Rabu, 03 Desember 2008

Maria Lubis versus Maryam Wahidin

Sebetulnya, di akte kelahiran saya (dan banyak teman yang umurnya sebaya), nggak ada nama marga yang dicantumkan. Di kelas saya (kelas 2 dan 3) waktu SMA juga ada sembilan pemilik marga Batak dan hanya satu orang yang tercantum marganya, si Olip doang (Padahal ada tiga Sirait, satu Lubis, satu Barus, satu Marpaung, satu Ginting, satu Manurung, terus si Ratna apa ya, lupa dia boru apa hihihiiii).

Menurut si Papap, pada masa itu pembuat akte kelahiran melarang pencantuman marga di akte kelahiran, dengan alasan yang agak-agak SARA (ya gitu deh, males ah ceritanya hihihiiii). Jadi, karena nama di sekolah harus sesuai dengan akte kelahiran, marga-marga yang bukan satwa itu terpaksa hilang sementara.

Saat akhirnya memiliki KTP, si Emak mencantumkan marga Lubis di belakang nama saya. Karena KTP yang akhirnya dianggap lebih berlaku daripada akte kelahiran, jadilah nama dengan marga Lubis itu yang dipakai di mana-mana, mulai urusan dengan bank sampai pekerjaan. 

Jauh-jauh hari sebelum “beritu”, saya sudah bilang kepada si Aq, saya nggak akan memakai namanya. Saya akan tetap bermarga Lubis saja, tidak seperti si Emak yang akhirnya ikut memakai nama Lubis di namanya. Si Aq sih santai-santai saja, sepertinya kalau saya ganti nama juga dia mah cuek saja hihihihihiiiiii ….

Bukannya berpikiran atau memiliki harapan buruk, tapi memang ada pengalaman merepotkan yang melibatkan nama gadis dan nama suami itu. Waktu masih kuliah, adik-adik kelas saya mengadakan suatu acara astronomi yang cukup besar. Mereka mengundang pembicara seorang perempuan ilmuwan yang beken. Tapi, ternyata mereka kerepotan mengganti spanduk pada saat-saat terakhir, karena di spanduk itu tercantum nama si ibu dengan nama suami di belakang namanya. Padahal mereka baru saja bercerai. Jadi, si ibu ingin nama gadisnya saja yang dipakai. Waks, kasihan teman-teman yang harus balik lagi ke pembuat spanduk untuk menggantinya! 

Kerepotan lain juga terjadi saat uwak saya meninggal dan istrinya mengurus surat kematian. Karena nama istri uwak saya berbeda (ada yang memakai nama gadis, ada yang memakai marga Lubis) di berbagai surat, KTP, Kartu Keluarga, dan beberapa dokumen lain, jadi urusannya berbelit-belit di kelurahan dan kecamatan.

Jadi, melihat dua pengalaman yang merepotkan ini, saya semakin mantap tidak akan memakai nama suami di belakang nama saya. Yah, kalau disapa “Bu Dindin” sih ya sok wae, hihihihiii …. Yang jelas, nama saya di dokumen-dokumen resmi dan halaman-halaman copyright buku tetap ada Lubisnya. Saya juga nggak berniat menambahkan Wahidin di belakang atau di depan Lubis, seperti nenek saya yang namanya jadi Armia Lubis-Nasution (maksudnya menikah dengan marga Lubis, sementara Ompung sendiri boru Nasution). Ini sih alasannya cetek—malas, kepanjangan. 

Emmm … sebetulnya ada alasan lain sih, yang membuat saya enggan mencantumkan nama si Aq di belakang nama saya. Alasannya lebih cetek lagi, hihihiii …. Soalnya, nama kami itu nggak nyambung kalau disatukan, masa’ jadi Maria Wahidin? Apalagi kalau Masniari-nya dicantumkan, jadi Maria Masniari Wahidin. Ini teh nama Batak atau nama apa? Hahahahaaaaa ….

Karena itu, biarkan saja nanti anak-anak kami yang memakai nama Wahidin di belakang namanya, ibunya mah tetap boru Lubis, kecuali kalau ganti nama jadi Maryam—cocok kan, Maryam Wahidin?

 

*Tapi tentu saja si tante keren ini nggak mau ganti nama, karena sudah ada pemilik nama Maryam di keluarga (istrinya salah satu uwak saya) dan di Astro '97. Hihihihiiiii ....