi tante legendaris Bandung itu adalah Teh Uci dan Teh Echy, hihihiiii) Mudah-mudahan saja!

 

Catatan

Oh, tentu saja fotonya WAJIB foto Ny. Hj. Romlah, pengusaha angleng dan wajit dari Cililin. Sudah terbukti, Tante Romlah memang legendaris. Meskipun Cililin agak “nyingcet” dari Bandung, Tante Romlah JUARA!

Catatan Tambahan
Maaf, lupa mencantumkan satu calon tante legendaris di Bandung: Tante Boit sang juragan Omuniuum, hahahahahaaa ....

Kamis, 17 April 2008

Meja Kerjaku Dulu (Terinspirasi Ms. G Terchayank)

Ms. G barusan posting meja kerjanya yang rapiiiiiiiiiiiiiii bangettt di SINI

Jadi inget, saya masih punya foto meja kerja waktu kantor Mizan masih di Yodkali, salah satu surga jajanan di daerah Bandung agak ke timur, hihihiii ...


Mari kita perhatikan ada apa saja di atas meja yang sama sekali nggak bisa dipake nulis, apalagi menggambar ini ...
  • Buku-buku reading copy yang sangat menyenangkan. Ya iyalah menyenangkan, karena eh karena, buku anak-anak semua hahaha .... (Dulu saya pernah mimpi indah, masuk sebuah perpustakaan penuuuhhhhh buku anak-anak. Eh, taunya agak-agak menjadi kenyataan, hidup saya bergelimang buku anak-anak, meskipun bukan milik sendiri, hiks ...)
  • Kalender dengan buletan-buletan di tanggal dan post it bertulisan "Evaluasi + Program, JUMAT!" hahahaha ... kantoran banget yak.
  • CD-CD yang isinya file-file picture book Little K. Tapi CD-nya belum begitu bertumpuk, setelah kantor pindah ke Cinambo baru CD-nya bertumpuk.
  • Dummy picture book "Perjalanan Panjang Mengelilingi Dunia" yang diterjemahkan oleh Suze Antie, tapi nggak jadi diterbitkan hihihiiii ... (yah Suze, kita kan sudah mengibarkan bendera kuning sama-sama ya hahaha).
  • Bungkus kamera digital, kamera digitalnya dipake motret duonk ahhh ...
  • Gelas air putih yang biasa dibawain A Yayat (salah satu kecengan Sitorus haha) setiap pagi, kecuali bulan puasa.
  • Mug tahan panas yang masih belum dipake (terbalik), biasanya dipake minum kopi pagi-pagi atau sore-sore (kadang-kadang pagi dan sore).
  • Kotak obat-obatan terlarang, mulai dari antianalgesik hingga obat diare.
  • Sebuah kotak bekas cokelat Cadburry yang isinya ranjau ... (Suze Antie nyaris pernah tertipu, hahaha), di balik spidol-spidol yang bertumpuk.
  • Bandana merah madusa (made in usa gitu lhuwokh hahaha) kesayangan. Kenapa kesayangan? Soalnya kain bandana madusa beda dari bandana lokal. Karena dulu saya wanita Jawa yang naik motor bebek, biasanya pake bandana buat nutupin idung dan mulut. Dan kain bandana madusa nggak bikin sesak napas, beda dengan kain bandana lokal.
Hebat kan, berantakannya? Hahahaha ...
Tapi, kalo meja saya rapi, suasana kerja jadi nggak enak ... Suka jadi males kerja, maunya ngeberantakin meja dulu, hahahaha!


TAMBAHAN FOTO

Nah ... yang ini, suasana meja di kamar beberapa tahun yang lalu ... gila ya, amit-amit dah, saya juga betek ngeliatnya. Keadaan ini cuma sebentar kok, sekitar semingguan, pas dulu lagi sibuk apa ya, lupa. Pokoknya, nggak sempat beres-beres aja. Sekarang sih jauh lebih mending meskipun masih "agak" berantakan, hahahaaaaa ....

