Rabu, 20 September 2006

Canyoning: Mencoba Menaklukkan Air Terjun







Hiking? Sudah biasa. Rafting? Sudah
banyak operator rafting komersial di berbagai sungai di Indonesia.
Tinggal membayar sejumlah uang, kita bisa langsung menjajal jeram-jeram sungai.
Panjat tebing? Jika malas ke Citatah atau Gunung Parang, di beberapa kota
besar juga sudah banyak dibangun dinding-dinding buatan yang menyerupai tebing.






Jadi, ingin mencoba sesuatu yang
baru? Silakan mencoba canyoning. Sensasi yang dirasakan kira-kira mirip dengan
panjat tebing digabungkan dengan rafting, kegamangan berada di ketinggian
bercampur dengan percikan—bahkan guyuran—air ke tubuh kita langsung.






Canyoning (atau dikenal juga dengan
nama canyoneering) sendiri—sesuai asal katanya, canyon—sebetulnya berarti
perjalanan mengarungi canyon atau air terjun, dengan berbagai cara: berjalan,
merayap, memanjat, melompat, menuruni tebing air terjun dengan tali, dan
berenang. Tapi, kadang-kadang memang sering terjadi pergeseran atau penyempitan
makna. Biasanya sih kalau teman-teman saya mengajak “Canyoning, yuk!” itu
artinya adalah ajakan menuruni sebuah air terjun dengan teknik turun tebing
berupa rapelling dan tali-temali.






Kalau di Bandung sih, biasanya
tempat canyoning yang relatif dekat adalah Curug Ubrug di daerah Parongpong Lembang,
dekat Villa Istana Bunga dan Pusdik Kavaleri (yang banyak kuda-nya). Jalan
masuknya sih lewat Villa Istana Bunga, di dalam kompleks villa ini akan ada
gerbang menuju perkampungan penduduk. Dari situ kita bisa mencapai curug alias
air terjun ini.






Sebelum mulai menuruni air terjun,
hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari tempat untuk memasang pengaman.
Tentu saja pengaman yang dipasang harus betul-betul aman. Biasanya sih
berlapis-lapis, ada yang dipasang ke batu besar, ke batang pohon, atau ke benda
lain yang tentu saja harus kokoh betul. Kadang-kadang juga harus ada seorang
belayer di bagian bawah air terjun. Dan jangan lupa untuk memeriksa pengaman
tubuh kita, apakah harness-nya sudah terpasang sempurna atau carabiner sudah
terkunci. Jangan lupa juga pakai helm! Selain untuk keamanan dan keselamatan
kita, helm ini berguna untuk menahan semburan air. Baju yang dipakai juga
sebaiknya wetsuit untuk berbasah-basah (dan jangan lupa bawa ganti ya, sampai
baju dalam juga—soalnya memang basah sekujur tubuh).






Dan memang betul, sensasi rasanya …
glek! Pertama menjejakkan kaki di bebatuan saja sudah tegang, karena batu-batu
basah terasa licin di kaki. Ketika mulai melangkah turun, tambah tegang lagi,
karena di bagian awal air terjun ini semburan air begitu kuat. Hati-hati juga
jangan sampai jari kita terjepit di antara tali dan batu (soalnya saya pernah
begitu, hikhikhik … moal deui deui). Kalau nggak mau begitu, berarti pijakan
kaki kita harus kuat ke tebing air terjun (jadi tali pengaman nggak akan
menempel di batu). Selama beberapa detik, waktu itu saya merasa sesak napas.
Karena, selain tegang dan takut pegangan saya pada tali terlepas, deru air
terasa membuat tuli dan dorongannya begitu kuat, menampar kepala, wajah,
terutama mata. Tetapi, beberapa saat kemudian, saat sudah agak turun, baru
terasa kenikmatannya. Serangan air sudah mulai mereda dan indra kita sudah bisa
berfungsi kembali—melihat pemandangan indah dari ketinggian dan mendengarkan
percikan air.


canyon






Setelah sampai ke bawah, biasanya
kami turun ke sebuah batu besar di bagian dasar air terjun, nggak pernah
langsung mencebur ke air (saya nggak tahu euy, teman-teman saya sudah ada yang
pernah mencoba langsung mencebur ke air belum ya? Soalnya memang sih, telanjur
basah, hehe). Setelah itu, biasanya muncul dorongan ingin lagi, lagi, dan lagi
…. (dan yang menambah kenikmatan adalah setelahnya, karena biasanya murak bekel
alias makan bekal bersama-sama. Mie kuah instan pun terasa nikmaaaaaaat!)







Mau mencoba?




(model foto: Nenk Oey & Cep Gumi, soalnya waktu bongkar-bongkar
foto cuma ada itu euy hiks ... yang di tengah beda motretnya sama yang
di pinggir-pinggir)














Kamis, 14 September 2006

Bandung Historical Walk [Part 3]


Nggak tau masih berfungsi nggak nih

Nah ... ini sesi terakhir. Mulai dari kunjungan kilat ke Toko Sumber Hidangan di Braga, diteruskan dengan makan es krim dan roti di Braga Permai (hmmm ... pengen lagi deh, sayang es krimnya one single scoop gitu, bukan yang pake whipped cream berhias red cherry, hahaha), ngintip dapur Braga Permai, lalu terus menyusur Braga, belok di depan Balaikota, terus ke Jalan Jawa, belok ke Jalan Sumatera, belok lagi ke Taman Lalu Lintas, menyusur Taman Maluku, lalu ... akhirnya sampai di Gedung Sate. Capek juga deh, hahaha ....

Rabu, 13 September 2006

Bona, Semester Baru Jangan Sendu ....




Pertama kali melihat bocah ini di
jurusan Astronomi, perasaan saya sudah nggak enak. Sepertinya tengil, centil,
dan menyebalkan. Tapi, karena beda 4 angkatan dengannya, ya saya cuek saja.
Soalnya, nggak mungkin bakal mengulang kuliah dengan angkatan 2001,
hahahahahaha! (dengan angkatan 2000 pernah sekali, waktu Matriks & Ruang
Vektor, hehehe)








Kebetulan saya nggak ikut waktu
Garden
Party—itu lho, OS-Jur Astro,
hehe—angkatan dia. Soalnya lagi demam waktu itu. Padahal itu tahun kedua saya
jadi swasta, dan seperti biasa para swasta di Himastron sudah selayaknya
menyebalkan (Contohnya, ketika suatu siang teduh dengan angin sepoi-sepoi harus
mendengarkan kisah zaman kekuasaan si Papa Tom dengan suaranya yang
menghipnotis, tanpa boleh tertidur). Sebetulnya sedikit menyesal juga kenapa
saya harus terkapar di rumah pada saat itu, karena saya ingin sekali melihat si
bocah ini disiksa setengah mampus (Setengah mampus di sini, mohon jangan dibaca
dengan persepsi perpeloncoan seperti jurusan-jurusan penuh lelaki seperti
Geologi atau Mesin ya, tapi setengah mampus karena saaangat melatih kekuatan
mental saking menyebalkannya).




Setelah Garden Party, mulailah
makhluk ini sering muncul di Himastron. Penampilannya sih gampang dikenali,
karena dia hobi sekali memakai barang-barang berwarna pink, sama dengan Ira
(salah seorang teman seangkatannya). Lama-lama, jadilah dia dijuluki Bona, dari
nama bagus-bagus Dewi Pramesti Kusumaningrum dengan panggilan Esti (Uh, sok
imut bangettt). Yang pertama kali mencetuskan “Bona” ini adalah si Nata.
Kenapa? You know lah, Bona itu kan
gajah kecil berwarna pink (hahaha … aku nggak menyinggung anatomi lho ya Bon, cuma
ngasih petunjuk :p). Setelah beberapa lama di Himastron, dia mulai akrab dengan
si Coni alias Cowok Nimbrung dan mulai deh, menyuruk-nyurukkan diri ke dalam
pergaulan kakak-kakak kelasnya yang keren-keren ini.








Awalnya, setiap bertemu saya di
Himastron, dia selalu menjerit, “Kakaaaaaaaaa!” jadi ya saya panggil saja dia
Bimbim. Tapi lama-lama, panggilan Bimbim ini memudar. Soalnya, citra “Bona”
begitu kuat melekat pada dirinya.




Yang paling khas dari si Bona ini
adalah … suaranya. Kalau kalian mendengar suaranya tanpa melihat orangnya, pasti
akan menyangka dia seorang anak TK yang tersesat di rimba belantara ITB. Suatu malam,
waktu saya sakit, dia pernah menengok ke rumah bersama Coni dan Nata. Nata
sudah masuk duluan, dia dan si Coni masih ada di ruang kelas TK di bagian depan
rumah. Tiba-tiba, terdengar suara seorang anak membaca doa, “Ya Allah, …” si
Emak langsung berlari ke depan, menyangka ada seorang anak TPA atau TK yang
masuk ke dalam kelas. Atau ketinggalan, belum pulang. Ternyata … bocah itu sedang
cengar-cengir di kegelapan bersama si Coni. Hahaha, disangka anak TK!








Karena mereka (si Coni dan Bona)
ini semakin lama semakin mendesak-desakkan diri ke dalam pergaulan, akhirnya ya
jadi akrab. Sempat juga dia dijuluki Ceni alias Cewek Nimbrung, tapi julukan
ini juga nggak bertahan lama. Akhirnya, kita jadi sering nangkring di
Himastron, bertengger di pelataran belakang Himastron sambil ngeceng
burung-burung dari kebun binatang, makan pisang panggang dan indomie rebus di
Dago, jalan-jalan berkeliling Bandung,
dan macam-macam lagi. Kalau makan di warung Padang
paling seru, apalagi kalau di Warung Padang Singgalang di Tubagus Ismail.
Biasanya saya, Nata, dan si Coni makan gulai kepala ikan patin, yang membuat si
Bona amat sebal dan ngeri, karena dia takut ikan! (Sungguh aneh, bahkan
menonton Finding Nemo yang lucu pun nggak mau!)




Acara-acara nangkring ini pula yang
membuat terbentuknya Goerita Malam, band aneh dengan personil-personil yang
aneh juga, yang hobi menyanyikan lagu-lagu Indonesia zaman dahulu tapi
sok-sokan sudah go international (manggung di hadapan profesor tamu dari
Belanda dan Jerman di Observatorium Bosscha sudah termasuk kan? Hahaha) dan
pernah mengiringi Tante Henny Purwonegoro di acara pensiun Babe. Awalnya sih,
pulang dari warung pisang panggang di Dago itu (Padaloma) kami menyanyikan
lagu-lagu perjuangan. Keras-keras, karena sudah tengah malam ini, kampus sepi. Lama-lama,
lagu-lagu perjuangan berganti menjadi lagu-lagu Indonesia Romantik, kebanyakan
karya Ismail Marzuki. Dari situ tercetusnya ide untuk mendirikan band aneh.
Kebetulan nggak berapa lama dari waktu itu, ada acara di gerbang ITB (aduh saya
lupa euy, naon nya?). Akhirnya kita jadi manggung juga dengan tiga lagu, Juwita
Malam, Payung Fantasi, dan Kopral Jono (yang belum berubah menjadi bencong,
hahaha).






Sebagai personil Goerita Malam, si
Bona ini selain vokalis juga adalah pemain flute. Ciri khas Bona jika bermain
flute adalah … jika konsentrasi terganggu, flute-nya nggak bunyi (biasanya
karena tertawa, hahaha … ya sudah jelas lah!). Dan anehnya, kalau sedang
menyanyi, hilanglah suara cempreng yang menyebalkan itu. Berganti dengan husky
voice
yang menggoda, hahaha. Selain kursus flute, dia juga sempat les balet (oh
noooo … Bon, please duech. Meskipun waktu TK juga aku ikut balet, tapi sekarang,
Bon? Hahaha). Mungkin bakat seni ini sudah terpupuk sejak kecil, waktu ssst …
dia sempat jadi artis cilik (sayang saya nggak tahu nama trio-nya apa, tapi
penasaran ingin menonton videoklipnya dan tertawa puas, hahahahahahahahaha!).
Dan mungkin ini juga yang membuat dia punya banyak referensi gaya
aneh, yang pernah dipraktikkan saat pertama kali Goerita Malam manggung
hahahahaha ….






