Selasa, 31 Juli 2007

Merek yang Mengerikaaan!




Suatu hari, si Papap pulang sambil membawa beberapa bungkus buah tangan dari mahasiswanya, orang Cililin. Ternyata, wajit dan angleng. Saya nggak tahu apa bedanya wajit dan angleng. Katanya sih berhubungan dengan kelapa yang dicampurkan ke dalam adonan atau semacam itu.

Yang mengejutkan adalah mereknya. Ya ampyuuun ... jadi ingat Suzanna, idola saya! Ini dia fotonya. Sengaja nggak ditutupin alamat dan segala macamnya, anggap saja sekalian mempromosikan Wajit Asli Cililin "Cap Potret", melestarikan makanan tradisional, hikhikhik ...

Jumat, 06 Juli 2007

Si Kuping Panjang!

Peristiwa ini terjadi dua hari yang lalu sih, tapi saya baru sempat menuliskannya sekarang. Waktu itu, saya dan Suze Antie sedang menjalankan ritual kami—makan-makan, lalu hotspotan bersama, dan ceting sebelahan hehe …. Seperti biasa, tempat hotspotan kami adalah Ngopi Doeloe yang di belakang Borromeus.

Karena sebelum-sebelumnya posisi kami selalu di meja makan, kali ini kami sepakat mencoba sofa (meskipun posisinya serba salah—bungkuk pegal, duduk di bawah atau jongkok nggak nyaman, dan kalau laptopnya dipangku … panas!) dan duduk bersebelahan. Di sebelah kiri Suze Antie, ada seorang ekspatriat. Di sebelah kanan saya, ada seorang ibu.

Setelah beberapa waktu, si bule berdiri. Si ibu sebelah saya juga siap-siap pergi (ternyata mereka saling mengenal—apakah mungkin mereka juga ceting sebelahan seperti kita ya, Suze? Hohoho …). Sofa sebelah kiri Suze Antie sih berapa kali berganti penghuni, tapi, yang sebelah kanan saya, tetap dikuasai oleh satu pasangan.

Dasar kuping kami ini panjang, ya kedengaran lah apa yang mereka bicarakan. Bukan maksudnya nguping, tapi pasangan di sebelah kanan saya ini suaranya keras. Apalagi si cewek. Awalnya sih, percakapan terdengar biasa saja. Tapi lama-lama … semakin memanas.

Awalnya, si cowok membuka laptopnya, lalu tampaklah perangkat presentasi. Ow, mungkin doi mau sidang. Dugaan ini diperkuat oleh komentar-komentar galak si cewek terhadap perkataan si cowok. Latihan presentasi rupanya. Wajar sih, kalau mau sidang kan harus siap dengan pertanyaan-pertanyaan tajam dan komentar-komentar galak.

Tapi, ternyata di sela-sela latihan, terseliplah komentar-komentar atau perkataan-perkataan galak si cewek yang nggak berhubungan dengan presentasi. Seperti, “Jadi kausebut dirimu ini S2?” dan “Aku tuh udah kerja dobel, ngurusin ginian, ngurusin kamu!” dan “Cuci tanganmu! Lalu lap pake tisyu!” dan lain-lain. Si cowok sih diam saja, nggak membantah atau membalas.

Omigod. Dosa apa aku dan Suze Antie, sampai harus mendengarkan perbincangan domestik seperti ini? Dan mulailah kami cekikikan sambil ceting … seperti yang biasa kami lakukan di kantor dahulu kala … jemari sibuk mengetik, tertawa tertahan, lalu cekikikan bersama … mengikuti suri teladan pujaan kami, bintang film horor legendaris, Suzanna ….

Seperti biasa, dipicu oleh keadaan nggak normal sedikit saja, otak kami berputar cepat, hingga suaranya terdengar berdentang-dentang dengan keras. Dimulai dari: berani nggak kamu tiba-tiba duduk di antara mereka? Ayo kita gelar tiker aja di hadapan mereka! Sambil makan popcorn! Kalo aku segalak gitu sama si Aq, pasti aku akan ditinggalkan begitu saja di sini! Mungkin seperti itu keadaannya kalau kita pacaran sama brondong! Atau paling sedikit cowok sebaya. Untung juga kan, bisa galak-galak? Dan pikiran-pikiran lain yang dipertukarkan via ketikan kilat di YM.