Apa aja yang ditumpuk?
  • Wadah CD
  • Kertas-kertas nggak jelas yang akhirnya dibuang semua
  • Foto-foto
  • Buku panduan masuk Planetarium Jakarta, hahaha ... (kalo nggak salah foto ini diambil setelah temu alumni astronomi "kecil" di sono)
  • Tas peralatan mandi, yang selalu siap disambar kalo perlu nginep-nginep atau berenang
  • Syal kuning dekil hasil sehari jalan kaki Bandung-Cicenang, seminggu di hutan Cicenang (dulu masih hutan, belum kebon), dan tiga hari jalan kaki Cicenang-Subang-Bandung, hahaha ...
  • Buku-buku, khususnya buku anak-anak (lihat, ada koleksi Astrid Lindgrenku dan Jennings hehehe)
Tapi tenang, saya sudah kapok punya meja seberantakan ini ... susah nyari barang, hihihihiiiiiiiiiiiii ....

Selasa, 01 April 2008

Ya Sudah, Panggil Saja Tante ....

Beberapa minggu yang lalu, seorang teman seangkatan saya di SMA, Cep Budiharto, bilang kalau ada murid-muridnya di SMP 32 yang pengen kenalan dengan saya. Kata doski, ada yang pengen nanya-nanya tentang astronomi, tentang dunia tulis-menulis (dunia perbukuan kali yee), dan tentang macam-macam lagi. Saya bilang, okeyyy … siapa tatuuuut. Kan Tante bisa menambah koleksi brondong, hihihiiii.

Laluuu, beberapa hari yang lalu (waduh, saya mah udah lupa hari, jadi maafkan kalo nggak inget kapan tepatnya, hihii), Cep Budi ini menelepon. Katanya, ada murid-muridnya yang ingin ngobrol dengan saya. Jadilah saya kenalan dengan dua orang murid SMP. Cewek lho. (Kalo berniat mengijon, silakan minta izin dulu sama Pak Budiharto) Intinya sih cuma kenalan dan mereka bilang kalau pengen ngobrol sama saya tentang astronomi dan tulis-menulis (ya, saya memang ahli tulis-menulis dan semakin ahli ketika tak dinyana bersua dengan para kubugil—tentu saja dalam bidang tulis-menulis racauan dan hal-hal nggak penting sedunia raya. I’m queen of doing nothing, gitu whluwokhhh).

Penelepon pertama … berjalan lancar (meskipun saya lupa namanya siapa karena ngomongnya singkat, perkenalan doang). Lalu, di sela-sela itu ada suara Pak Guru Budi, “Mar, ini ada satu lagi yang mau ngomong.” Dan … jengjreng, muridnya Pak Guru Budi itu menyapa saya, “Halo, TANTE, mau kenalan ya ….”

Hahahahahahahahahahahahahaaaaaa ….

Beneran dah, dipanggil Tante. Saya langsung ngakak, dan bilang “Waduh, kok dipanggil ‘tante’ sih?” Suara dari sana balas bertanya, “Abis bingung, manggilnya apa?” Ya saya jawab, “Panggil ‘neneng’ aja, gitu,” (meskipun bukan Nenenk Anjarwati, hihihiiiii).

Pasti ini gara-gara si Cep Budi. Waktu telepon sudah dioper ke dia, Cep Budi bilang kalau murid-muridnya juga bingung mau manggil apa sama saya, trus dia bilang karena saya orang Batak, ya sudah, panggil “tante” saja.

Awalnya sih masih agak geli gitu dipanggil “tante” beneran sama anak SMP, hahaha …. Masih berusaha menyangkal kebijaksanaan yang semakin matang (bukan usia yang semakin tua, hihihiii). Eh, ternyata muridnya si Pak Cep Budi ini mengirim e-mail ke saya tadi siang. Dan akhirnya kami YM-an. Namanya Nira, kelas 3 SMP.

Ehhhh … ternyata tetep aja, dipanggil “tante” lagi, hahahahahaaaa! Cuma, kali ini ya sudah, saya pasrah saja. Ada dua alasan, pertama: memang saya punya keponakan seumuran mereka ini, SMP, meskipun dia nggak manggil “tante” (manggilnya “bou”—dari namboru, saudara perempuan ayah). Legian keponakan saya yang paling gede juga sudah hampir lulus kuliah kok … meskipun dia juga nggak manggil “tante”, manggilnya “etek”(saudara perempuan ibu). Kedua: secara struktur hierarki-hierarkian sih, bener juga. Mereka murid Cep Budi. Mereka manggil Cep Budi “bapak”. Saya temen Cep Budi. Ya wajar saja kalau mereka manggil saya “tante”. Meskipun masih geli mendengarnya, hihihihiiiiii ….