Keanehan demi keanehan semakin
bertumpuk, terutama saat dia main ke Pasar Simpang bersama si Nata. Ceritanya
bisa dibaca di sini. Padahal ibunya pengusaha restoran yang sukses lho, dengan
sop buntut yang terkenal. Hubungan dekat dengan ibunya ini juga sering jadi bahan
ledekan, soalnya dia manja, hahahaha! Suatu kali, dia pernah menerima telepon
dari rumah. Yang pertama bicara adalah kakaknya. Biasa deh, dengan kakak cowok kan
sering berantem. Lama-lama, dia bertanya, “Mama mana?” Setelah ibunya yang
berbicara di seberang sana, tiba-tiba
suaranya berubah drastis! (yah, mirip anak TK lagi, hahaha). Sepandai-pandainya
menutupi, tetap saja hal-hal memalukan ini bisa diketahui oleh khalayak.
Seperti saat dia salah mengirim sms untuk ibunya ke nomor hp si Abang, yang
isinya “Mamaku chayank, … dst., dsb. … (hahaha … nanti aku dimusuhin ah kalau
ditulis di sini isinya apa).










Satu lagi keanehan dari Bona,
setiap semester baru dia sering gelisah. Sampai-sampai si Nata membuatkan sebuah
slogan untuknya, berbunyi “Semester Baru Jangan Sendu”. Syukurlah tampaknya
semester ini dia sudah nggak begitu sendu, karena akhirnya lulus sarmud
jugaaaa! (Horeeee … selamat ya Boooon!) Dia juga termasuk salah seorang trio
Libra di Himastron (ulang tahunnya 4 Oktober, Ayu Louie 5 Oktober, dan saya 6
Oktober). Herannya, kepribadian tiga trio Libra ini saaangat berbeda-beda. Meskipun
sama-sama baik hati (hahaha, betul kaaaaan?), Bona ini saaangat moody. Sering
ada acara batal gara-gara dia sedang nggak mood. Tapi dia baik hati, selalu
siap menolong jika ada teman yang tertimpa musibah.






Masih banyak sih tentang Bona yang
nggak bisa ditulis di sini. Seperti tentang kisah-kisah cintanya yang
menyedihkan (padahal sih banyak orang yang bersedia mengadopsinya sebagai
pacar, huuuu!), kesukaannya terhadap kopi dingin yang dibeli di Circle K, kegilaannya
terhadap lagu-lagu swing jazz, dan banyak lagi.











Jadi Bon, ini kan
masih semester baru. Semester baru, jangan sendu, okeyyyyy!






Keterangan foto:


1. Duet sama Tante Henny di Bosscha

2. Show di pelataran depan Himastron bersama Cuppy si Cumi-Cumi, Atep, dan Onah

3. Ini dia ... Semester Baru Jangan Sendu! (foto bututnya itu bikinan si Nata
ya? Jadi kalo butut ya maklum aja hahahahahahaha!)






Senin, 11 September 2006

Bandung Historical Walk [Part 2]




Ini bagian kedua: dari makam "Dalem Bandung", yaitu sang Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II beserta keluarga, lalu perjalanan berlanjut ke Banceuy, lalu ke Braga

Minggu, 10 September 2006

Bandung Historical Walk [Part 1]




Ini foto-foto dari titik start di Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika, titik nol kota Bandung, Savoyy Homann, Ruko Padang, Gedung PLN, sampai di Pendopo Alun-Alun Bandung.

Karena kameranya pocket, ya beginilah hasilnya, tapi lumayan kan daripada nggak ada, hehehehe ...

Kamis, 07 September 2006

BURANGRANG [PART2]









Subuh-subuh, saat sedang
enak-enaknya tidur karena badan sudah hangat, saya terbangun oleh suara Aini,
sang danlat SMA yang wajahnya mirip Acha Septriasa tapi berjilbab (hehehe …
mulai lagi deh mirip-miripin orang :p). Setelah sikat gigi dan sholat subuh,
saya mulai merendam-rendam kacang hijau. Sebetulnya sih ada beberapa usul
supaya merendam kacang hijaunya dari malam saja, tapi si Aq bilang “Nanti jadi
toge atuh!” Akhirnya saya memutuskan untuk merendamnya subuh-subuh. Bersama
Avni, saya menyiapkan bubur kacang hijau untuk para calon siswa. Gula merah
ada, santan instan juga sudah ada (hasil ribut-ribut kemarin malam, akhirnya si
Perju yang beli sebelum naik hehehe), jahe tinggal dimemarkan.




Dan ternyata … entah salah
perhitungan atau memang saya yang grogi karena sudah lama nggak “kesurupan dewa
dapur”, saat jam sarapan calon siswa hampir tiba, bubur kacang hijaunya masih
keras. Syukurlah ada sisa nasi semalam, dua kaleng kornet, dan dua bungkus
abon. Sayang nggak ada minyak atau mentega, karena seplastik minyak goreng
milik dapur kemarin sudah dipasrahkan kepada si bapak penjaga bumi perkemahan
karena tadi malam beliau yang memasakkan makan malam. Jadilah Komeng dan Roy
kembali ke warung. Syukurlah masih ada sisa sedikit, jadi bisa bikin nasi
goreng asal (yang kalau dipikir-pikir, kok lebih mirip nasi makanan kucing yang
biasa dibikin si Papap, ya? Hehehe). Jadi, para calon siswa makan itu dulu,
baru makan bubur kacang hijau. Waktu saya coba sih kuahnya enak, kacang
hijaunya juga sudah lunak meskipun nggak pecah-pecah.






Setelah makan (dengan menu yang
sama, minus bubur kacang hijau), para anggota mulai beres-beres. Sementara,
saya masih menyiapkan mie campur bihun goreng instan untuk si Aq. Omen sempat
meledek, “Umay, so sweeeet …” Sebetulnya sih bukan so sweet-so sweet amat, tapi
si Aq mah nggak bakal makan kalau makanannya nggak disorongkan ke depan
hidungnya. Tapi waktu dia makan, sudah waktunya berangkat. Akhirnya saya
tinggalkan saja, katanya nanti si Aq akan menyusul. Ya sudah, saya berangkat
dengan Roy dan Agung Harsa, kira-kira jam 08.30.






Selama setengah jam perjalanan sih
belum terasa capek, karena jalurnya masih relatif datar. Paling-paling hanya
mendaki sedikit, dengan kemiringan paling banyak 30 derajat. Setelah lebih dari
setengah jam … mulai terengah-engah. Syukurlah Roy dan Agung lumayan bersabar
karena membawa “turis”, jadi setiap beberapa meter mendaki, saya istirahat dulu
dengan degup jantung sangat keras, sampai terasa di telinga. Begini nih kalau
fisik sudah nggak begitu fit karena jarang sekali berolahraga, berat badan sudah
bertambah banyak (ya, memang, membuat susah melangkah). Karena Roy membawa
bendera GPA, dia bergegas duluan. Saya cuma ditemani Agung. Awalnya sih masih
bisa mengobrol, tapi lama-lama untuk bersuara pun susah, puihhhh ….






Aduh, nggak enak juga nih sama
Agung. Kasihan kalau dia menunggui saya terus. Saya sudah minta dia duluan
saja, biar saya jalan sendiri. Kalau nggak kuat kan paling-paling balik lagi ke
bawah, hehehe .... Jalurnya nggak sulit kok, tinggal mengikuti jalan setapak.
Tapi Agung nggak mau. Syukurlah beberapa saat kemudian ada suara langkah kaki
di belakang kami—si Aq. Dengan lega, Agung pamit duluan (hahaha … mungkin dia
sangat bersyukur karena nggak usah menunggui saya istirahat).






Kehadiran si Aq ternyata nggak
membantu juga, hahahaha …. (yah, beginilah nasib “old-married” couple,
hahahahaha. Sama sekali nggak nambahin semangat, malah dikentutin melulu sama
si Aq, seballl!) Tetap saja, beberapa menit sekali saya berhenti dengan napas
memburu. Apalagi ketika menghadapi banyak tanjakan “maut”, yang membuat kaki
berada di lutut dan lutut berada di kepala! Kira-kira, rata-rata kemiringannya
lebih dari 60 derajat deh. Energi untuk bersuara betul-betul sudah terkuras,
jadi kebanyakan sih saya cengar-cengir, sementara si Aq meledek terus. Tapi,
setidaknya keinginan untuk turun kembali jadi terhapus, karena dipikir-pikir
sudah tanggung juga.






Setelah ditunggui, diledek,
dikentuti, kadang-kadang didorong dan ditarik, sedikit dibohongi (“Dek! Tuh
liat, di atas udah terang! Bentar lagi puncak!” hahaha … tipuan yang berlaku
sepuluh tahun yang lalu itu mah, sama dengan tipuan klasik “Di puncak nanti ada
yang jualan lotek sama teh botol, lhoo …”), akhirnya sampai ke sebuah puncak
juga. Tapi, nggak ada anak-anak. Dan sebalnya, ada plang penunjuk arah
bertuliskan “Puncak” yang mengarah ke jalan setapak menurun. Oh noooo … yang
betul saja, mau ke puncak kok turun dulu sih? Ya sudah, saya jalani saja lagi.
Nggak lama kemudian, ada satu puncak lagi, tapi si Aq menunjuk, di kejauhan terlihat
Agung dan Roy sedang mendaki tanjakan gersang bertanah merah. Lagi-lagi oh
noooo …. Tapi dalam hati sih bersyukur, karena perjalanan sudah sebentar lagi.
Selain itu, banyak bonus berupa pemandangan indah dari ketinggian, Situ Lembang
yang airnya sedang surut pun terlihat jelas.






Akhirnya, setelah baju basah oleh
keringat, kulit perih tersengat matahari (kebetulan lagi nggak punya sunblock,
hiks …), debar jantung nggak keruan, dan betis terasa hampir bucat, sampailah
saya dan si Aq ke puncak Gunung Burangrang. Ini betul-betul puncak! Saat itu
waktu menunjukkan sekitar pukul 11.30an. Ternyata, waktu yang saya perlukan
untuk sampai puncak Gunung Burangrang hanya sekitar tiga jam (atau tiga
setengah jam lah …)! Takjub juga sih sama kemampuan diri sendiri, karena merasa
sudah nggak fit sama sekali! Agung juga bilang, “Kirain Umay turun lagi tadi,
ternyata nyampe juga.” Hehehe … iya Gung, saya juga heran.






Setelah berfoto-foto di titik
triangulasi (Gunung Burangrang, 2050 mdpl—meter dari permukaan laut), rombongan
kami pindah ke puncak “bohong” yang satu, untuk melaksanakan ritual
pra-pendidikan dasar: adu panco. Mulai dari pertandingan antarcalon siswa, lalu
perwakilan anggota. Pemenang dari calon siswa adalah Bisuk (aneh ya namanya),
sementara dari perwakilan anggota adalah Perju (Mau tau nggak nama lengkap
Perju? Siap-siap … Perjuangan Hidup Nasional Nainggolan hahaha …Beneran,
sungguh, ini nama aslinya). Setelah adu panco selesai dan para siswa serta
anggota masih beristirahat, saya dan Agung memutuskan untuk turun duluan.
Curi-curi start gitu bok, soalnya perjalanan turun gunungnya harus mendaki
beberapa kali dulu, hehehe …. Hadi juga bergabung bersama kami. Si Aq entah di
mana, sepertinya dia jalan-jalan dulu ke jalur di seberang titik triangulasi.






Perjalanan turun memang tidak
seberat pendakian—jantung dan paru-paru tidak terlalu keras bekerja, tapi lutut
dan jari-jari kaki yang menahan. Hanya saja, karena medannya curam, kami
seringkali terpeleset waktu menjejak pasir yang kering—apalagi Agung, yang
terkenal sebagai Agung Labil, hahaha. Di tengah jalan, Hadi memutuskan untuk
menunggu rombongan, karena dia harus jadi petugas jalur. Saya dan Agung
meneruskan perjalanan. Eh, di tengah jalan kami disusul si Aq lagi. Kali ini dia
langsung melesat ke depan, menyalip kami (entah karena menganggap saya nggak
terlalu repot lagi dalam perjalanan turun, entah curi-curi start juga hehehe).
Di perjalanan turun, saya hanya beristirahat satu kali untuk makan biskuit
cokelat.






