Jumat, 28 November 2008

TANAMANA? TANAMANA!

Percakapan ini terjadi di sebuah TK di daerah Sarijadi, pada Jumat pagi tanggal 28 November 2008. Hanya suaranya yang terdengar, wujud pelaku percakapan tidak terlihat karena mereka ada di balik pintu.


Anak Laki-Laki (AL): “Tanamana?”

Anak Perempuan (AP): “Apa sih?”

AL: “Tanamana!?”

AP: “Ih, nggak ngerti ih.”

AL: “TANAMANAAAAAA!”

AP: “Ngomong apa sih? Nggak ngerti?”

AL (dengan kesal memperlambat perkataannya, nyaris mengeja): “TAHA NAMANA?”

AP: “Oh …”

 

*TANAMANA ternyata singkatan dari TAHA NAMANA yang ternyata berarti “Saha Namanya”, yang diucapkan oleh lidah cadel seorang anak TK bernama Zaki. “Saha” dalam bahasa Sunda berarti “siapa”.

 

**Percakapan itu membuat seorang tante keren yang mendengarkan dari balik pintu tertawa terbahak-bahak sendirian, sampai ibunya heran kenapa pagi-pagi si tante keren kok sudah agak tidak waras—padahal waras banget sebetulnya. Hihihiiii ….


***Karena nggak ada foto si oknum TANAMANA itu, jadi si tante keren pake fotonya sendiri waktu TK hihihiiii ....

Minggu, 16 November 2008

Dua Anak Muda, Dua Orang Tua

Tiga bulan terakhir ini, dua orang teman saya meninggal. Dua-duanya laki-laki dan sama-sama belum berusia kepala tiga. Yang pertama Upiet alias Maulana Yusuf, teman saya di GPA, yang kedua si Ical yang sudah saya ceritakan di SINI. Dua-duanya sakit. Umur memang nggak bisa diduga. Padahal beberapa hari sebelum mereka meninggal, saya masih bertemu dengan mereka dalam keadaan sehat (dari luarnya sih, kalau dari dalam entah juga ya. Mungkin mereka sudah merasa sakit tapi nggak menampakkannya).

 

Sewaktu saya ulang tahun ketiga puluh (hihii … jujur ah sekarang mah, kan Etty Gadis Jujur), uwak saya, abangnya si papap yang nomor dua—kami memanggilnya Papaya—meninggal pada usia tujuh puluh sembilan. Memang sakitnya sudah lama, dan sebelumnya sudah bolak-balik masuk rumah sakit.

 

Dan empat puluh hari kemudian, tadi pagi, suami uwak saya yang nomor enam—saya memanggilnya Abeh karena mereka nggak punya anak, dan sejak kecil saya sering menginap di rumah mereka—meninggal juga. Umurnya tujuh puluh tiga. Sudah sering bolak-balik rumah sakit juga, hanya yang terakhir ini ternyata parah.

 

Dua anak muda, dua orang tua, dalam tiga bulan.

 

Senin, 03 November 2008

Si Ical, Si Betty, Saudara Sepemuhriman

Saya pertama kali bertemu dengannya waktu pembukaan penataran P4 di Sabuga, sebelas tahun lewat beberapa bulan yang lalu. Saat itu dia masih berambut a la Adi Bing Slamet, dan menambah daftar kekecewaan saya terhadap teman-teman seangkatan hahaha … (Soalnya nggak ada yang gimanaaaaa gitu. Mirip-mirip Otong Koil kek. Hihihiii).

Doski biasanya dipanggil si Ical, dan suka betek kalau namanya ditulis salah—harus Faizal Riza (karena sering ditulis Faisal). Yang agak aneh, dia dari Makassar tapi fasih berbahasa Sunda pergaulan (kasar) dengan si Yana, teman seangkatan kami yang juga dari Bandung. Setelah diusut, ternyata si Ical ini sempat sekolah di SD Banjarsari dan SMP 2 Bandung, lalu balik lagi ke Makassar.

Waktu tahun pertama kami kuliah, pergerakan mahasiswa sudah semakin ramai. Si Ical masuk PSIK (Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan) ITB, bersama seorang teman seangkatan kami yang lain, Iyam. Jelas saja wawasan kebangsaannya kuat. Dan pada tahun pertama ini juga, kami (Ical-Iyam-saya-Tya) sempat jadi artis demo hahaha …. Gara-garanya sih ditugaskan oleh Mas Hasan, ketua Himastron saat itu, untuk mengisi acara musik kampus. Ya sudah, kami nekad dan sok-sokan mengisi dengan band akustikan, menyanyikan lagu-lagu ngaco karya sendiri. Waktu itu masih ada Farkhan yang main gitar juga, tapi setelah manggung pertama kali, dia kapok!