Jadi, akhirnya saya pasrah saja dipanggil “tante”. Toh meskipun tante-tante, tetap keren kok. Dan tadi, obrolan kami di YM lucu juga, heheheee… mulai dari bagaimana caranya belajar supaya lulus UN *jangan belajar terus, main juga harus banyak, begitu jawaban saya, hihiii*, dulu Tante SMP-nya di mana, dulu Tante mainnya ngapain aja, Tante dulu ikut les nggak, sampai … dulu Tante pernah naksir sama cowok nggak *dan saya jawab: ya iyyyyalahhhhh … kecengan mah segudang, gitu, hihihiiii*, dan apakah naksir cowok itu mengganggu pelajaran? *saya jawab, tergantung. Soalnya dulu saya malah semangat ke sekolah buat ketemu teman-teman dan kecengan, hahaha … makanya nggak pernah mabal, meskipun sekolah hanya untuk bersosialisasi*

Sayang tadi saya harus segera pergi ke warung, karena ada janji dengan T’ Peni. Jadilah obrolan kami terputus sampai di situ. Setelah mengendapkan peristiwa tadi sebentar, baru muncul suatu kesadaran: apakah saya malah bikin dia ngaco dengan jawaban-jawaban saya? Hihihiiiiiiiiii … yah, Pak Cep Budi, mohon maaf sajahhh … saya mah Etty Gadis Jujur sih, hahahahaha!


Catatan

  1. Sebenarnya, saya adalah jenis orang yang berpendapat bahwa panggilan tidak berbanding lurus dengan kesopanan dan penghormatan. Nggak masalah kalau saya tiba-tiba ditelepon oleh Daffa, salah seorang keponakan saya, “Hei Dek, lagi ngapain?” (hihii … lalu ortunya yang panik), atau diceritai si Ambu Vekih kalau Nenk Zahra tiba-tiba bilang ke abahnya, “Bah, hayu kita ke si Umay!” (hahaha … disebut si Umay sama gadis muda berusia dua taun euyyy … hahaha)
  2. Kalau punya anak, sebenarnya saya juga pengen dipanggil nama saja, nggak usah pake “ibu” atau “nyokap” atau dll. Tapi entahlah, gimana nanti aja. Anaknya juga belum dibikin! Hihihiiiii ….
  3. Mungkin ini juga sedikit gara-gara kualat, karena ogah dipanggil Ms. M setelah ada Ms. A, Ms. D, dan Ms. G—malah ingin dipanggil Tante M saja.
  4. “Cep” pada tulisan di atas bukan bagian dari namanya Budiharto, tapi sifatnya sama dengan “Neng” atau “Jang”.
  5. Ya sudahlah. Pokoknya saya pasrah dipanggil “Tante”. Yang penting darahnya masih bergolak seperti anak muda. Hahahahahahaaaaa!
  6. Gambarnya pake foto Mint Sahi alias teh mint hasil karya si Papah Manggis duonk ... TETAP JUWALANNNN!!!

 

 

Minggu, 02 Maret 2008

Yakitate Japan!

Awalnya sih, gara-gara iseng memindah-mindahkan saluran Indovision. Kebetulan, pas di Animax, ada sebuah film kartun tentang pembuat roti. Sebagai penggemar makan (bukan penggemar masak), saya jadi tertarik untuk menontonnya sampai habis satu episode. Padahal saya bukan penggemar anime (tapi suka menonton kartun yang berhubungan dengan masak-masak hihihii). Akhirnya, malah ketagihan.

Tokoh utamanya adalah Kazuma Azuma, seorang anak lelaki “bertangan matahari” yang punya ciri khas selalu memakai bando untuk menahan poninya yang panjang. Menurut filmnya sih, orang-orang yang memiliki “tangan matahari” yang bertemperatur panas ini biasanya jagoan mengadoni roti atau kue (sementara orang-orang yang memiliki “tangan kutub” atau tangannya selalu dingin seperti saya, jagoan mengolah nasi. Tapi, tampaknya tidak benar—dalam kasus saya, hihihiii).