Selama perjalanan turun gunung, tak
henti-hentinya saya merasa lebih takjub dan lebih heran. Kok bisa ya, saya
memaksa diri mendaki gunung terjal ini. Dan heran juga, kok waktu yang
diperlukan sejak berangkat sampai kembali ke basecamp nggak lama-lama amat.
Sungguh aneh.






Kira-kira jam 1 lewat, kami sudah
sampai ke bumi perkemahan. Rasanya nikmat sekali berjalan di jalur datar dengan
pohon-pohon pinus di kiri-kanan, meskipun kaki saya terasa cenut-cenut. Sampai
di basecamp, si Aq sudah terkapar di bawah pohon, hahaha. Saya dan Agung juga
ikut terkapar setelah membuka sepatu. Kira-kira dua puluh menit kemudian, para
calon siswa dan anggota muncul. Kami lalu makan. Waktu makan ini, si Aq mencoba
bubur kacang hijau buatan saya. Dia langsung protes, karena kacang hijaunya masih
keras, hahahaha! Si Soe Hok Tau juga mencoba, dan komentarnya begini, “Hebat
ini mah bubur kacang ijo teh, nyakrek kieu May,” (nyakrek = crunchy). Tapi
meskipun begitu, dia menghabiskan dua gelas (“Soalna lapar,” begitu alasannya).
Itu dia akibatnya karena grogi, sudah lama nggak going outdoor, hahaha ….






Acara setelah makan dan istirahat
adalah pelantikan siswa. Karena bertugas sebagai tukang potret, saya nggak ikut
upacara. Dan, seperti biasa—meskipun sudah berlatih dan gladiresik, upacara
anak-anak GPA seringkali kacau, hahaha … (kalau ketahuan anak Paskibra pasti
diprotes, tapi meskipun saya mantan Paskibra SMP, saya nggak protes). Prof,
anak SMA yang jadi komandan instruktur, salah memberi perintah geser.
Seharusnya geser dua langkah ke kiri, eh … malah dua langkah ke kanan. Jadi
terpaksa dikurangi lagi dengan perintah geser empat langkah ke kiri (dan
setelah itu si Prof diledek, katanya otaknya sudah terlalu penuh jadi perintah
sederhana saja nggak bisa, hahaha). Waktu itu para instruktur yang harusnya
tampil berwibawa itu terpaksa menunduk dan menahan diri supaya nggak tertawa.
Dasar, sejak dulu kebiasaan!






Nah, sekarang waktunya beres-beres.
Mohon maaf, karena sudah capek banget, saya nggak ikutan ya (hahaha … sok
swasta begini). Akhirnya, kami pulang juga. Dan seperti perjalanan pergi,
sekarang saya dan si Aq terguncang-guncang lagi di atas si Surti. Dan sial …
kok bawaan kami lebih banyak ya? Ternyata, si Aq memasukkan sleeping bag-nya ke
dalam ransel saya, yang digantung di “dada” si Surti hanya milik saya saja. Di
perjalanan kami kembali mampir di minimarket Parongpong, membeli minum karena
haus sekali. Lalu, si Aq mengajak saya mampir ke rumah Iduy—teman SMP-nya—untuk
melihat pesanan sepatu. Ough … padahal sudah capek berat. Di rumah Iduy juga rasanya
ingin tidur (meskipun Opi, istrinya Iduy menawarkan saya tidur bersama Au’,
tapi kan celana saya kotor banget!).






Akhirnya, sekitar jam 5 sore sampai
di rumah juga. Saya langsung mandi dan keramas. Si Aq juga mandi dan setelah
itu dia cukuran (sungguh aneh, kok turun gunung langsung cukuran ya? Hehe).






Sebelum pulang, si Roy sudah
mengajak-ngajak, “Sebelum puasa ke Ciremai lho May,” Saya bujuk-bujuk supaya
nanti saja setelah lebaran, karena pasti banyak kakaren dan bekal dari parsel.
Tapi, seharusnya sih … latihan fisik duluuuuuu! Berbahaya jika nekad berangkat
dengan modal jadi turis doang mah, kecuali kalau menyewa porter hahahaha!









Rabu, 06 September 2006

BURANGRANG [PART 1]




Ajakan naik gunung lagi ternyata sulit
ditolak. Padahal “hanya” Gunung Burangrang, di sebelah utara kota Bandung. Acara
sebetulnya sih adalah pembukaan pra-pendidikan & latihan dasar GPA, intinya
sih pelantikan siswa baru (Mau jadi siswa aja dilantik. Nanti ada lagi
pelantikan anggota muda, lalu setelah menempuh beberapa tahap pendidikan
lanjutan lagi baru ada pelantikan anggota penuh, ough … syukurlah sudah
melewati masa-masa itu, hehehe).






Rencana sudah disiapkan seminggu
sebelumnya, dengan mengajukan cuti pada hari Senin, tanggal 4 September
kemarin. Acara naik gunungnya sih hari Minggu, 3 September, tapi kami akan
mulai bermalam di area dekat Bandrek yang sekarang jadi bumi perkemahan. Karena
di formulir cuti kantor saya ada isian “Alasan cuti” (sungguh aneh, padahal kan
cuti itu hak pribadi ya, nggak usah ditanya alasannya apa hehehe), saya
mengisinya dengan “Acara keluarga”. Betul kan, nggak bohong-bohong amat? Acara
dengan keluarga besar GPA, hahahahaha …. Selain itu, sebetulnya cuti hari Senin
tersebut adalah karena saya takut bangun terlambat karena hari Minggunya
terlalu capek.






Karena sudah lama nggak
“leuleuweungan”, saya agak grogi juga waktu mengepak barang-barang. Padahal
cuma mau pergi dua hari satu malam. Mana nggak punya ransel yang lumayan besar
lagi (minimal 45 literan), hanya ada beberapa daypack yang besarnya tanggung.
Apalagi musim kemarau, pasti pada malam dan menjelang subuh dingin sekali,
hiiii … makanya saya memaksa diri membawa jaket bahan polartech yang tebal,
padahal volumenya besar. Sebetulnya sih barang-barang saya cukup di satu
daypack, tapi … OMG, saya belum membawa perbekalan. Jadi, dengan terpaksa saya
membawa lagi satu daypack untuk diisi perbekalan, ditambah dengan satu camelbag
kecil untuk dipakai si Aq. Hiks, sungguh kemping yang nggak praktis. Dan
ternyata, waktu saya sampai di sekretariat GPA di SMA 2, si Aq menunjukkan
sebuah kantong plastik besar berwarna hitam yang berisi dua buah sleeping bag.
Hahahaha … memalukan! Maenya anak PA babawaanana angkaribung (masa’ anak PA bawa
barang-barangnya ribet dan nggak praktis, gitu bok)!






Setelah para calon siswa dan
anggota yang masih SMA pergi dengan angkot carteran jurusan Stasiun – Lembang
jam 1 siang, si Aq muncul dengan si Surti tercinta. Jadilah kami menggantungkan
plastik hitam berisi sleeping bag di bagian dalam “dada” si Surti, si Aq
menggendong daypacknya yang juga penuh di depan, saya menggendong sebuah
daypack di punggung dan menyelipkan sebuah daypack di depan. Tadinya sempat
ragu-ragu, bisa nggak ya Grand Astrea ’96 yang sudah butut sampai dengan
selamat di basecamp? Belum-belum, baru sampai di Parongpong, pantat saya sudah
sakit-sakit dan pegal. Untunglah ada minimarket, jadi kami mampir dulu di situ,
membeli minum dan sempat makan burger. Setelah itu, lanjut lagi!






Ketika melewati Plang Komando, hati
saya mulai berdebar-debar. Jalan batu gitu bok, belum diaspal. Si Surti mampu
nggak ya? Apalagi dia menanggung beban yang berat di punggungnya. Makin ke
atas, jalan makin jelek, batu-batunya semakin besar. Malah ada yang
sebesar-besar kepala bayi. Hiii …. Di tengah jalan, si Aq mengambil jalan
memotong lewat perkampungan penduduk. Ough, yang ini juga sama saja. Karena
musim kemarau, debunya banyak sekali! Setelah keluar dari jalan setapak penuh
debu itu, kami melewati lagi jalan berbatu. Sampai akhirnya tiba di Bandrek,
dan kami membelok ke kiri (kalau terus sih ke Situ Lembang). Setelah melihat
mobil Jimny Jangkrik-nya si Soe Hok Tau alias Rere, si Aq terus mengemudikan si
Surti ke jalan menanjak yang berpasir halus. Di tengah jalan, hampir saja
jatuh! Untung refleks kami masih agak bagus, jadi saya segera melompat turun
dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Piuh ….






Sampai di basecamp, setelah
menurunkan barang-barang dari motor, kami langsung membantu anak-anak
mendirikan flysheet. Setelah beres, saya sempat jalan-jalan sebentar di sekitar
situ. Nggak terasa, kok tiba-tiba matahari sudah terbenam ya. Setelah maghrib,
anggota melakukan uji coba game ice breaking untuk para calon siswa. Tentu saja
sambil tertawa seperti setengah gila. Lalu, setelah para calon siswa makan dan
menjalani sesi game, mulailah sesi api unggun sekaligus perkenalan. Sayang
anggota yang datang nggak terlalu banyak, calon siswanya juga cuma enam orang
(sisanya terganjal beberapa hal, seperti izin orangtua dan katanya ada yang
sakit). Setelah itu, kami siap-siap … tidur! Ya iya lah tidur, besok pagi mau
trekking
! Apalagi karena penanggung jawab dapur ternyata nggak datang, jadilah
saya merelakan diri untuk mengurus sarapan anak-anak (nggak tanggung ya,
rasanya! Hahahaha).






Urusan tidur juga sedikit
merepotkan, karena harus “berebut lapak”. Lagipula udara dingin sekali, jadi
flysheet di dekat dapur nggak ada peminatnya. Yang banyak diminati sih di
sekitar api unggun, lumayan agak hangat soalnya, meskipun kadang-kadang bau
asap—jika angin berembus dari arah tertentu. Syukurlah kebagian tempat di dekat
api unggun. Hiii … dinginnya, padahal saya sudah memakai jaket polartech dan
menyelubungkan sleeping bag sampai kepala. Yang lumayan nikmat sih di sebelah
flysheet kami, soalnya bertengger sebuah tenda dome. Cuma nggak enak kalau mau
kudeta, soalnya bukan anak-anak GPA, tapi alumnus SMA 2 tahun 2003 yang memang
ikut kemping bersama kami. Yang menyebalkan, banyak pengunjung lain yang
ribuuuut menyanyi-nyanyi dengan keras (Ough, yang paling membuat kesal adalah
karena mereka menyanyikan lagu Nidji berulang-ulang, yang judulnya “Hapus Aku”
itu lho. Very annoying, karena lagu itu jadi terngiang-ngiang di telinga.
Huekkkkkkkk).






Setelah “uyek-uyekan” selama
beberapa lama, gelisah dan sedikit gatal-gatal, agak grogi karena besok harus
bangun pagi untuk masak bubur kacang hijau dan … mendaki Burangrang. Karena
saya termasuk PA “murtad” (perasaan banyak “murtad”-nya gini ya, astronom juga
“murtad” hahaha), saya belum pernah ke Burangrang! Memalukan! Selain itu,
pengalaman terakhir saya naik gunung itu hampir enam tahun yang lalu, waktu
perintisan jalur Selatan Gunung Halimun (kalau “leuleuweungan” ringan sih
sering, misalnya ke Situ Lembang, atau jalan kaki dari Sukawana ke Tower
Tangkuban Parahu lalu balik lagi ke Sukawana). Tapi akhirnya saya merasa nyaman
juga dan … segera tertidur.









Bersambung ya, takut kepanjangan
kan males bacanya (selain itu ngetiknya juga capek, hahahaha)












Anak-Anak Batak Main Judi




Foto ini diambil waktu Arya, keponakanku yang kiyut & menggemaskan, ulang tahun ke-1, 22 April 2005.
Main domino alias gaple-nya ini sumpeh, nggak benerrr (karena ada yang masih belum menguasai betul konsep bilangan, hehehe), cuma karena serius banget, jadi salah seorang oom menyimpan duit recehan di dekat-dekat mereka, hahahaha!

Kamis, 31 Agustus 2006

Bandung Historical Walk - Classic Route

Start:     Sep 9, '06 07:00a
Location:     Kota Bandung
Bandung Trails mempersembahkan Bandung Historical Walk, walking tour kilas balik Parijs van Java, Sabtu 9 September 2006.