Waktu itu kami lumayan laku, tapi ya laku di kalangan kampus hehe …. Setiap ada acara musik kampus, kami sering diundang. Sempat juga main di Radio Ganesha dan Radio Chevy (dan direkam di Radio Ganesha), karena saat itu dua radio itu tergolong radio “pemberani” yang sering bikin talk show “penggulingan” orde baru. Prestasi terbesar kami adalah main sepanggung dengan El Pamas (hahaha … masih ingat, grogi banget pas liat Totok Tewel) di acara malam alumni di Jakarta, dan pada malam itu juga Tragedi Trisakti terjadi (dan kami dipulangkan dengan panik oleh panitia, dengan taksi 4848, karena khawatir acaranya diintai oleh intel).

Hasil karya band akustikan kacau ini masih bisa terdengar sampai sekarang. Soalnya, Hymne KM-ITB karya si Ical dan Iyam. Dulu judulnya Demi Tuhan, Bangsa, dan Almamater, sama dengan motto KM-ITB. Sewaktu motto KM-ITB berubah, judulnya juga ikut berubah, jadi Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Tapi saya sering sebal karena orang-orang biasanya lupa bertanya-tanya, siapa sih yang membuat lagu kampus. Seperti lagu Mentari yang diaku-aku lagu kampus (tanpa disebutkan karya Abah Iwan Abdurrachman).

Setelah pergolakan politik mereda, si Ical masih aktif di PSIK. Tapi saat itu juga, kami “terpaksa pulang” ke Himastron, karena Himastron membutuhkan kami (hahaha … GR amat. Tapi memang benar, karena semua anggota pasti sempat ngerasain jadi pengurus, saking sedikitnya!). Si Ical yang sial, harus jadi tumbal angkatan, jadi ketua Himastron. Saat masa kepengurusannya, saya jadi danus kejam yang hobi membubuhkan stempel GOBLOG—bukan LUNAS—di buku utang Himastron (karena para penghuni Himastron saat itu saingan gede-gedean berutang dengan bangga, huh!).

Dengan komposisi tujuh cewek dan enam cowok dari tiga belas orang seangkatan (dan dua cowok rontok duluan di awal, lalu diikuti satu lagi), sungguh mengibakan nasibnya, karena cewek-ceweknya dominan, tukang ledek, dan hobi menjajah. Apalagi si Ical ini emosional dan keras. Tapi kasihan, seringkali dia tak berdaya menghadapi cewek-cewek penjajah, hihiii …. Lagipula, karena dia berambut panjang dan lembut serta berkulit putih mulus, kami sering menjuluki dia Betty (cowok-cowok lain juga dapat julukan).

Di luaran, citranya si Ical ini jantan, garang, gagah. Apalagi pernah jadi korlap demo. Tapi buat kami, dia adalah cowok manis yang lebih cantik daripada kami-kami, hihihiii …. Jadi kalau ada anak-anak jurusan lain yang memuji “Si Ical jantan ya …” kami sering membantah, “Ical? Jantan? Gagah? Halah … dia mah cantik!” (dan seringkali diprotes, karena menurunkan pasaran hahaha.) Yang lebih parah, dia seringkali kami lecehkan—misalnya dia sedang berjongkok sambil merokok di luar kelas, tiba-tiba si Lia berjongkok di sebelahnya dan tersenyum manissss sekali (yah, senyum manisnya Lia, hahaha!), dan tiba-tiba pura-pura mau mencolek dagunya. Atau saat kami iseng beli “minuman anu” untuk mabuk-mabukan di belakang Himastron, kami membelikannya sebotol Kiranti, hahahahahaaa …. Kasihan ya. Waktu giginya ompong pun, saya sempat meledeknya. Soalnya, giginya itu potong karena dia makan jagung, hahaha … saya ledek-ledekin, huh, nggak heroik, kirain berantem dengan siapaaaa gitu.