Azuma ini adalah anak desa, yang dibesarkan oleh kakeknya. Sejak kecil dia sudah bereksperimen untuk membuat “Japan”, roti khas Jepang, karena Jepang adalah negara yang nggak memiliki roti tradisional. Akhirnya, dia diterima di sebuah cabang jaringan toko kue yang besar, Pantasia. Di sana, dia bertemu Mr. M (Ken Matsuhiro), laki-laki aneh berambut kribo dan bertampang seram, manajer cabang; Kyosuke si cowok centil; Tsukino, cucu perempuan pemilik Pantasia; dan seorang lagi yang saya lupa namanya, berambut seperti batok.

Namanya juga film kartun masak-masak, pasti ada kompetisi masak. Awalnya, kompetisi yang Azuma ikuti adalah melawan St. Pierre, toko roti saingan yang berseberangan dengan toko mereka. Yang dilawan adalah Mr. Mokoyama, seorang pembuat roti kekar tapi gemulai. Setelah itu, Kazuma mengikuti kompetisi antarpembuat roti pemula di Pantasia sendiri. Hasilnya, namanya juga film kartun, ya dia pemenangnya. Setelah memenangi turnamen, Azuma, Kyosuke, bersama dua mantan lawannya, Shigeru—cowok berambut pink yang ternyata anak bos Yakuza—dan Suwabara, seorang ahli katana, dikirim mengikuti Turnamen Monaco, melawan negara-negara lain. Tentu saja Jepang menang.

Yang terakhir, Kirisaki, pemilik St. Pierre, menantang Azuma untuk mengikuti turnamen yang bernama Yakitate 9. Cerita ini belum selesai diputar di Animax, masih tengah-tengah.

Anime ini menarik bagi saya karena pertama, selalu menampilkan berbagai teknik membuat roti. Mulai dari bagaimana membuat roti yang meledak tiga kali, siasat mengukus bakpao dengan teh dari daun bambu, dan banyak lagi. Yang kedua, anime ini kacau banget, hahaha …. Nyaris di setiap episode ada kemustahilan, tapi saya senang menontonnya.

Contohnya, reaksi Pierrot, badut istana yang menjadi juri Turnamen Monaco. Sewaktu episode Azuma dan teman-temannya terdampar di sebuah gua bawah laut, setelah makan roti ikan buatan Azuma, si Pierrot ini jadi punya insang. Atau reaksi juri Yakitate 9, Mr. Kuronayagi—yang sering diledek dengan sebutan “Pak Tua” oleh Kyosuke—saat memakan roti ganggang laut buatan Azuma. Reaksinya lamaaaa sekali. Ternyata, lama itu karena dia mengurus surat-surat untuk menikah dulu, lalu menikah, kemudian berbulan madu, dan bercerai lagi (sungguh aneh, hahaha). Ada juga kisah Shigeru yang melawan kakak tirinya sendiri, dengan taruhan yang kalah akan menjadi ahli waris Yakuza. Di akhir episode, bapaknya menyadari bahwa kedua anaknya sudah menemukan jalan hidup masing-masing, dan malah mengambil si Mr. M untuk menjadi penerusnya (sungguh ajaib).

Selain alur cerita yang agak-agak ajaib, seringkali ada kejutan di tengah episode. Misalnya, kemunculan seorang tokoh anime yang khas, dan tiba-tiba Kyosuke berbicara ke kamera, “Produsernya sudah minta izin belum ya, menampilkan tokoh itu di sini?”. Atau, saat Mr. M sudah menjadi bos Yakuza, si Kyosuke juga berkata, “Baru beberapa episode, tapi dia sudah jadi bos penjahat!”

Jadi, setiap hari, pasti saya berusaha untuk menonton serial anime ini. Lumayan, selain untuk menambah pengetahuan tentang roti-rotian dan berbagai bahan makanan serta cara mengolahnya, saya juga bisa tertawa karena keanehan serial ini. (Dan ternyata bukan saya saja yang suka, beberapa teman lain juga setia menonton, hihihiii)


(Gambar diambil dari http://www.gamenet.com.hk)