Starting point: Grand Hotel Preanger
Jl. Asia - Afrika 81
Pukul 07.00 WIB
Ending point: Gedung Sate

Senin, 31 Juli 2006

KADANG-KADANG, KITA TAK BISA MENDUGA KE MANA KITA AKAN MELANGKAH ...




Pertama kali masuk astronomi, saya
sadar bahwa ... saya akan menjadi bagian dari sebuah klub kecil selama
bertahun-tahun. Iya lah, daya tampung mahasiswanya juga cuma 15 orang. Apalagi,
setelah itu ketahuan bahwa yang mendaftar ulang hanya 13 orang, sama seperti
angkatan sebelumnya, ’96. Apalagi bertahun-tahun yang lalu, kadang-kadang
mahasiswa yang diterima di bawah 5 orang. Tapi sekarang agak berubah kok, daya
tampungnya jadi 25 orang (dan sungguh aneh, karena saya ngerasa nggak biasa
ngeliat anak astro berjumlah banyak, hahaha ….)





Anak astro pertama yang berkenalan
dengan saya adalah si Ketut, pemilik NIM 10397010. Jadi, waktu di luar GSG, dia
nanya, “Anak astronomi juga ya?” Lalu mulailah kami mengobrol. Ternyata dia
Bali palsu, karena logatnya Sumatra abis dan
ternyata dia dari Prabumulih. Huh! Lalu, saya bertanya, “Di sini kos?” Si Ketut
menjawab, “Di rumah Oom.” “Di mana?” “Di Sarijadi.” Hah? “Blok berapa?” saya
tanya lagi. “Blok 26.” Hah? “Nomor berapa?” saya terus mencecar. “No. 144.”
Hah! “Itu kan
deket banget sama rumah saya!” Dan betul saja, besoknya, hari pertama P4, saya
melihat si Ketut berjalan di depan rumah saya. Kebetulan saya diantar, jadi dia
menumpang mobil saya deh, hehehe …. Setelah itu, kami lumayan sering pergi dan
pulang sama-sama, dan syukurlah nggak ada rasa spesial yang tumbuh di antara
kami hahaha ... (Ough, huek huek banget duech … muhrim, gitu bok, hahahahahaha).
Dan ternyata, ada satu lagi tetangga kami, yaitu Udin, tapi rumahnya agak jauh
di Sarijadi atas, dekat jalan ke Polban.




Anak astronomi selanjutnya yang
saya kenal adalah Iyam, orang Makassar
Karawang yang besar di Cilacap, pemilik NIM 10397006. Saya mengenalnya saat
kami sama-sama berjalan turun ke Sabuga, saat sidang terbuka penerimaan
mahasiswa baru. Perjumpaan dengan Iyam tak begitu meninggalkan kesan, jujur
deh. Soalnya, memang Iyam nggak neko-neko orangnya, wajar-wajar saja.







Nah, di Sabuga itu untuk pertama
kalinya saya bertemu dengan teman-teman seangkatan saya. Ada Avivah alias Vivi,
anak Ambon yang sering diajak sholat oleh
teman-teman (dan bukannya saya, hahahaha …), pemilik NIM 10397001. Lalu ada
Farkhan, orang Kartasura yang—menurut si Nata—kasep tapi agak nggak gaul, pemilik
NIM 10397002. Setelah itu ada Asteria alias Tya, cewek yang saaaaaaaangat
Yogya, berasal dari Cibinong, pemilik NIM 10397003. Ya ampun, Tya ini
saaaaangat sopan. Dengan rok putih setengah betis berimpel (karena dia dari SMA
Regina Pacis Bogor, saya kira dia seperti tipikal anak-anak Santa Ursula atau
Tarakanita lah, rok mini dengan kaus kaki panjang. Ternyata nggak! Hehehe), dia
selalu minta izin melakukan sesuatu, seperti, “Maaf, boleh aku duduk di sini?”
Setelah Tya, ada Yana, cowok Bandung
ceking hitam asal SMA 5, pemilik NIM 10397004. Lalu ada Saifudin, cowok
Pemalang yang ternyata paling senior di antara kami (dia tuh harusnya angkatan
’95), pemilik NIM 10397005. Berikutnya Iyam tadi, pemilik NIM 10397006, lalu
saya, si James Bond 007 (dan ternyata selama beberapa tahun, saya adalah James
Bond tercantik di antara angkatan lain, baru rekornya pecah setelah angkatan
2003, dengan Hepi sebagai James Bond baru). Setelah saya, ada Faizal alias
Ical, anak Makassar yang ternyata pernah lama di Bandung—jadi bisa berbahasa Sunda meskipun
kasar. Takjub deh, kulitnya putiiiiiih, rambutnya halus lembut kemerahan, oh,
dia begitu cantik! Ical ini pemilik NIM 10397008. Setelah Ical ada Zaid, anak
kalem asal Tulungagung, pemilik NIM 10397009. Berikutnya Ketut si Bali-Prabumulih
tadi, 10397010. Pemegang NIM 10397011 adalah Ina, cewek Kediri yang dulu tampil tomboy dengan jalan
gagah dan rambut Lady Di-nya. Setelah itu ada Neflia, anak Pontianak yang saaaaangat kekanak-kanakan,
pemilik NIM 10397012. Dan, sebagai penutup, ada Nata, cewek bulat pendek yang
mirip ustadzah, asli Malangbong tapi sekolah di MAN 1 Bandung, pemilik NIM 10397013.






Hebat ya, bisa hafal semua NIM
teman seangkatan, hahahaha … Coba jurusan lain, ada nggak yang bisa begitu?
*Sombong mode on* Arti NIM kami itu adalah: 1 = kami ini mahasiswa S1, 03 =
kode jurusan astronomi, 97 = angkatan, dan tiga digit di belakang 97 adalah
nomor urut pendaftaran ulang. Dan sampai sekarang, belum pecah rekor: belum
pernah ada 3 angka terakhir NIM anak astronomi menembus tiga digit! Hahahaha ….






Pertama bertemu teman-teman
seangkatan, terus terang saja saya kecewa. Cewek-ceweknya hararideung alias
pada item, yang paling putih si Nata, hahaha … SARIP banget yak. Sementara
cowoknya, aduh, nggak ada yang keren deh (hahaha … kebayang kalo ngomong gini
di depan mereka, pasti kena sambit berbagai barang).






Pertemuan di Sabuga singkat
saja—hanya makan bersama—sehingga kesannya nggak begitu mendalam (kecuali Tya
yang sopan banget, Lia yang sangat-sangat childish, dan si Nata yang ustadzah
banget). Pertemuan berikutnya terjadi di jurusan astronomi, Labtek III lantai
4, saat pertemuan dengan ketua dan sekretaris jurusan.






Saat inilah, beberapa kejutan
terjadi lagi. Seperti si Ina—yang saya sangka orang Sunda karena namanya Ina
Rohaeni, dan ternyata betul, bapaknya orang Sagalaherang dan bernama Pak Atang
Rohana—yang medok banget mengatakan “DDDari SMA DDDua KeDDDiri!”. Dan si Nata,
yang mengutip ayat-ayat Al Quran sebagai motivator masuk astronomi (teu nyangka
ayeuna jadi kieu, hahahaha). Sumpeh duech, gayanya ustadzaaaaaah, banget!
Apalagi, wajahnya si Nata mirip Bu Dedeh, guru ngaji di dekat rumah saya (yang
memiliki anak banyak). Selain itu, kontras dengan seragam putih-putih yang kami
pakai, si Nata menggendong tas yang warnanya pink keunguan, elektrik! Ya
ampyun, dari jarak beratus-ratus kilometer itu sudah ketahuan deh, itu si Nata.






Setelah P4, mulailah kami menjalani
hari-hari sebagai teman—mula-mula, lalu keluarga—lama-lama. Soalnya, belum ada
penyebaran kelas TPB, jadi kami disatukan dengan jurusan Matematika, kecuali
untuk mata kuliah Kalkulus kami disatukan dengan Biologi. Mulai timbul
keanehan-keanehan yang sebelumnya ditutup-tutupi (jaim tea!), rasa peduli
antarteman, dan perasaan bersatu sebagai keluarga kecil di rimba belantara ITB.






Angkatan kami juga lumayan terkenal
karena sering bernyanyi di demo-demo mahasiswa prakejatuhan Soeharto.
Personilnya: Iyam sebagai vokalis, Ical sebagai gitaris, saya sebagai gitaris
dan vokalis latar, dan Tya sebagai pemegang kecrek dan juga vokalis latar.
Sebetulnya band ini adalah salah satu proyek kaderisasi dari Mas Hasan—ketua
Himastron saat itu—untuk mengisi acara musik sore. Eh, taunya keterusan.
Manggung di radio-radio yang mengadakan diskusi reformasi, sampai pengalaman
sepanggung dengan Totok Tewel di acara Malam Iota Tau Beta, temu alumni ITB di
sebuah kafe daerah Blok M, Jakarta.
Ternyata, malam itu bertepatan dengan peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti
(dan salah satu korbannya, Hafidhin Royan, adalah anak GPA). Seorang alumnus
menyuruh kami segera pulang setelah acara selesai, dengan taksi 4848 dan
berpesan agar hati-hati, jangan sampai dibuntuti (mungkin nama kami saat itu
sudah masuk daftar pencarian intel deh, hehehe). Syukurlah kami tiba di Bandung dengan selamat, dan mudah-mudahan Bapak Supir kami
juga selamat sampai Jakarta
kembali (karena beberapa saat setelah itu langsung terjadi kerusuhan Mei ’98).
Yah, pokoknya angkatan ’97 (nggak cuma jurusan astronomi, tapi saya rasa
jurusan lain juga) dibesarkan dengan demo-demo mahasiswa, meskipun
kadang-kadang motivasi ikut demo-nya juga karena males kuliah (seperti saya),
hehe ….






Selama beberapa tahun bersama dan
tak terpisahkan (kecuali kuliah pilihan atau beberapa yang terpaksa mengulang
kuliah—termasuk saya, hahaha), hubungan kami betul-betul jadi seperti saudara.
Tapi, tetap saja beberapa orang meninggalkan kami. Meskipun sedih, tapi
bagaimana lagi, mungkin jalan hidup harus begitu. Tahun ’98, Farkhan
meninggalkan kami, karena masuk Fakultas Hukum UGM. Dia ingin lebih dekat
dengan ibunya, katanya sih begitu. Lalu, tahun kedua, rontok dua orang lagi. Yana, yang terlibat pengajian perpus (dulu sangat beken
nih, saya nggak tau isinya apa, tapi seringkali si anggotanya jadi menghindar
& bermasalah dengan sekitar). Lalu Ketut, yang pindah ke HI Unpad. Lalu,
pada tahun kelima kami terpaksa kehilangan Saifudin, yang nggak lolos lubang
jarum tahap Sarmud. Kisah kasus sarmud ini sangat heroik, karena, dari 10 orang
anak astronomi ’97, enam orang bermasalah! Edun nggak sih, hahaha …. Lima dari kami—saya,
Nata, Ina, Tya, dan Udin—bermasalah dengan mata kuliah mekjut alias mekanika
lanjut (jangan langsung berpikiran jorang ah!), sementara Ical bermasalah
dengan Mavek. Setelah bercucuran keringat dan air mata (darah mah nggak), lima orang lolos, kecuali
Udin. Tentu saja kami sedih sekali.






Waktu itu Zaid sudah lulus (tepat
waktu, Oktober 2001). Iyam pun menyusul tahun 2002, dengan perut buncitnya
(waktu itu dia sedang hamil Hanan, anak pertama). Setelah itu Vivi, lalu Tya
dan Ical, lalu periode berikutnya saya, Maret 2004 (masih lebih singkat 1
semester dibandingkan si Abang, hahahaha!), lalu periode berikutnya, batas
akhir DO—Oktober 2004, 3 orang lolos lagi—Nata, Ina, dan Lia. Jadi, total yang
lulus dari astronomi hanya 9 orang (dan saya juga takjub, bisa lolos juga,
hahaha!).