Saya pernah tanpa sengaja menginap di kamar kostnya di Sangkuriang. Oh, tentu saja setelah dengan sukses mengusirnya supaya tidur di kamar kost penghuni Sangkuriang lainnya (waktu itu ada lima anak astronomi yang ngendon di situ). Waktu itu kami sedang ada lanjutan pembicaraan materi ospek, lalu saya kemalaman dan malas berjalan kaki ke kampus (karena nggak ada angkot kalau sudah malam). Kamarnya rapi. Lebih rapi daripada kamar saya. Kamar mandinya bersih. Dan … peralatan mandinya berjajar lebih banyak daripada peralatan mandi saya. Wow.

Selama berteman—mungkin sudah bukan berteman lagi, tapi bersaudara, sebagai satu disfunctional family yang kacrut, dan sudah merasa muhrim—tentu saja kami sering berantem. Yang sering jadi masalah adalah sifat si Ical yang keras. Darahnya panas. Sampai pernah ada tragedi tangis-tangisan multiangkatan di Himastron pada suatu HUT Himastron. Sampai saya sempat mendiamkannya selama nyaris sebulan karena suatu hari dia meledak di Himastron. Tapi itu akibat saking dekatnya kami. Mirip berantem dengan saudara sendiri.

Si Ical termasuk yang terancam DO pada tahap Sarjana Muda, tapi untungnya dia berkasus di mata kuliah Matriks dan Ruang Vektor, lebih mudah daripada kasus Mekanika Lanjut kami. Dulu Tugas Akhirnya tentang Kosmologi, dan sampai beberapa saat yang lalu dia masih berminat terhadap Kosmologi (dia sempat bilang ingin S2, tapi ngumpulin duit dulu). Selama TA dia sering kami jodoh-jodohkan dengan si Ina, partner TA-nya yang juga seangkatan (dan seringkali keduanya ngambek, hahahaaa).

Setelah lulus, dia sempat menghilang beberapa saat dari pergaulan kami karena bekerja di Jakarta, jadi asisten editor di perusahaannya Raam Punjabi (dan selalu kami ledek, “Dasar perusak moral generasi muda bangsa!” Hahahaaa). Akhirnya dia nggak tahan—mungkin nggak sesuai juga dengan idealismenya—dan kalau nggak salah, sekitar peristiwa tsunami Aceh, dia keluar. Sempat jadi relawan Aceh dan bikin film dokumenter di sana. Dia memang berjiwa sosial, apalagi dia anggota KSR – PMI.

Sepulang dari Aceh, dia kerja di IMTV Bandung. Mulailah dia sering bergaul lagi dengan kami. Apalagi si Ketut juga sudah mulai muncul, setelah puas bertapa di Jatinangor. Semakin lama berteman, ternyata pelecehan kami semakin menjadi-jadi, hahaha …. Saya masih ingat, suatu hari kami kumpul angkatan di Perpustakaan Pusat. Si Ical belum datang-datang. Si Ketut yang kebagian nelepon. Lalu, pas akan menyudahi pembicaraan, kami cewek-cewek ini berseru-seru, “Bilang love you, Tut!” Si Ketut yang memang sama sintingnya menurut, dengan mesra bilang, “Love you ….” Dan kami mendengar seruan “ANJEEEEENG!” dari si Ical, hahahahaaaaaaaa! (Setelahnya kami marah-marahin, karena dia membalas sikap si Ketut yang penuh cinta dengan umpatan, dasar!)

Dia juga yang sering saya ganggu kalau sedang online tengah malam. Kalau id-nya, pcl_astro, tampak kuning, biasanya saya sapa “Hai, Say … Saython …” (Seperti biasa, umpatan-umpatan seperti “ajig” dan “gobod” selalu mewarnai percakapan kami. Seringnya sih dari dia hihiii … tapi buat kami, itu bukan umpatan kasar, itu ekspresi pertemanan akrab saja. Saat online malam-malam ini juga, dia beberapa kali curanmor soal cinta (Sebetulnya bukan dia yang sukarela curanmor sih, saya saja yang hobi mengorek-ngoreknya dengan pertanyaan mendetail. Dan dia selalu menjawab dengan jujur, hihii). Sempat juga saya ancam karena ada tanda-tanda dia mau melangkahi saya menikah duluan, tapi ternyata nggak jadi hahaha …. Sayang waktu saya “beritu” dia nggak datang karena harus pulang ke Makassar. Dan saya ledek-ledekin, “Kenapa sih nggak datang? Patah hati ya? Aaaah … ngaku, pasti patah hati yaaa!” (dan seperti biasa, dia membantah sambil mengumpat-umpat, hahaha ….)