Lalu, si cowok pergi. Yah, semoga saja dia bisa sidang dengan lancar, dengan dukungan ceweknya yang galak tapi penuh perhatian. Setelah beberapa lama … si cowok akhirnya datang kembali.

Suasana kemudian menjadi lebih tenang saat itu. Si cewek juga nggak galak-galak lagi. Tapi, keadaan kembali memanas saat mereka membicarakan tentang beasiswa. Saya nggak tahu bagaimana detailnya, yang jelas menyangkut seorang teman mereka, yang menolak kesempatan beasiswa, atau semacam itu. Si cewek langsung menelepon teman mereka itu, menyuruhnya datang, dengan galak juga!

Sayang, kuping panjang kami harus berhenti berfungsi saat itu. Soalnya, sudah waktunya untuk pulang, setelah berjam-jam menjadi kuncen hingga pantat kami panas. Penasaran juga sih sedikit, apa yang akan terjadi ya? Tapi … sebetulnya nggak niat nguping kok, suerrrr, suerrrrrr! Mungkin sudah digariskan seperti itu, si Mbak yang galak dikaruniai suara keras, dan kami yang keren ini dikaruniai … kuping panjang! Hahahahahaha …


(ayo Suze, kapan lagi kita hotspotan bareng, dan memanjangkan kuping lagi seperti kelinci Playboy? Masih banyak tempat makan di Bandung yang belum kita jajah!)

 

Selasa, 03 Juli 2007

Salon Mariani

Daripada ke salon-salon mahal, saya lebih memilih ke salon dekat rumah saya, namanya Salon Mariani. Mariani ini nama pemiliknya. Gadis Batak, usianya lebih tua setahun dari saya. Dia mengerjakan segala sesuatunya sendiri, mulai dari mengeramasi, menggunting, meng-creambath, memblow, mengeriting, melulur, melakukan facial, hingga menyapu sisa-sisa rambut di lantai.

Biayanya murah. Gunting rambut dengan cuci dan blow saja cuma dua puluh ribu. Apalagi untuk pelanggan, dia mematok harga lima belas ribu saja. Hasil potongannya sih standar lah, tapi sudah memadai untuk orang-orang seperti saya—yang potong rambut bukan untuk mejeng di majalah atau televisi, hehehe ….

Hanya saja, kelebihannya adalah Mariani sendiri. Dia ini ceriwis dan sok akrab dengan para pelanggannya. Tapi, bukan ceriwis dan sok akrab dalam arti negatif—berbicara dengan Mariani menyenangkan. Buktinya, kalau kita sedang “dikerjai” di salonnya, banyak orang yang menyapa Mariani dari luar pintu yang terbuka. “Hai Mar!” “Kakak!” dan sebagainya.

Mungkin selain karena murah, itu yang membuat salon milik Mariani ini banyak pelanggannya. Bayangkan, saya datang ke sana untuk potong rambut pagi-pagi. Eh, ternyata jadwalnya sudah penuh sampai jam tujuh malam! Akhirnya memang harus membuat janji dulu sebelumnya. Si Emak bertanya, kalau buru-buru, kenapa nggak ke salon lain saja di dekat situ juga? Hmmm … lebih baik saya menunggu sampai malam. Bukan apa-apa, saya pernah ke salon lain yang di dekat situ juga. Mungkin potongan rambutnya sama saja sih, tapi ada sesuatu dari Mariani yang nggak dimiliki oleh salon lain itu.

Nggak tahu apa. Saya sendiri nggak bisa mengungkapkannya. Hanya saja, kalau saya menyerahkan kepala saya ke Mariani, saya merasa “dimanusiakan”. Bukan sekadar kepala berambut yang dijadikan objek eksperimen para penata rambut, yang protes atau permintaan khususnya kadang-kadang nggak didengar. Mau coba ke Salon Mariani? Kalau mau ke rumah saya lewat pasar, pasti melihat spanduk kuningnya yang sederhana kok, di dekat Indomaret. Tapi bikin janji dulu ya … hehehe.

 

Catatan

Salon Mariani terdengar cocok kan untuk sebuah salon kecantikan. Nggak seperti Salon Agus, langganannya Sitorus di daerah Cikutra, hahahaha … (Dan ya ampuuuun, Sitorus itu banggaaaa sekali dengan Salon Agus-nya itu! Dasar cewek brengsek, hahahaha)