Saat masih sering bersama-sama,
kami juga sempat meramalkan masa depan kami sendiri. Vivi akan bekerja di
bidang IT. Farkhan entahlah (soalnya dia sudah pindah ke UGM), Tya akan jadi
karyawan kantor yang tugas-tugasnya administratif (seperti bank, dll). Yana juga nggak sempat kami ramalkan, karena keburu
menghilang. Udin kami ramalkan menjadi wiraswastawan sablon (karena suatu kali,
dia pernah bikin spanduk dengan rapiiii sekali). Iyam kami ramalkan menjadi aktivis,
seperti Khofifah Indar Parawansa. Saya, jadi artis, hikhikhik … nggak ketang,
jadi wiraswastawati di bidang kreatif, seperti pembuatan merchandise dll. Si
Ical jadi aktivis juga, sementara Zaid menjadi ilmuwan atau astronom, Ina sama
dengan Tya, Ketut entahlah (karena sudah cabut juga), Lia jadi pedagang, dan si
Nata jadi penulis (maunya dia) sekaligus pengusaha katering. Jadi, di antara 13
anak astro ’97, yang kami anggap paling mumpuni di bidang astronomi hanya satu,
Zaid seorang. Yang paling “murtad” adalah saya dan si Nata, karena itu tak
pernah tebersit sekalipun kami akan meneruskan bidang ini.






Hasilnya? Hahaha … sungguh aneh.
Vivi memang bekerja di bidang IT, sembari kuliah S2 di astronomi. Farkhan
entah, karena sudah agak lama kami hilang kontak. Tya jadi PNS di BMG, anak
buah Pak Mezak Ratag, dan tampaknya akan lebih mendalami ilmu astronomi. Yana juga entah ke mana, terakhir saya melihatnya dengan
ransel besar di daerah Ujungberung (memang dia tinggal di sekitar situ). Udin
jadi guru les pelajaran eksak untuk anak-anak SMP, Iyam meneruskan S2 di
astronomi sekaligus ibu rumah tangga dengan dua anak, baru lulus S2 2 minggu
lalu, dan sekarang ikut suaminya yang mengajar di ITS. Saya, jadi editor buku
anak-anak (meskipun masih ingin jadi desainer interior dan pengusaha
merchandise, es krim, kopi, dst … hehe). Ical juga jadi editor, tapi film dan
video, sekarang di IMTV, setelah sebelumnya menjadi asisten editor (haha …
asisten urang!) yang merusak moral generasi muda di Rapi Film (kalo nggak
salah, pokoknya mah sinetron-sinetron gitu lah). Zaid sempat bekerja di kantor
konsultan si Papap, kemudian melanglang buana sebagai wartawan Kompas. Si Ina
meneruskan kuliah di S2 TI, sampai sekarang belum lulus juga. Ketut belum lulus
dari HI Unpad, tapi dia jadi pelatih aikido.Yang paling mengagetkan adalah si
Lia, dia jadi PNS di LAPAN! Hahahaha … sungguh aneh. Terakhir, si Nata, sempat
jadi pekerja LSM yang mengurus PSK, HIV, dan AIDS (lumayan cucok sih kerjaan
ini), tapi sekarang dia jadi pengajar tim olimpiade fisika di Karawaci!






Jadi, ramalan kami—yang didasari pengamatan
terhadap sifat, kemampuan akademik, dan potensi—ngawur semua, kecuali ramalan
tentang Vivi. Dan tentu saja kami saling menertawakan sekaligus menertawakan
diri sendiri tentang hal ini, terutama saya dan si Nata Pehul.






Dan ini belum selesai. Masih banyak
kemungkinan, karena toh usia kami masih relatif muda (tapi kalau saya mah muda
selalu, hahaha ….), jadi bisa saja tiba-tiba banting stir lagi, mungkin atas
kemauan sendiri atau keadaan yang memaksa begitu.




 




Memang, kadang-kadang, kita tak bisa
menduga ke mana kita akan melangkah.




(Keterangan foto: anak-anak '97 saat jadi panitia wisuda tahun '98 awal, bersama Pak Moedji Raharto, ketua jurusan saat itu)





Jumat, 28 Juli 2006

Bagaimana Caranya Berkunjung ke Observatorium Bosscha, Lembang


"Oh, kamu kuliah di astronomi? Pengen ke Bosscha doooong ..."

pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering saya dengar sejak baru masuk kuliah sampai sekarang. Tentu saja dengan senang hati saya menjawab sepengetahuan saya. Kalau nggak bisa jawab pun, dengan senang hati akan saya carikan infonya. Sungguh, betuuuul ... aku Etty Gadis Jujur, kok! Hahahahaha ....

Kenapa saya senang hati menjawabnya? Karena dengan meneruskan info ini, berarti saya ikut berperan dalam penyebaran dan pemasyarakatan ilmu pengetahuan (halahhhh! so sweet ... hahaha) walaupun sedikiiiiiit.

Ya sudah, cukup basa-basinya.

Para pemandu yang bertugas di Observatorium Bosscha ini kebanyakan mahasiswa, meskipun tentu saja ada mas-mas peneliti (seperti Mas Hendro & Mas Irfan, bintang film Sherina yang itu lhuwo, "Ndro, Ndro, saya mau pulang, istri saya melahirkan!" hahaha) dan asisten peneliti seperti Gaby (cowok lho dia, namanya Gabriel Iwan, bukan Gabriella). Ada juga bapak-bapak teknisi yang kemampuan teknisnya lebih ahli daripada para mahasiswa, hahahaha ... (buka kartu euy)

Waktu masih kuliah juga saya lumayan sering jadi pemandu di sana. Lumayan lah, selain menambah skill cuap-cuap, saya jadi kepaksa belajar ilmu astronomi lagi. Karena terbiasa berlatih memikirkan kalimat-kalimat terstruktur, jadilah saya … seorang editor, hahaha …. Ngarang abissss!

Observatorium Bosscha sendiri dibuka untuk umum antara bulan April sampai Oktober, waktu-waktu yang dianggap musim kemarau (sehingga cerah). Waktunya adalah ketika bulan sedang dalam fase seperempat pertama, berarti sekitar 7 hari pertama bulan Islam. Mengapa? Supaya para pengunjung bisa melihat objek langit (bintang, gugus bintang, planet, dll) sekaligus melihat bulan. Cahaya bulan seperempat pertama tidak sekuat bulan purnama sehingga objek-objek langit lain bisa cukup jelas terlihat, dan terbitnya sekitar senja (pada fase seperempat terakhir, bulan terbit setelah tengah malam).

Kunjungan ke Observatorium Bosscha sendiri ada beberapa jenis:
1. Kunjungan malam
Ini yang paling banyak peminatnya. Dalam kunjungan malam ini (kalau istilah kami sih: malam umum), Anda bisa:
- Mengikuti presentasi topik astronomi populer, kadang-kadang temanya cukup aktual. Misalnya, di sekitar hari presentasi sedang terjadi gerhana bulan, ya temanya itu. Tapi ya nggak selalu, meskipun presentasinya tetap menarik. Apalagi sekarang sudah sering menggunakan media presentasi yang lebih canggih, multimedia (Kalau dulu sih seringnya slide projector atau OHP, hiks ... Hahaha).
Sedikit tips: kalau masih penasaran, tanya saja si pemberi presentasi! Pada umumnya sih, kami-kami senang ditanya-tanyai. Itu tandanya Anda memerhatikan pemaparan kami dan ingin tahu lebih lanjut tentang astronomi.

- Meneropong di dua teleskop yaitu Teleskop Bamberg dan Teleskop Unitron.
Teleskop Bamberg terletak paling dekat dengan jalan masuk ke Bosscha. Lumayan besar dan untuk masuk, kita harus menuruni lumayan banyak anak tangga. Biasanya sih, objek yang dilihat di teleskop ini adalah bulan. Di arah Barat, ada teleskop kecil yang bernama Unitron. Kecil-kecil cabe rawit, nggak usah kecewa duluan melihat tongkrongannya. Biasanya, kita bisa mengamati objek-objek seperti planet-planet, gugus bintang, dan bulan (Ed, CMIIW euyyyy … udah lupa sih).
Sedikit tips: bersabarlah, antre yang rapi. Jangan memegang eye-piece (lubang tempat kita mengintip) teleskop, karena ini sering menyebabkan teleskop bergeser dari objek (apalagi menggerakkan teleskop dengan sengaja, karena biasanya sudah diset untuk mengikuti gerak objek langit). Jangan menyalakan lampu yang terang juga, agar objek langit bisa terlihat lebih jelas. Dan jangan berharap terlalu tinggi, misalnya meneropong sebuah bintang dan berharap melihat gambaran mirip matahari. Oh, tentu tidak. Paling juga, kalau kita mengamati bintang ganda (yang terlihat dengan mata telanjang seperti satu bintang), sekarang terlihat jelas ada dua bintang. Bintangnya juga berupa titik saja, bukan Titik Shandora.

- Melihat interior teleskop terbesar di Observatorium Bosscha, Teleskop Zeiss.
Sayang memang, di sini kita nggak bisa seenaknya menjajal teleskop. Tapi, presentasi sang pemandu nggak kalah menarik, dia akan menerangkan sistem kerja teleskop ini, termasuk membuka dan memutar tutup kubah serta menaik-turunkan lantai! Selain sistem kerja, sang pemandu juga akan menerangkan sejarah teleskop ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Sedikit tips: jangan memaksa untuk naik ke daerah pengamatan, apalagi bergerombol. Soalnya, konstruksi Teleskop Zeiss tidak dirancang untuk menopang beban banyak. Apalagi usianya sudah tua, dibangun tahun '20an. Jangan menjelajah ke tangga di bawah daerah pengamatan pula. Selain gelap dan menyeramkan, kalau lantainya diturunkan, kita bisa terjebak di sana. Hiyyy ….

- Berbelanja di "toko" yang menjual merchandise astronomi, mulai dari kaus, stiker, gantungan kunci, miniatur Teleskop Zeiss, bahkan teleskop kecil.

Tips umum: Datang agak awal, sekitar jam 5 sudah stand by di Bosscha. Soalnya, jam 8 acaranya selesai.

2. Kunjungan Siang
Di kunjungan siang ini, biasanya pesertanya murid-murid sekolah. Acaranya sih hanya presentasi saja, ditambah melihat-lihat teleskop-teleskop dari luar, tidak menjajalnya. Kadang-kadang ada sih, untuk mengamati matahari. Tentu saja dengan teleskop khusus yang telah dipasangi filter. Tapi selama saya bertugas sebagai pemandu, jarang terjadi deh, nggak tahu ya sekarang-sekarang.
Sedikit tips: WARNING! Jangan pernah melihat matahari dengan menggunakan teleskop tanpa filter. Prinsip kerja teleskop adalah memperkuat cahaya. Sinar matahari yang sudah kuat akan bertambah kuat, bisa membuat mata kita buta!

3. Kunjungan Khusus
Selama bertugas sebagai pemandu, saya belum pernah mengalami yang namanya kunjungan khusus ini. Tapi, kunjungan khusus ini adalah permintaan yang diminta secara khusus oleh badan-badan tertentu. Nggak tahu tuh kalau pengalaman Mister Edi Brekele, pernah nggak Ed? Dan setahu saya, proses permintaan kunjungan khusus ini lebih mudah dilakukan oleh badan-badan yang memiliki kaitan erat dengan Observatorium Bosscha atau ITB sendiri, seperti misalnya badan apa ITB lah, atau yang lain-lain.

Inilah yang harus dilakukan untuk bisa berkunjung ke Observatorium Bosscha di Lembang:
1. Telepon ke Bu Cucu pada hari dan jam kerja, ke nomor telepon (022) 2786001.
Bu Cucu ini adalah salah seorang staf administrasi Observatorium Bosscha, yang salah satu tugasnya adalah mengatur jadwal kunjungan. Beliau akan meminta informasi tentang jumlah anggota rombongan (tapi sendiri juga nggak apa-apa sih, nggak usah takut). Lalu, Bu Cucu akan mengecek jadwal, dan memasukkan rombongan ke hari yang masih kosong. Dan sori dori mori, bisa saja kita daftar tahun ini tapi baru bisa berkunjung tahun depan. Soalnya antreannya banyak dan kapasitas Observatorium Bosscha terbatas. Jika menerima kunjungan dengan berlebih, bisa-bisa biaya perawatan yang dikeluarkan akan sangat besar (untuk memperbaiki yang rusak, dll).
2. Biaya masuk per orang adalah Rp. 7.500,00 (murah kaaan? Dulu apalagi, gretong!). Bisa ditransfer atau dibayarkan langsung pada saat kunjungan, nanti Bu Cucu yang akan menerangkan lebih jelas.
3. Tunggu apa lagi, setelah mendapatkan jadwal pasti, ya datang ke Lembang!