Kami bertemu terakhir kali waktu Lebaran kemarin, hari ketiga, waktu dia beserta Vivi dan Dyno “ngalap berkah” ke rumah saya. Yah, biasa, si Emak yang menyayangi anak-anak kost seringkali open house untuk anak-anak kost yang nggak mudik saat Lebaran (sejak dulu, mulai dari teman-teman si Abang sampai teman-teman saya). Waktu itu lama juga mereka di rumah, bayangkan, dari makan siang sampai makan malam! (Si Emak sih senang, karena ada yang menghabiskan kakaren Lebaran. Soalnya kami sudah bosan, ketupat-opor-rendang melulu, hihiii) Saat itu masih saja saya ledek-ledek. Tapi beberapa tahun terakhir ini, kalau menurut saya sih, sifat emosionalnya sudah berkurang. Kalau soal dia mengumpat-umpat, itu sih karena ledek-ledekan (dan biasanya mengumpat sambil ketawa, kalau dulu bisa marah betulan—tapi semakin dia marah, kami biasanya semakin senang mengganggunya hihiii).

Sekitar dua minggu lalu, saya sempat mengobrol dengannya di telepon. Waktu itu saya sedang di BSM, dan nemu miniatur planetarium yang sudah lama Vivi cari. Saya sms Vivi, ternyata dia menelepon dengan HP si Ical. Waktu itu si Ical sempat ngajak saya jadi panitia Kongres Ikatan Alumni Astronomi, tapi saya bilang nanti dulu, lagi jadi ibu hamil nih (alasan, padahal males, hihiii). Nggak disangka, ternyata itu pembicaraan terakhir dengannya. Dan masih saya ledek-ledek juga, “Adeeeuh … kencannya ganti, bukan sama Ina lagi, sekarang sama Vivi!” (Si Vivi juga ikutan ngeledek, “Iya nih, ini kami lagi kencan!” dan seperti biasa dia ngomel-ngomel.)

Jumat minggu lalu, saya mendapat sms dari si Coni (yang Sawung), kabarnya Ical masuk RSHS. Waktu itu pikiran saya, si Ical paling-paling sakit DB atau tipp-ex, langganan (dasar anak kost, makannya nggak bener dan hobinya minum kopi banyak-banyak). Saya, Vivi, dan beberapa teman lain sudah berencana menengoknya Sabtu sore, eh, ternyata Sabtu pagi si Coni sms lagi, Ical sudah dibawa ke Makassar.

Yang sempat merasa ada sesuatu itu si Ketut, karena dia sms ke hp Ical, tapi yang bales kakaknya. Ketut sempat sms saya, “Mar, si Ical parah nggak ya? Kok nggak bisa pegang hp?” Lalu saya jawab (sambil bercanda dan menenangkan si Ketut—sebetulnya, lebih menenangkan diri sendiri juga sih), “Mungkin dia operasi kelamin, penghilangan jakun, dan pembesaran payudara Tut, jadi masih belum bisa pegang hp.” Lalu kami masih smsan bercanda gitu.

Eh, tiba-tiba, Jumat pagi kemarin, tiga sms berturut-turut masuk ke hp saya. Dari si Coni, dari si Bona, dan satu lagi dari siapa ya, lupa. Kabarnya, si Ical meninggal pukul 09.30 WITA. Saya langsung nangis dan ngadu sama si Aq, “Adek ngeledekin si Ical melulu, Q ….”

Seharian itu rasanya kelabu. Si Emak juga sedih. Tiap melihat gitar yang ada di rumah juga sedih, karena itu “gitarnya Ical” (yang dulu suka dipakai saat manggung). Sampai sekarang juga, dia masih terbayang-bayang. Sayang sekali saya nggak bisa langsung ke Makassar, tapi saya bertekad, suatu saat saya akan berziarah di makamnya. Dan mudah-mudahan, lagu-lagu rekaman karyanya berhasil dilacak (karena beberapa waktu lalu kami sudah berniat mencarinya, mudah-mudahan masih ada, karena Radio Ganesha sudah pindah).

Itulah si Ical. Bukan teman lagi, dia mah saudara, muhrim. Mudah-mudahan dia damai di sana.

Foto Terakhir Bareng Ical, Bubar Astro '97 di Warung Pasta
(Ical - Lia - Vivi - Ketut - saya)