Dan ini beberapa tips umum untuk berkunjung ke Observatorium Bosscha:
1. Jika tidak membawa kendaraan, bisa naik ojek dari Batureok Lembang. Harga per ojek itu Rp. 3000,00 kalau hari biasa, kalau ada kunjungan sering ada praktik-praktik penggelembungan biaya oleh para tukang ojek itu.
2. Jika rombongan datang dengan bis, bis diparkir di pelataran depan toko-toko di Batureok. Lalu, kita bisa naik ojek dari Batureok. Sebetulnya berjalan kaki juga bisa, apalagi kalau ingin sedikit berolahraga. Tapi memang melelahkan, karena lumayan jauh dan menanjak. Kalau ingin berjalan kaki, jangan lupa bawa senter. Sepanjang jalan masuk dari gerbang kedua Bosscha gelap, siapa tahu tiba-tiba kita menginjak ular. Hiyyy!
3. Bawa jaket atau baju hangat, soalnya dingiiiin. Apalagi kalau malam.
4. Observatorium Bosscha susah air-jatah air ledeng juga bergantian digunakan oleh perumahan para dosen, kantor observatorium, dan penduduk. Jadi, kalau bisa sih sudah buang air kecil atau besar sebelumnya. Ada sih fasilitas WC, tapi terbatas.
5. Jangan makan di sembarangan tempat, apalagi membuang sampah sembarangan! Selain jorok, remah-remah makanan akan memancing binatang-binatang yang bisa merusak peralatan (seperti tikus, kecoa, dll). Sebaiknya makan permen aja deh, minum boleh, atau makanan praktis seperti roti untuk mengganjal perut. Kalau mau makan, di sekitar Pasar Lembang kan bejibun penjual makanan. Jangan berniat piknik di Bosscha, meskipun tamannya mirip setting film India, penuh bunga. Dan, keterlaluan kalau ada yang buang sampah sembarangan. Ini mah berlaku di mana saja!
6. Hati-hati dengan instrumen. Ini adalah aset kekayaan bangsa Indonesia dalam bidang riset dan ilmu pengetahuan. Harganya tentu saja mahal. Lagipula, hal-hal ini kan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Kalau ada instrumen rusak dan harganya mahal, dari mana biaya perbaikannya? (Paling nunggu bantuan luar negeri lagi, tapi … malu atuh, dibantu terus) Jadi, tumbuhkan rasa memiliki terhadap instrumen-instrumen ini ya.
7. Sudah beberapa kali kejadian, cinta bersemi di antara para pemandu dan rombongan kunjungan. Ini sih terserah saja, bagaimana Tuhan menentukan jodoh datang dengan cara apa saja. Tapi, berbaik-baiklah dengan para pemandu pada umumnya, meskipun nggak merasa tertarik kepada individunya. Rasanya senang sekali mendapat perlakuan ramah dari pengunjung, setelah cuap-cuap dan capek-capek datang ke Bosscha. Senyum dari pengunjung bagaikan air sejuk yang menyiram tanah kering-kerontang. Halahhhh! Hahahaha …

 Jadi bagaimana, siapkah Anda berkunjung ke Observatorium Bosscha?

Ed, kalo ada yang kurang tolong tambahin ya, kalo ada yang salah tolong benerin. Tengkiuh.
(model yang sedang sok aksi di bawah Teleskop Zeiss itu adalah si Bona)


Tambahin ahhh ... fotonya.
Bandingkan ketebalan tubuh model yang satu dengan model yang lain, hihihiiiiiiii


Jumat, 21 Juli 2006

Toko Oen Malang

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Eclectic
Location:Jl. Basuki Rachmat no. 5 Malang, telp +62-341-364052
Sebetulnya Toko Oen ini ada beberapa. Pertama kali berdiri di Yogyakarta pada 1922, lalu menyusul di Semarang, Jakarta, dan di Malang. Cuma, saya baru mencoba yang di Malang.

Tahun 2000 lalu (waaa, sudah 6 tahun!), saya ikut gladian pencinta alam nasional yang diadakan oleh Jawa Timur. Karena bidang yang saya ikuti itu manajemen ekspedisi (lebih teoretis), jadi kegiatan berlangsung di kampus STAIN Malang, di Gajayana.

Dan di antara jam kosong di antara acara, saya bersama dua teman GPA (kebetulan yang ikut bidang itu bertiga) menjelajah kota Malang dengan angkot (dan sedikit tanya-tanya :p). Dan di alun-alun kota Malang, di seberang McD Sarinah, sebelah Gramedia, dekat Gereja Katedral Malang, kami menemukan Toko Oen.

Pertama masuk, kami sudah dibuat takjub dengan sapaan suara berat, "Selamat sore," dari seorang bapak berkumis tebal dengan kostum koki putih-putih (lengkap dengan topi tingginya!).

Karena sudah makan jatah gladian (yang sungguh aneh, dan yang paling aneh, suatu siang kami diberi nasi bungkus porsi kuli dengan tiga potongan daging tetelan di atasnya, lalu seplastik cairan hitam. Ya ampuuun, ternyata itu rawon! Hahaha), jadi kami membolak-balik menu dengan agak bingung. Jenis makanannya mulai dari steak, nasi goreng, mie, salad, kroket, sampai es krim (itu alasan mengapa saya mencantumkan eclectic di atas). Sudah tertebak kan, kami memilih apa? Makan es krim, tentu saja!

Es krim Toko Oen ini buatan sendiri. Teksturnya memang nggak selembut es krim buatan pabrik, macam rasanya juga nggak begitu banyak. Waktu itu saya mencoba semacam cassata (tapi irisannya tipis, hehe) rasa tutti-frutti. Teman saya yang satu sih sungguh nggak mau tantangan, dia nyoba yang standar ... rasa cokelat. Sementara yang satu lagi, mencoba es krim campur sedikit minuman keras, hahaha .... (lumayan sembriwing!).

Yang membuat asyik adalah suasananya, karena interior Toko Oen Malang ini masih jadul banget. Ada sebuah radio kuno merek Phillips berukuran besar di sudut ruangan. Kursi-kursi rotan rendah mengelilingi meja-meja bundar kecil, cocok sekali kalau hanya untuk makan kudapan atau sekadar minum kopi. Kalau ingin makan besar, bisa duduk di kursi-kursi rotan yang mengelilingi meja persegi. Sambil menikmati es krim jilatan demi jilatan, saya memandang berkeliling. Serasa mengarungi perjalanan menembus waktu, membayangkan para wanita pengunjung Toko Oen yang berkebaya encim putih dan para lelaki dengan setelan jas khas zaman dulu. Coba kalau di Toko Oen ini ada live music menyanyikan lagu-lagu tempo doeloe (ehem, Goerita Malam gitu lhuwokh, hehehe … udah demam manggung nih, maksudnya bukan demam panggung, tapi demam pengen manggung hahaha), suasana akan lebih memabukkan.

Ternyata, keluarga Oen, sang pemilik, telah menjual beberapa toko kecuali yang di Semarang. Tapi, Toko Oen Malang pun mengesankan kok. Jika ingin mencoba datang ke tempat ini, coba nikmati suasananya juga, jangan hanya makanannya. Kalau saya sih, sebagai penggemar aliran Mooi Indie, sangat menikmati Toko Oen Malang ini.

Sumber foto Toko Oen:
members.lycos.nl
Karena dulu belum musim kamera digital (hiks), jadi foto es krimnya dari sini:
www.recipes4us.co.uk
www.progel.ro


Selasa, 13 Juni 2006

Coni, Poni, Roni, dan Doni




Aku punya temaaaan … teman
sepermainaaaaaan ….(tapi nggak pake “ah, ah, ah!” hahaha) Namanya Dwi Sawung Rukmono,
orangnya kutilang darat (kurus tinggi langsing, dada rata—ya iya laaaaaah! Kalo
dadanya nggak rata mah suntik solikin eh silikon atuhhh, hikhikhik). Dia punya
kakak cewek namanya Yuni Rukminiati (hahaha … aku tahu nama lengkapmu, Nuy!)
dan punya adik cewek namanya Noventri, yang lahir pada bulan November (dulu saya
pernah iseng bertanya kepada dua kakaknya, kalau si Ventri lahirnya Desember
bagaimanakah namanya? Hikhikhik).








Pertama kenal sih, waktu saya baru jadi
“swasta” di Himastron. Waktu itu, saya yang mewawancarai dia pas malam
pelantikan. Dulu sih masih kenalnya dengan nama Sawung, yang bukan Sawung
Kampret maupun Sawung Jabo. Dia juga sempat kesal dengan kelakuan saya pada
saat interaksi awal, soalnya saya pernah ngejailin angkatan 2000 (angkatannya
dia) dengan menyuruh mereka mengambil posisi push up, terus membiarkan mereka
dalam posisi itu selama beberapa menit, hahahaha …. (tapi kan setidaknya nggak
disuruh push-up, gitu bok!)








Setelah dia jadi anggota Himastron,
lho kok jadi sering main bareng ya, sama si Nata Pehul juga. Karena dia sering
mendesak-desakkan diri ke dalam pergaulan kami, akhirnya muncullah julukan baru
untuk dia, yaitu Coni, alias Cowok Nimbrung. Apalagi setelah sang Dewi Pramesti
alias Bona si Gajah Pink lahir pada tahun 2001, dia semakin menjadi Coni bagi
kami. Bahkan, si Bona punya panggilan sayang untuknya, yaitu, “CHONI!” (dengan
suara sok imutnya yang cempreng, bahkan kadang-kadang disertai ludah juga
hikhikhik … nggak ketang Bon!).








Memang betul, si Coni ini adalah
cowok nimbrung. Mainnya sama cewek-cewek, mungkin karena dia nggak punya
saudara cowok. Bahkan, kakak si Coni yang bernama Yuni alias Inuy pun jadi
akrab dan sering main bersama kami. Kami pun mengenal adiknya, si Ventri yang
sekarang masih SMA (ketiga orang ini menjadi teman saya di friendster,
lengkap). Keistimewaan tiga saudara yang mungil-mungil ini adalah … muat dalam
satu motor! Hahaha …. Sungguh keluarga yang aneh!








Nah, setelah itu, saya mulai
merencanakan TA alias tugas akhir, meskipun betul juga kalau ada yang bilang TA
itu “Teu Anggeus-Anggeus”. Karena merasa sangat malas, saya ingin memilih dosen
pembimbing TA yang rajin. Maksudnya, rajin menegur dan memarahi kalau saya
malas, hehehe …. Ditambah dengan nilai cukup bagus saat kuliah Labas atau
Laboratorium Astronomi, percaya diri saya sedikit terdongkrak untuk memilih
topik yang agak nyambung dengan Labas. Lalu, siapa pembimbingnya? Tentu saja
Pak Hakim Luthfi Malasan, sang dosen Labas. Selain rajin “mengguprak-guprak”
anak bimbingannya, cara beliau mengajar bisa mudah saya mengerti.








Kalau di Astronomi, biasanya
sebelum mengambil SKS TA 1 dan TA 2, kami boleh kok mulai bimbingan, tetapi
nonformal. Biasanya, dalam fase ini para dosen pembimbing memberi beberapa
jurnal untuk dibaca, sebagai pertimbangan memilih tema TA. Waktu saya pertama
kali datang ke Pak Hakim untuk meminta beliau jadi pembimbing, beliau bertanya,
“Kamu bisa pemrograman apa aja, Mar?” mmmm … setelah beberapa detik berpikir, akhirnya
saya bergumam sambil menjawab, “Saya cuma bisa corel draw, Pak,” Hahahaha …
lebih baik jujur, kan? Lalu, sambil geleng-geleng kepala, beliau berkata lagi,
“Ya udah, nanti belajar IRAF aja dari awal, nggak susah kok.” IRAF adalah
singkatan dari Image Reduction and Analysis Facility, yang akan saya gunakan
untuk mereduksi citra dari berbagai gangguan sampai menjadi citra yang bersih
(saya sudah berencana menulis tentang ini sih, doakan saja nggak malas,
hikhikhik). Memang betul, seperti yang Ratna bilang di blognya, IRAF ini
sederhana—cuma memerlukan operasi penambahan, pengurangan, dan pembagian.
Mulailah saya melek Linux sedikit (karena IRAF itu di bawah OS Linux), meskipun
hanya menggunakannya untuk TA dan main mahjong, hahahaha ….








Saat belajar IRAF ini, saya sempat
agak sering menginap di Bosscha. Kebetulan, ada anak-anak yang sedang kerja
praktek juga di sana, yaitu si Nata Pehul, si Tri, dan Aep alias Erfani. Suatu
malam, saya, Nata, Tri, dan Gaby si Letkol Untung yang memang penghuni bedeng
Bosscha, berkumpul di ruang tamu Panekoek. Panekoek ini adalah wisma yang bisa
digunakan oleh mahasiswa yang sedang melakukan pengamatan atau tamu yang
menginap di Bosscha. Saat itu kami sedang mengobrol santai, bahkan merembet ke
hal-hal jorok dan jorang hikhikhik … dan si Tri sedang berbaring di sofa
memakai sarung, tanpa kolor. Hiyyyy ….








Saat sedang asyik ngobrol itu,
tiba-tiba jendela diketuk. Kami mengira itu bapak-bapak jaga yang sedang
patroli dan sering ikut nimbrung, tapi ternyata … OMG, itu Pak Hakim. Lalu,
setelah masuk, beliau ikut mengobrol bersama kami dengan asyik. Bahkan sampai
lewat tengah malam!








Selain memang akrab dengan
mahasiswa dan bisa dijadikan tempat curhat yang asyik, Pak Hakim juga selalu
mengetahui gosip-gosip terbaru tentang kami, para mahasiswa maupun alumni.
Makanya, saya juluki beliau “Roni”, alias Raja Coni hehehe. Meskipun begitu,
julukan Roni ini sama seperti Babe, merupakan panggilan kesayangan dan
penghormatan dari saya, salah seorang anak bimbingannya yang paling bandel. Akhirnya,
istilah Roni menyebar ke mana-mana—sampai suatu hari, Finny, anak astro ’99
yang kalem bin pendiam, mengatakan begini, “Itu ada ‘ironi’,” maksudnya, ada
istrinya Roni, wekekekekek …. (Fin, bisaaaaaa aja!)








Julukan “Roni” ini lumayan beken
sampai ke hampir semua mahasiswa astronomi. Entah ya, apakah para dosen muda
seperti Bang Ferry Simatupang atau Mbak April tahu juga. Tapi, dulu si Neflia
pernah keceplosan menceritakan kepada Roni bahwa beliau dijuluki begitu, dasar
Liaaaaa! Seiring dengan semakin terkenalnya julukan ini, mulailah si Geboy
alias Gaby astro ’95 menjuluki dirinya sendiri dengan “Poni”. Maksudnya, “Poni”
ini adalah Pangeran Coni, pewaris takhta kerajaan cowok nimbrung, hikhikhik ….
Sebagai mantan anak bimbingan Roni dan penghuni bedeng Bosscha yang kuliah S2
di astronomi, dia juga termasuk cowok nimbrung dan biang gosip juga. Sayangnya,
julukan Poni ini nggak begitu beken, karena si Geboy ini lebih beken sebagai
Letkol Untung atau ya Geboy aja, lebih imut kaaaaan daripada panggilan Iwan?
(karena namanya Gabriel Iwan Prasetyono, hahahaha ….)








Lalu, si Geboy yang mengaku-ngaku
dirinya “Poni” ini, mengatakan bahwa di kerajaan cowok nimbrung sebetulnya ada
seorang dewa, yang bernama “Doni”, alias Dewa Cowok Nimbrung. Siapakah ituuuu?
Tak lain dan tak bukan adalah … Babe! Meskipun, Babe nggak seconi yang
lain-lain sih. Mungkin tujuan si Geboy mentahbiskan Babe sebagai Doni adalah
untuk melengkapi struktur percowoknimbrungan jurusan atau departemen atau prodi
astronomi, hikhikhikhikhik ….


(Keterangan foto: searah jarum jam, Coni, Roni, Doni, dan Poni)






Minggu, 11 Juni 2006

Si Dede, sobat Kenek Bus

 

Salah seorang teman seperjalanan
saya, sesama penumpang bus Antapani – KPAD adalah si Dede. Saya nggak tahu
siapa nama aslinya, yang jelas cewek mungil ini dipanggil Dede. Dia masih
sekolah di SD Sabang, kira-kira kelas 2 atau kelas 3. Biasanya, dia berangkat
sekolah diantar bapaknya.




Si Dede ini berkulit putih,
berambut panjang kemerahan. Tapi, raut wajahnya khas Indonesia. Penampilannya
tomboy—selalu memakai sepatu sport dan kadang-kadang memakai topi.




Tidak setiap hari saya sebus dengan
si Dede ini. Kadang-kadang, dia dan bapaknya sudah ada di bus ketika saya naik
di belakang flat. Kadang-kadang, mereka naik di belokan menuju Setrasari Mall,
dekat tukang bunga. Jika bus sedang kosong, dia duduk sendiri. Jika penuh, dia
dipangku bapaknya. Pernah suatu hari, bus sangat penuh. Dia dan bapaknya naik
setelah saya. Ibu-ibu pegawai Pemda yang duduk di sebelah saya menarik si Dede
untuk duduk di antara kami. Sepanjang perjalanan, dia bersenandung pelan sambil
memandang keluar jendela bus.




Rupanya, si Dede memang senang
menyanyi. Beberapa bulan sebelumnya pun, saya pernah mendengarnya menyanyi. Saat
itu, saya duduk di sebelah si Dede dan bapaknya, terhalang lorong di tengah
deretan kursi bus. Si Dede duduk di dekat jendela, asyik memerhatikan
pemandangan sepanjang jalan. Tapi, dia bernyanyi keras-keras dengan asyik, tak
peduli dengan keadaan sekitar. Sampai waktunya turun, baru dia berhenti
menyanyi.




Si Dede juga anak yang ramah dan
ceria. Si Bapak kenek bus langganan kami sering menyapanya, “Eh, ada Dede,” dan
biasanya dia tertawa dengan ceria. Minggu kemarin—saat terakhir kami naik bus
bersama—ketika turun di PPI, di pinggir jalan dia berteriak-teriak kepada si
Bapak, “Paaaaak! Dadaaaaah! Dadaaaaaah!”




Sayang sudah sebulan ini saya
nggak ketemu si Dede. Padahal, kehadirannya bisa menceriakan pagi saya,
terutama kalau saya telat bangun (ini mah biasa hahahahaha …) dan bete karena
harus terburu-buru berangkat ke ujung dunia.





Susah Teurab




Sejak kecil, saya susah teurab. Tau nggak teurab itu apa?
Kalo bahasa Jawanya sih glege'an. Bahasa Indonesianya bersendawa. Jarang sekali
saya mengeluarkan angin dari atas, seringnya sih dari bawah (hahaha ... memang
pada dasarnya jago hitut wehhhhh!). Apalagi, waktu saya kecil, di rumah sering
terjadi perang kentut. Awalnya, yang saya anggap paling jagoan itu si Papap.
Tapi, ternyata ada yang lebih jago lagi: si Totok Bung! Totok Bung bisa kentut
tanpa berhenti sambil berjalan dari tempat cucian ke ruang makan, di rumah
Sukahaji. Lumayan jauh lho ... (Mungkin semakin senior, kentutnya semakin jago
juga ya).



Baru SMA saya agak bisa teurab. Tapi, teurab saya masih sopan, nggak
"EEEUUUU!" keras-keras seperti si Antjheu (edun siah, wajahnya sangat
mengerikan kalo lagi teurab keras-keras), atau "MAAAAAAAK!" seperti
si Ryan Otoy. Karena saat itu peer pressure sangat kuat, saya berusaha
mencoba teurab keras-keras seperti teman-teman. Angger weh, teu bisa! Mungkin
memang pada dasarnya, saya ini seorang gadis santun nan rupawan hahahahaahahaha
.... *ketawa Iblis*



Setelah lulus SMA, peer pressure memudar. Saya kembali ke kebiasaan
lama, lebih suka mengeluarkan gas dari saluran bawah daripada saluran atas.
Tapi tentu saja saya tidak mengentuti profesor, nggak seperti si Nata gitu
lhuwokh. Dan setelah mengenal si Aq, ternyata dia lebih jagoan dalam soal
teurab ini. Bayangkan, dia bisa teurab sekaligus kentut pada saat bersamaan!
Edun nggak sihhhhhh ....



Si Emak juga hobinya teurab. Pencet-pencet punggung sedikit, langsung eureuleu
(hmmm ... apa ya, padanan kata ini dalam bahasa Indonesia?). Si Abang juga hobi
teurab. Biasanya, setelah dipijat oleh si Emak, dia juga langsung mengeluarkan
serangan "aa ... eeuu ..." dengan meriah.



Lalu saya? Masih bernasib sama, sulit teurab. Dan susah teurab ini membawa saya
mengalami operasi. Bukan operasi penangkapan wts atau razia ktp, ini mah
operasi beneran. Ini terjadi sampai saya mahasiswa tingkat akhir (nggak usah
disebut semester berapanya, hahahahaha!). Waktu itu, bulan puasa, saya sedang
nonton TV sambil ngobrol dengan si Emak. Eh, ternyata si Emak menyadari
sesuatu, ada tonjolan seukuran koin seratus baru di leher saya.



Langsung si Emak menyuruh saya periksa. Ternyata, kelenjar tiroid saya
membengkak. Gondok, gitu lhuwokh, kalo nggak tau tiroid itu apa ... hehehe.
Perasaan, si Emak selalu masak memakai garam beryodium. Jadi nggak mungkin
kekurangan yodium. Tapi, setelah dirunut, ternyata ini genetik. Ompung Armia
dan Bou Justi (satu-satunya saudara perempuan si Papap) juga pernah mengalami
hal ini. Ternyata juga, pembengkakan kelenjar tiroid kadang-kadang memang nggak ada penyebabnya.



Awalnya, si Abang Alfa menyarankan untuk langsung operasi. Tapi Bou Justi
menyarankan agar mencoba obat oral dulu. Jadi, setiap hari selama sebulan, saya
harus minum sebutir obat kecil. Membosankaaaaan! Kadang-kadang juga lupa, karena
obatnya kecil banget. Tapi kok, si benjolan itu nggak mengecil juga, ya?
Ukurannya malah makin besar. Dan ini berakibat lebih parah, saya semakin susah
teurab.


Tersiksa banget deh, dengan kumpulan angin yang mendesak ingin keluar dari atas
(sementara, anehnya, saluran bawah saya seperti mampet), tapi nggak bisa.
Selanjutnya saya sering sesak napas. Bahkan, saya nggak berani tidur sendiri,
takut terbangun malam-malam dan sesak napas. Jadi, kalau waktunya tidur
saya sulit terlelap karena susah bernapas. Tapi anehnya, sekalinya tidur, saya
nggak bisa bangun meskipun sudah berjam-jam. Saya pernah tidur lebih dari dua
belas jam dalam sehari! Ternyata, menurut si Abang Alfa yang dokter anestesi
(sekaligus pengusaha obat bius hehehe), penderita pembengkakan tiroid memang
begitu. Selalu merasa kurang tidur. Ini menjadi pembenaran bagi saya, yang
selain jago kentut juga jahe alias jago he-es, hahahahahaha ....



Akhirnya, karena miris melihat penderitaan saya, setiap malam sesak napas dan
sulit tidur, si Papap memutuskan agar saya dioperasi saja. Kebetulan, jenis
pembengkakan tiroid yang saya alami ini aman untuk dibedah, karena kata Teh Ui
(kalo nggak salah inget) "nodul dingin" yang nggak akan menyebar,
bukan "nodul panas" yang hanya bisa dihilangkan dengan radiasi (Uh,
sumpeh deh, naon sih istilah "nodul" ieu teh? Untung sama sekali
nggak kepikir untuk masuk kedokteran setelah SMA. Kebayang lieur ngapalkeun
istilah-istilah, mangkaning urang teh pohoan hehehe).



Setelah merencanakan waktu, tempat, dan segala macam, akhirnya tibalah waktu
pembantaian, hehehehe .... Dokter bedahnya cakep meskipun sudah berumur, Dr.
Dimyati. Saya dioperasi di RS. Kebonjati karena rekomendasi si Abang Alfa,
karena selain harganya lebih murah, Dr. Dimyati juga praktik di situ, dan yang paling
penting nggak bakal dijadikan objek pembelajaran oleh para ko-as. Huh, sori
layawwww ... kalaupun ada yang cakep, mereka kan pria necis berkemeja,
bercelana pantalon, dan rambut licin! Hahahaha .... Dokter anestesinya Dr.
Afifi, bapaknya teman SMP saya, Trisye. Tapi, karena si Abang Alfa datang
menemani saya operasi, Dr. Afifi malah asyik baca koran, sementara yang membius
saya si Abang Alfa (mentang-mentang ada junior, wekkk). Kata si Abang Alfa,
kelenjar tiroid saya yang diambil itu (syukurlah) hampir bulat sempurna, nggak
ada jaringan yang mengakar ke mana-mana. Jadi, kemungkinan berkembangnya kecil.
Tapi, ternyata ukurannya sebesar bola pingpong. Karena tumbuhnya ke dalam,
kelenjar bengkak ini mengganggu pernapasan.



Setelah operasi, lumayan lah, teurab saya jadi lumayan lancar. Tapi, ada
kebiasaan baru yang sebelumnya nggak terjadi; saya jadi beser berat. Ini
terjadi sejak saya diinfus untuk pertama kalinya seumur hidup. Sebelumnya, saya
jarang pipis. Bahkan sering heran melihat gank beser di sekolah, tiap
pergantian jam pelajaran selalu ke WC. Biasanya sih keringat saya yang
berlebihan. Setelah operasi, saya tetap gampang berkeringat, sekaligus sering
pipis. Huh, ternyata saya jadi anggota gank beser juga tuh ... sebal.



Dan menurut si Abang Alfa juga, setelah operasi saya akan jadi gendut.
Sebelumnya, saya lebih RW 06 dari sekarang. Bahkan Gugum sang dedengkot RW 06
sampai kagum, waktu makan nasi goreng, porsi saya sama besar dengan porsinya.
Setelah operasi, betul saja, berat badan saya naik 5 kg dalam waktu 6 bulan.
Untung saja nggak lebih. Tapi, lambung saya seperti mengecil, karena porsi nasi
turun drastis.



Selain itu, di leher saya sekarang ada bekas luka jahitan. Dr. Dimyati ini kata
si Abang Alfa termasuk salah seorang empu bedah onkologi di Bandung, jadi
jahitan di leher saya cukup rapi. Syukurlah nggak ada keloid. Orang-orang yang
nggak tahu riwayat operasi saya sering bertanya, lehernya kenapa? Yah, saya
jawab aja "tapak bacok". Namanya juga turunan Banten, wajar duonk
kalau punya bekas luka di leher hehe ....



Operasi pengangkatan tiroid ini sudah berlalu, hampir dua tahun yang lalu
(setelah saya wisuda, kira-kira bulan April 2004). Tapi ternyata, sekarang saya
mulai kesulitan teurab lagi. Sudah hampir tiga minggu nih, angin bagaikan
menumpuk di diafragma, tapi susah dikeluarkan. Semoga saja nggak usah operasi
lagi. Makasih duech, cukup sekali seumur hidup gitu bok .... Nah, ada yang
punya saran untuk memecahkan masalah susah teurab ini? Kalau ada, terima kasih
banyak saya ucapkan sebelumnya.






Kamis, 08 Juni 2006

Materi Antar Bintang




Pernah nggak mengalami, hanya
bertiga mengambil satu mata kuliah? Berdua deh, pernah? Atau sendiri?




Kalau kamu mahasiswa astronomi,
atau pernah jadi mahasiswa astronomi, pasti pengalaman ini kemungkinan besar
pernah terjadi. Kuliah wajib saja rata-rata pesertanya hanya lima belas orang,
apalagi kuliah pilihan.




Nah, sekarang, pernah nggak, waktu
kuliah ditawari oleh sang dosen, “Mau teh atau kopi?” Lalu, setelah selesai
kuliah, ditawari makan siang di rumah sang dosen?




Kebetulan, saya pernah mengalami
ini semua, saat jadi peserta kuliah pilihan Materi Antar Bintang bersama
partner in crime saya, si Nata Pehul.




Saat itu, sebetulnya SKS saya sudah
lengkap semua. Tinggal TA-1 dan TA-2, seminar dan sidang. Si Nata sih masih
kurang. Nah, awal semester genap itu si Nata tiba-tiba datang ke Himastron dari
Bosscha Lembang, karena dia sedang kerja praktek di sana. Dengan hariweusweus
(maaf saya tidak menemukan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia), dia
menceritakan Pak Bambang, profesor kami, yang sedang semangat sekali menyiapkan
bahan kuliah. Pokoknya, dalam usia senjanya, semangat beliau menggetarkan hati,
deh.




Saya yang waktu itu sedang
nangkring di Himastron awalnya hanya mendengarkan tanpa bereaksi. Nah, beberapa
saat kemudian, si Nata datang lagi ke Himastron. “Mar, si Babe (maaf ya Pak,
kami menjuluki Bapak dengan sebutan Babe. Tapi ini panggilan sayang kok
*wink-wink*) geus datang!” kata si Nata. “Tapi, sepertinya nggak ada yang ikut
kuliah beliau, deh.”




Sempat hening sejenak. Kami
sama-sama trenyuh akan keadaan ini. Bayangkan, seorang profesor yang mumpuni di
bidangnya, menyiapkan kuliah sebaik-baiknya, dan sama sekali tidak ada peserta
kuliah. OMG, ini adalah sesuatu yang sangat ironis. Hanya karena reputasi Babe
yang cenderung galak, dengan mood yang naik turun, sampai nggak ada seorang pun
mahasiswa yang mau ikut kuliah itu.




Akhirnya—entah karena kami
mengetahui fakta bahwa Babe menyiapkan kuliah dengan sangat baik, atau kasihan
karena tidak ada yang mengambil kuliah itu—kami memutuskan menantang maut. Ya,
menantang maut!




Mengapa? Akan saya jelaskan secara
kronologis ….




Kuliah pertama yang berlangsung di
Departemen—sekarang prodi—Astronomi, di ITB, berjalan lancar. Kuliah pertama
diisi dengan pembicaraan mengenai jadwal kuliah, tempat (kuliah selanjutnya
berlangsung di Bosscha), silabus, dan daftar buku.




Tapi … kuliah-kuliah selanjutnya … adalah
pengalaman menegangkan. Hampir tiap pertemuan diisi dengan presentasi. Sebetulnya,
materi presentasi itu adalah hal-hal elementer yang wajib diketahui setiap
mahasiswa astronomi. Tapi, tahu sendiri, lah … saya dan si Nata kan mahasiswa
astronomi murtad!




Jadi, meskipun diawali dengan
tawaran, “Mau minum teh atau kopi?” dan “Nanti, setelah kuliah, kita makan
siang di rumah saya ya,” kuliah ini membuat kami panas-dingin. Apalagi, Babe
termasuk dosen perfeksionis. Beliau sangat memerhatikan struktur serta logika
makalah dan presentasi kami. Makalah yang dicoret-coret sudah menjadi hal
biasa. Presentasi seperti ini pun, “dan … dari rumus ini … didapatkan ini …
lalu … lalu … lalu …” akan dipotong di tengah-tengah. Mengapa? Karena tidak
jelas dan terstruktur. Seharusnya, kami menerangkan seperti ini, misalnya “Dari
pengamatan, magnitudo mutlak objek ini sekian sekian. Dengan menggunakan rumus
Pogson, akan kita dapatkan bahwa luminositasnya sekian-sekian. Dari luminositas
ini kita akan mendapatkan bahwa temperatur objek langit tersebut adalah …”




Begitulah. Semua kalimat harus
jelas, terstruktur, dan harus mengalir. Kalimat dengan “lalu … lalu … lalu …”
diharamkan, karena memang tidak menerangkan apa-apa.




Jadwal yang semula ditetapkan dua
kali seminggu kemudian menjadi lebih sering. Bukan apa-apa, ini sih gara-gara kami
saja yang lemot, jadi Babe selalu tidak puas dengan presentasi kami. Selain
itu, kalau sedang malas kuliah biasanya kami bermuslihat—saya tulis surat
pemberitahuan bahwa saya sakit, lalu saya antarkan Nata ke Bosscha sampai
belokan Bosscha dengan motor. Selalu begitu, karena Nata juga kebetulan sedang
melakukan suatu proyek dengan Babe. Tapi, tipu muslihat ini pernah hampir
membawa petaka. Suatu hari, ketika kami mengulang muslihat ini, saya datang ke
departemen, karena ada sidang atau seminar (saya lupa siapa). Di sana saya
bertemu Pak Hakim, dosen pembimbing tugas akhir saya. Saya lupa akan fakta
ini—Babe dan Pak Hakim itu sobatan! Hahaha … tentu saja Pak Hakim melapor bahwa
beliau bertemu saya di bawah. Sungguh sial!




Dengan pengalaman kuliah-kuliah
yang menegangkan itu, akhirnya saya dan Nata punya kebiasaan baru: shalawatan
di motor hahahaha …. Biasanya, shalawat ini dimulai dari gerbang bawah Bosscha
(Batureok) sampai saya memarkir motor di depan ruang ceramah. Lumayan lah,
menyejukkan hati yang rusuh hihihihi … (preman insyaf banget!)




Dan pengalaman yang paling tak
terlupakan adalah … kecelakaan kentut Nata. Waktu itu, dia kebagian presentasi
di ruang baca Bosscha. Meja ruang baca panjang, Babe duduk di ujung agar bisa
menatap papan tulis langsung, jadi agak jauh. Saya duduk di tengah-tengah
panjang meja, lebih dekat ke si Nata. Tiba-tiba, Babe memotong presentasi Nata
di tengah-tengah dan marah-marah karena kalimat-kalimat Nata membingungkan. Di
tengah kemarahan Babe, saya mendengar bunyi “Tuuuut …” lemah. Ya ampun, memang
eta bujurna teu nyakola pisan, si Nata kentut! Saya langsung membelalak kepada
Nata. Nata tampak grogi, tapi dia pura-pura memerhatikan Babe dengan khidmat.
Untung saja, suara kentut itu nggak terdengar sampai belakang, hahahaha … Jika
iya, pasti kemarahan Babe akan berlipat ganda: sudah presentasi nggak becus,
masih berani juga mengentuti dosen! Profesor, lagi! Hahahaha … dasar.




Ternyata, gara-gara kuliah ini
pula, tugas akhir saya tertunda satu semester. Syukurlah Pak Hakim
memakluminya. Mungkin karena beliau sangat memahami Babe. Ketika satu semester
sudah berlalu, kuliah kami belum juga berakhir. Tapi, akhirnya Babe sendiri
yang memutuskan, tempaan mental kami sudah cukup. Saya mendapat nilai B dan
Nata C (dia agak bete tuh, kasihan deh. Mungkin gara-gara tulisan saya lebih
bagus daripada dia, jadi lebih mudah dibaca, hahaha …).




Meskipun terasa membuang waktu
(apalagi, dengan kuliah ini saya kelebihan 3 SKS), ternyata banyak sekali
manfaat yang bisa saya petik. Entah ya, si Nata mah. Contohnya, logika berpikir
dan analisis. Meskipun masih sangat dangkal—dibandingkan anak astronomi
lain—saya merasa logika berpikir saya agak ter-up grade. Selain itu, saya mulai
bisa menulis dan bicara dengan terstruktur. Sampai akhirnya saya sempat menjadi
penyiar di Her Radio (haiyah … radio bangkrut!) dan sekarang menjadi editor.
Wah, kuliah satu semester itu sangat berguna bagi karier saya sebagai
penyunting! Hahaha ….




Karena itu, saya tidak merasa rugi.
Malah, saya menyayangkan mengapa teman-teman dan adik-adik kelas saya
melewatkan kesempatan emas ini. Bagi saya, lulus tepat waktu tidak ada artinya
dibandingkan pelajaran berharga—menjadi mahasiswa Pak Bambang!




 






Babe, maafkan saya—dan Nata—karena
sering menipu Anda, Babe. Meskipun begitu, berjuta-juta terima kasih saya
ucapkan, karena Anda telah sedikit memperbaiki otak kami dan membuat saya tidak
perlu belajar dari nol lagi saat sudah bekerja. Salam sayang, Babe.